Tadabur Teladan Nabi Adam dalam Al-Quran

KolomTadabur Teladan Nabi Adam dalam Al-Quran

Kisah Nabi Adam AS merupakan jantung dari drama kehidupan Manusia. Kekeliruan dalam memahami dan menceritakan kisah Nabi Adam AS, akan berdampak luas pada bagaimana seseorang memandang dirinya sebagai manusia. Anggapan buruk tentang perbuatan Nabi Adam yang memakan buah pohon terlarang, misalnya, akan menyebabkan seseorang menyesali dan memandang negatif kehidupannya di bumi. Padahal, jika kita sekali lagi menengok ke dalam al-Quran dan melihat kisah-kisahnya di sana, kita akan menemukan kembali jati diri positif sebagai manusia yang akan menjalani kehidupan cinta di bumi. 

Kisah Nabi adam diceritakan dalam al-Quran pada baanyak ayat. Al-Baqarah:30-9, al-A’raf:11-25, al-Isra’:61-5; Thaha:115-23, dan Shad:71-85. Bagian paling purba dari kisah adam ialah fakta bahwa Adam awalnya sama-sama tinggal di surga, begitu pula dengan iblis.  Kedua tokoh ini sama-sama diperintahkan untuk tunduk pada satu perintah ilahi. Bagi Adam adalah perintah untuk menjauhi sebuah pohon di surga. Sedangkan Iblis diperintahkan untuk bersujud. Tetapi mereka kemudian melakukan pelanggaran atas perintah tersebut. Apakah kedua tokoh ini menerima konsekuensi yang sama karena gagal menegakkan perintah ilahi? tidak. Adam dan Iblis memiliki akhir yang berbeda. Adam diampuni dan diberkahi sedangkan Iblis dikutuk. 

Saat ditanya mengapa Iblis tidak mematuhi perintah untuk sujud, Iblis menjawab dengan nada menantang dan sombong, Aku lebih baik darinya (QS. Al-A’raf :12). Karena didorong oleh kesombongan, dan menggunakan logikanya sendiri yang bertentangan dengan Perintah Ilahi, Iblis melawan Allah, dengan demikian dia dikutuk. Setan itu, dalam keangkuhannya, gagal menyadari bahwa zat ilahi bercahaya yang disebut ruh ditanamkan ke dalam Adam (QS. Shad: 72) Terlepas dari sifat Adam yang seperti tanah, roh yang mengetahui Tuhan inilah yang menjadi potensi umat manusia untuk naik lebih tinggi di atas semua makhluk hidup lainnya.

Kisah moyang kita, Nabi Adam adalah kisah cinta, bukan kesombongan penghuni surga. Cinta Adam kepada Allah SWT dan keinginannya yang kuat untuk tetap berada di hadirat-Nya, yang mendorongnya untuk makan dari pohon. Pelanggaran yang dilakukannya bukan karena menentang Allah, tetapi karena lupa [20:115]. Ibn ‘Ajibah memberikan penafsiran yang terang tentang persoalan ini.

Di dalam kitab tafsirnya yang berjudul Bahr al-Madid fi Tafsir Qur’an al-Majid (4:320), ia menulis, sadarilah bahwa Adam makan dari pohon bukanlah karena keingkaran atau ketidaktaatan yang disengaja. Entah karena tidak mengingat perintah, lalu dia memakannya secara tidak sengaja, seperti yang dikatakan sebagian orang, dan itulah yang dimaksud dengan firman Allah, tetapi dia lupa (QS. Taha: 115). 

 Ibnu ‘Ajibah menambahkan, jika dia makan sambil mengingat perintah, berarti ia ingin menjadi malaikat atau menjadi abadi (QS. al-A’raf: 20). Jadi, cintanya kepada Allah dan keterikatan yang mendalam kepada-Nya membuatnya menginginkan apa yang akan membawanya untuk tinggal selamanya di sisi Allah dan tinggal bersama-Nya selamanya. 

Baca Juga  Gus Mus: Indonesia Rumah Kita, Indonesia Wajib Dijaga

Tidak diragukan lagi, setan menggunakan cinta Adam kepada Allah dan kerinduannya untuk berada di hadirat-Nya sebagai sarana untuk membuatnya memakan buah dari pohon. Adam dengan demikian tertipu dan mengira bahwa dia akan menjadi malaikat atau abadi tinggal di hadirat suci Allah selamanya, dapat terus-menerus memuji, memuliakan dan menyembah Tuhan seperti yang dilakukan para malaikat. 

Ironisnya, cinta itu telah membuat dia untuk sementara waktu meninggalkan kehadirat Allah. Cinta yang sama inilah yang menyebabkan dia kemudian menangis ribuan kali dan menjadi benar-benar patah hati dan menyesal. Tidak seperti Setan yang menolak untuk mengakui dosanya serta mencari pembenaran dengan logikanya, Adam dan Hawa mengakui kesalahan mereka, menyesal, bertobat dan merindukan penerimaan Allah kembali, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al-A’raf: 23)

Adam sama sekali tidak memanfaatkan statusnya yang ditinggikan, yang telah mendapat penghormatan ‘sujud’ dari makhluk surga (QS. Al-Baqarah: 34). Ia juga tidak menghiraukan kekayaan pengetahuan yang dimilikinya langsung diajarkan oleh Allah (QS, Al-Baqarah: 31), ia tidak menuntut belas kasih karena memiliki keistimewaan maupun kemuliaan dengan adanya roh ilahi yang ditiupkan pada dirinya (QS. Al-Hijr :29]. Sebaliknya, dia hanya memohon ampunan dengan kerendahan hati yang serendah-rendahnya. “Ya Tuhan kami! Kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami, dan tidak mengasihani kami, maka kami termasuk orang-orang yang merugi!” (QS. Al-A’raf: 23).

Salah satu titik terakhir, dan yang penting, ketika kita mengatakan bahwa Adam “berdosa”, itu bukanlah jenis dosa yang didorong oleh penentangan ego yang disengaja terhadap Allah. Sebaliknya, seperti yang dikatakan Al-Quran di tempat lain, itu adalah dosa yang tidak disengaja, “tergelincir” (QS. Al-Baqarah: 36). Jadi, dapat dikatakan bahwa Iblis didorong oleh kesombongan, Sedang kejatuhan Adam, sangat kontras dari itu, telah didorong oleh cinta dan kerinduannya untuk terus bersama Tuhannya.

Karena telah bertobat dengan tulus kepada Tuhan, Adam tidak mewariskan kutukan “dosa asal” kepada keturunannya. Sebaliknya, dia telah diterima ke dalam rahmat ilahi, dan keadaan harmoni sekali lagi dipulihkan antara dia dan Penciptanya. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima taubatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang (QS. Al-Baqarah: 37). 

Teladan Nabi Adam tetap berlaku hari ini seperti dulu. Rahmat serupa menanti semua orang yang berdosa tetapi kembali kepada Allah dalam taubat yang penuh penyesalan, mengikuti contoh Adam. Kuncinya adalah dengan merenungkan Tuhan dan rahmat-Nya, itulah yang dapat menjadikan seseorang menjadi lebih dekat dengan Allah dan lebih bertakwa kepada-Nya. Dalam kisah Adam, Iblis hanya merenungkan dirinya sendiri, sedangkan Adam terus-menerus merenungkan Tuhan dan ingin dekat dengan-Nya.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.