Tetap Menuntut Ilmu, Walau Sudah Jadi Guru

KhazanahTetap Menuntut Ilmu, Walau Sudah Jadi Guru

Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat dan menuntut ilmu selama kita berada di muka bumi. Satu hal penting yang harus selalu kita pinta dan cari dalam hidup ini ialah bertambahnya ilmu dan pengetahuan dalam diri kita. Allah SWT berfirman, Katakanlah, Ya Tuhanku, tambahlah aku dalam ilmu (QS. Thaha: 144). Nabi SAW juga bersabda, menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim (HR. Ibnu Majah). Menuntut ilmu merupakan kewajiban agama dan moral yang terus berlanjut. Menjadi guru atau meraih gelar akademis yang tinggi bukan alasan untuk berhenti belajar. 

Dalam tradisi intelektual Islam, berhenti belajar dan menuntut ilmu merupakan kesalahan besar yang berbahaya. Walaupun sudah memiliki banyak ilmu dan melalui proses belajar yang panjang, seorang Muslim harus tetap memiliki kerendahan hati untuk tetap mencari ilmu, serta menyadari bahwa banyak hal yang belum diketahuinya. Sufyan bin Uyainah pernah ditanya, “siapa orang yang paling wajib menuntut ilmu?” Sufyan RA berkata, Orang yang paling banyak ilmunya, karena kesalahannya adalah yang paling tidak disukai (Jami’ Bayan al-‘Ilm, h. 429).

Seseorang yang menganggap dirinya sudah cukup pintar dan tidak perlu belajar lagi, sebenarnya telah menjadi bodoh, berapapun banyaknya ilmu yang sudah diketahuinya. Setiap cendekiawan harus tetap menjadi murid, pembelajar, penuntut ilmu, kalau tidak demikian, dia bukan lagi seorang cendikiawan. Ibn Al-Mubarak berkata, Seorang manusia akan terus memiliki pengetahuan selama dia mencari ilmu. Jika ia menganggap dirinya telah memiliki ilmu, maka ia telah menjadi bodoh (al-Mujalasah wa Jawahir, h. 312). Demikian pula Ibnu Abi Ghassan berkata, Kamu akan memiliki ilmu selama kamu masih menuntut ilmu. Jika kamu menganggap dirimu telah cukup, maka kamu akan menjadi bodoh (Jami’ Bayan al-‘Ilm, h. 430). Perkataan semacam ini banyak diamini oleh ulama-ulama Islam sepanjang sejarah.

Sebagai seorang Muslim, menyadari tentang kebutuhan kita yang terus-menerus terhadap pengetahuan adalah tindakan kerendahan hati. Sifat ini sangat penting karena merupakan sifat yang melawan kesombongan. Kebijaksanaan seseorang berhubungan langsung dengan proporsi kerendahan hatinya. Sedangkan kesombongan, membuai siapapun ke dalam pemahaman yang salah tentang hakikat ilmu. Kesombongan mendorong seseorang untuk berasumsi bahwa tidak ada yang bisa diajarkan orang lain kepada dirinya yang telah mengetahui lebih banyak, sehingga orang seperti itu akan menolak kebenaran ketika kebenaran itu mengganggu egonya. 

Baca Juga  Convivencia, Teladan Pluralisme Islam

Ibnu Rajab meriwayatkan, bahwa beberapa dari para pendahulu yang saleh berkata, “kerendahan hati adalah menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya, bahkan jika mereka masih muda. Barang siapa yang menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya, baik yang muda maupun yang tua, baik yang dicintainya maupun yang tidak, maka ia rendah hati. Siapapun yang menolak menerima kebenaran karena menganggap dirinya terlalu terpandang untuk itu, maka ia sombong (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, h.13)

Cahaya iman menghasilkan kepuasan yang tidak pernah terpuaskan untuk terus mencari pemahaman tentang wahyu ilahi serta misteri alam. Kita harus mengejar pengetahuan spiritual, terutama untuk mengamalkan agama dengan benar. Tidak sampai disitu saja, kita juga membutuhkan pengetahuan ilmiah yang dapat bermanfaat bagi manusia. Ulama dan ilmuwan Islam terdahulu, seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, dan al-Kindi, tidak membeda-bedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Ulama klasik seperti  Al-Ghazali pun, menetapkan ilmu-ilmu alam, khususnya kedokteran, sebagai kewajiban kolektif (fard al-kifayah) bagi masyarakat Muslim.

Untuk alasan ini, banyak ulama Muslim dari para pendahulu yang salehberkomitmen untuk mencari ilmu selama mereka bisa, hingga usia yang sangat lanjut. Sebab proses menuntut ilmu tidak pernah mengenal kata selesai, belajar adalah tugas sepanjang hidup. Dalam Jami’ Bayan al-Ilm (h.423-428) Malik bin Anas r.a. berkata, Tidaklah pantas bagi orang yang berilmu meninggalkan ilmu. Nu’aim bin Hammad juga meriwayatkan bahwa Ibn Al-Mubarak pernah ditanya “Berapa lama kamu akan menuntut ilmu?”, Ibnu Al-Mubarak berkata, Sampai mati, insya Allah. Mungkin masih banyak kata-kata yang akan bermanfaat bagi saya yang belum tertulis”

Singkatnya, setiap Muslim berkewajiban untuk terus mencari ilmu spiritual dalam agama dan juga ilmu umum yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Kita harus memiliki sikap pembelajar sepanjang hayat. Penting sekali memiliki kesadaran bahwa untuk selalu menjadi penuntut Ilmu, bahkan ketika tengah menjadi guru. Kita harus cukup rendah hati untuk belajar dari siapapun tanpa memandang statusnya.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.