Mencintai Nabi Muhammad SAW dengan Setulus Cinta, Bukan Angkara Murka

KolomMencintai Nabi Muhammad SAW dengan Setulus Cinta, Bukan Angkara Murka

Peringatan kelahiran Nabi tahun ini diwarnai dengan sederet prahara yang memrihatinkan. Diawali dengan majalah satir Perancis, Charlie Hebdo, yang pada Rabu (2/9/2020) kembali mencetak edisi kartun Nabi Muhammad dengan menampilkan gambar-gambar bernada mengejek. Hal ini memicu protes besar dari banyak pihak.

Kontroversi semakin runyam saat seorang guru sejarah bernama Samuel Paty menggunakan kartun tersebut sebagai materi ajar di kelasnya. Kabar tersebut tersebar luas hingga seorang pemuda Chechnya bernama Abdullah Anzurov (18) mendengarnya. Perasaan tidak terima karena Nabi direndahkan, membuatnya sampai hati memenggal kepala guru sejarah tadi pada Jumat (16/10/2020).

Dua pekan berselang, terjadi serangan di kota Nice, Perancis, tepatnya di gereja Notre-Dame Basilica pada Kamis (29/10/2020). Seorang pria Tunisia bernama Brahim Issaoui (21) melancarkan serangan yang menewaskan tiga orang. Lafal takbir yang agung tak luput ia pekikkan dalam aksinya. Motif pasti dari penusukan itu belum sepenuhnya diketahui karena tersangka sedang dalam perawatan setelah ditembak petugas. Namun, atribut takbir yang ia kumandangkan telah cukup membuat Islam kembali dipandang sinis dan tersudutkan.

Sangat bisa dipahami, jika tensi emosi umat Muslim meninggi ketika kekasih yang amat dimuliakan, direndahkan sedemikian rupa. Hal ini tidak salah. Kekeliruan yang harus digarisbawahi adalah mentransfer luapan emosi tadi pada tindakan yang brutal dan main hakim sendiri. Islam tidak membenarkan ini.

Cinta tulus seseorang kepada Nabi pasti akan membuahkan kesantunan. Mengalirkan darah atas nama membela Rasulullah tak lain hanyalah wujud mencintai ego pribadi. Bukannya Nabi tak sakit hati ketika beliau dihina-dina. Muhammad juga manusia. Namun beliau paham betul, bahwa diejek dan disalahpahami merupakan konsekuensi menjadi seorang utusan Tuhan. Dan Nabi selalu mengambil pilihan yang berwibawa dengan memaafkan, tanpa harus kehilangan kehormatan.

Nabi Muhammad SAW secara moril juga terbangun, karena beliau tidak sendiri dalam mencecap pahitnya tuduhan. Para rasul pendahulunya juga mengalami hal yang sama. Salah satunya terabadikan dalam bunyi firman, Dan sungguh, beberapa Rasul sebelum engkau (Muhammad) telah diperolok-olok, sehingga turunlah azab kepada orang-orang yang mencemoohkan itu sebagai balasan olok-olokan mereka. (Q.S. Al-An’am [6]: 10).

Sikap adiluhung Nabi, nyata terekam dalam peristiwa Thaif. Pasca ‘am al-huzn, Rasulullah bersafari menuju kota tersebut untuk membuka lahan dakwah baru. Ternyata jauh dari yang diharapkan. Diplomasi Nabi agar penduduk Thaif turut bergabung dalam barisan Islam sama sekali tak diindahkan. Mereka dengan ringan mencaci dan melukai Nabi dengan lemparan batu.

Nabi terluka hati dan fisiknya. Namun beliau menyalurkan emosinya dengan sikap yang visioner. Nabi menggantungkan harapan pada Tuhan agar angkatan baru dari masyarakat Thaif kelak beriman Islam. Rasulullah SAW tidak bersikap pragmatis dan oportunis dengan mengambil tawaran malaikat untuk membumi hanguskan kota tersebut. Benar saja, di kemudian hari cahaya iman menyinari anak keturunan di kota dingin itu. Kisah ini adalah visualisasi hadis Nabi, bahwa tak ada penghalang antara Allah SWT dan doa orang yang terzalimi. (HR. Bukhari).

Baca Juga  Halal Bihalal, Silaturahmi Berbudaya Khas Nusantara

Dalam banyak kesempatan, Nabi dikisahkan menerima beragam perlakuan buruk yang tentunya membikin para sahabat meradang. Kepada seorang Quraisy penghujat Nabi yang menjadi tawanan perang Badar, bernama Suhayl bin Amru, Sayyidina Umar pernah meminta izin kepada Nabi untuk mencabut gigi serinya agar ia tak lagi berkata buruk tentang Nabi. Nabi tegas menolak permintaan itu. Lagi-lagi beliau optimis dan berharap agar kelak Suhayl memeluk Islam. Fathu Mekkah pun menjadi saksi keimanan Suhayl. Dia menjadi pemeluk Islam yang teguh.

Berulangnya penghinaan atas Nabi Muhammad SAW mengindikasikan adanya misinformasi atas sosok dan karakter Nabi, di mata Barat khususnya. Bagi mereka, melihat tingkah polah pengikut Nabi adalah cara paling efisien dalam membangun opini atas junjungannya. Dengan kata lain, baik buruknya citra Rasulullah SAW, hakikatnya tergantung dari bagaimana kita mengartikulasikan ajaran beliau. Citra Islam berbanding lurus dengan laku pemeluknya.

Dari sepenggal kisah di atas, seharusnya kita dapat membayangkan bagaimana Nabi akan merespons kejadian penghinaan bermedium kartun semacam ini. Keadaan psikologis kita layaknya para sahabat yang terluka saat Nabi dihina. Dan Rasulullah SAW terang mencontohkan ketenangan dan kelembutan, karena beliau sendiri pernah bertutur kepada Sayyidah Aisyah, bahwa Allah SWT itu Mahalembut dan mencintai kelembutan dalam semua urusan. (HR. Bukhari). Bayangkan, dengan arif beliau memadam bara amarah kita.

Rasulullah SAW tak akan rela dibela dengan umpatan kebencian, terlebih dengan tindak bengis pembunuhan. Rasa cinta yang demikian harus dipertanyakan ulang. Benarkah cinta atau sekadar pseudo cinta yang penuh kesangsian. Dengan memutuskan untuk melabuhkan cinta kepada Nabi, kita harus siap menerima konsekuensi untuk meneladaninya. Wujud cinta tulus kepada beliau adalah dengan berupaya menghidupkan sunnahnya serta menunjukkan kualitas akhlaknya kepada dunia, termasuk bagaimana akhlak beliau kepada para pengumpatnya.

Ketika ada yang salah paham dengan agama kita, itulah kesempatan kita untuk berbenah dan meluruskan anggapan yang keliru. Selain itu, memang ada hal mendasar yang harus diperbaiki dari dalam tubuh umat Islam. Jika mau jujur, klaim bahwa Islam sedang mengalami krisis tidaklah sepenuhnya salah. Habib Umar bin Hafidz, dalam satu momen menuturkan bahwa yang menjadi akar masalah kita adalah pengabaian ajaran-ajaran Allah dan Rasulullah. Kita terjebak meributkan perkara remeh dan melupakan yang prinsipil.

Rasulullah SAW merayakan penghinaan dengan memaafkan dan mendoakan. Ketulusan cinta Nabi terbukti telah menghasilkan “surplus laba” bagi Islam sendiri. Mari tunjukkan cinta tulus kita dengan aktualisasi akhlak luhur Rasulullah SAW, bukan dengan emosi berbalut angkara murka yang merugikan. Kampanye akhlak Nabi adalah amanat besar bagi kita selaku umatnya. Wallahu a’lam.

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.