Kisah Pemuda Hijrah dan Pentingnya Niat

KhazanahHadisKisah Pemuda Hijrah dan Pentingnya Niat

Pada periode perpindahan dari Mekkah ke Madinah, terekam kisah seorang pemuda hijrah. Lelaki itu dikenal dengan sebutan Muhajir Ummu Qais. Namanya terabadikan karena konon menjadi penyebab Nabi menyabdakan hadis tentang niat. Innama al-a’malu bi al-niyyah adalah hadis yang sangat agung karena niat merupakan pendulum penentu dari nasib suatu amal perbuatan. Hal ini menunjukkan pentingnya kedudukan niat.

Kisah pemuda tadi bermula dari lamarannya yang ditolak oleh Ummu Qais—wanita yang digandrunginya. Perempuan Mekkah itu memilih mengikuti instruksi Nabi untuk berhijrah ke Madinah, meskipun meninggalkan kampung halaman bukan hal yang mudah. Menjelang keberangkatan, datang pemuda itu melamarnya. Namun, Ummu Qais lebih mengutamakan tekadnya untuk hijrah mengikuti himbauan Nabi ketimbang menikah.

Lelaki itu memutuskan untuk turut serta hijrah demi mengejar sang wanita. Jarak ratusan kilo bukan perkara, agar cintanya pada Ummu Qais tak karam hanya karena jarak. Sejak saat itu pemuda hijrah ini dijuluki Muhajir Ummu Qais. Sebab hijrahnya dilakukan untuk menikahi seorang wanita. Diceritakan, bahwa ia pun berhasil menikahi Ummu Qais.

Berita tentang pemuda itu pun sampai ke telinga Nabi. Lalu beliau menanggapinya dengan bersabda, Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya tiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Barang siapa hijrahnya karena (ingin mendapat keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan dinilai sebagaimana) yang dia niatkan (HR. Bukhari-Muslim).

Sabda Rasulullah di atas secara umum menggambarkan bagaimana amal perbuatan manusia akan dibalas sesuai dengan apa yang diniatkannya. Seorang yang menjadikan ridha Allah dan Rasulullah sebagai pijakan niat dalam berbuat sesuatu, maka Nabi sendiri yang menjamin ia dalam jalur keridhaan Tuhan dan Rasul-Nya. Itu balasan sepadan dengan apa yang diniatkan. Sedangkan, berbuat hal dengan intensi duniawi, maka hanya urusan duniawi itu pulalah yang paling mungkin akan didapatkan. Ia melewatkan tujuan yang lebih mulia, yakni perkenan Tuhan dan utusan-Nya.

Hijrah bukan sekadar perkara perpindahan secara fisik, tapi lebih mendalam dari itu, yakni komitmen, niat murni karena Allah, pengorbanan, ketulusan, dan sebagainya. Itulah mengapa perbuatan pemuda tadi mengejar wanita dan dunia nampak dicela, padahal merupakan dua hal yang diperbolehkan. Di samping itu ia tak menempatkan Tuhan sebagai pelapis utama dari perbuatannya.

Baca Juga  Rahasia Keagungan Kandungan Al-Quran

Kata al-a’mal dalam permulaan hadis tersebut, dikatakan maknanya adalah amal perbuatan secara umum. Konsekuensinya, jika itu amal ibadah (mahdhah), maka dengan sendirinya ia akan mendapat ganjaran. Adapun jika perbuatan biasa seperti minum, makan, atau tidur, bisa bernilai ibadah dan menghasilkan pahala jika diniatkan untuk mendekatkan diri dan bertakwa kepada Allah. Di sinilah relevansi nyata dari niat, yakni untuk membedakan antara ibadah dengan rutinitas (kebiasaan).

Secara etimologi, niat berarti menyengaja. Dalam konteks ibadah sendiri, niat adalah pembeda satu ibadah dengan ibadah yang lain. Seperti halnya membedakan satu ibadah fardhu dengan fardhu lainnya, atau suatu amalan fardhu dengan sunnah.

Peristiwa khusus tadi menjadi dasar dari hadis yang posisinya amat sentral dalam ajaran Islam. Niat adalah bagian dari iman karena merupakan pekerjaan hati. Para ulama saling mengemukakan beragam pemikirannya untuk menggambarkan keistimewaan hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidina Umar bin Khaththab ini. Ada yang menyebutnya sepertiga ilmu, seperempat, ada pula yang menilainya seperlima ilmu. Dalam permulaan karyanya, banyak ulama yang menyertakan hadis ini, seperti halnya Imam Bukhari. Keberadaan hadis niat di awal sebuah buku diharapkan dapat menjadi peringatan sekaligus pengingat bagi para pelajar untuk meluruskan niat dalam belajar.

Menurut Imam Syafi’i hadis ini adalah sepertiga agama, sebab amal perbuatan manusia dilakukan dengan hati, ucapan (lisan), dan anggota badan. Dan niat merupakan salah satu aktivitas dari ketiganya yang justru paling signifikan. Sebab niat bisa menjadi ibadah yang berdiri sendiri. Disebutkan dalam hadis, bahwa saat seseorang berniat melakukan kebaikan tapi belumlah ia lakukan, pahala kebaikan tetap dicatat baginya. Di lain riwayat juga dikatakan, bahwa Niat seorang mukmin lebih utama dari perbuatannya (HR. Al-Baihaqi).

Kisah Muhajir Ummu Qais mengingatkan kita untuk senantiasa meluruskan niat. Kehadiran niat sendiri otomatis penting bagi suatu amal perbuatan. Bahkan saking istimewanya, perkara yang semula biasa dapat bernilai ibadah manakala niat mengambil peran di sana. Bisa dikatakan rugi jika melakukan sesuatu terhenti pada motif duniawi saja, karena tujuan tertinggi adalah Allah dan keridhaan-Nya. Ketika melakukan amal perbuatan dengan niat mengharap perkenan Tuhan, tujuan dunia pasti turut serta. Tapi tidak sebaliknya. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.