Darurat Budaya Malu

KolomDarurat Budaya Malu

Ada paceklik budaya malu di ekosistem politik pemerintahan bangsa ini. Di tengah hilir mudik tertangkapnya pejabat korup yang nyaris tak pernah menunjukkan penyesalan dan rasa bersalah, kita kian disentak oleh praktik politik kekuasaan yang menggelisahkan. Politik yang mengabaikan etika, menyisihkan nilai, hingga memperdaya konstitusi. Isu kencang politik dinasti yang menyeret nama orang nomer satu di Indonesia saat ini beserta keluarganya semakin sulit dibantah. Kita tak boleh lengah, harus sadar bersuara, mengingatkan sesama sekaligus mereka yang di sana.

Lolosnya Gibran Rakabuming Raka, putra pertama Presiden Jokowi, menjadi calon wakil presiden dari Prabowo Subianto merupakan serangan tajam bagi demokrasi kita. Aroma nepotisme dan konflik kepentingan dari proses pencalonannya demikian kuat. Pasalnya, Gibran lolos melalui mekanisme yang cacat moral sekaligus hukum, buah dari putusan Mahkaham Konstitusi (MK) yang diloloskan oleh pamannya sendiri, Anwar Usman. Sang paman pun kini telah dipecat dari jabatan sebagai Ketua MK karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Akhlak malu tampaknya benar-benar tidak menjadi kalkulasi sikap para pejabat tersebut. Kita layak berkabung melihat kondisi pemerintahan saat ini. Sebelum jauh-jauh menyoal aturan maupun sistem pemerintahan, penting untuk terlebih dahulu mendudukkan kesadaran moral dan nilai. Etiskah kiranya ketika seorang hakim mengadili perkara yang berhubungan dengan keponakannya sendiri? Apakah pantas seseorang mencalonkan diri sebagai pejabat publik sementara sang ayah masih aktif menjadi kepala negara? Adanya hubungan darah/kekerabatan antara yang akan dan sedang berkuasa serta kondisi keberadaan di tampuk kekuasaan merupakan dua unsur yang menyokong bangunan politik dinasti, di mana sangat berpotensi menimbulkan abuse of power.

Norma dan nilai demokrasi yang tidak lagi dipedulikan oleh para pemimpin negara demokrasi merupakan alarm kemunduran bahkan kerusakan demokrasi. Ilmuwan politik Universitas Cambridge, David Runciman, menyatakan bahwa boleh jadi demokrasi akan berakhir dalam bentuknya saat ini, dan apabila itu terjadi, maka hal tersebut akan disebabkan oleh lembaga-lembaga kosong yang memberikan bentuk dan bukan realitas demokrasi. Dalam bukunya How Democracy Ends, Runciman memperingatkan tentang ancaman mutakhir terhadap demokrasi. Ancaman yang subtil dan konspiratif, di mana kita cenderung kesulitan mengidentifikasi apakah suatu kondisi itu mengancam demokrasi atau tidak. Ia menganalisis bahwa di negara-negara yang terbilang mapan demokrasinya, kegagalan demokrasi tidak akan terjadi melalui cara-cara lama seperti kudeta militer, namun akan dirusak secara tak kasat mata, dari dalam.

Sebagai gambaran sederhana kita menyaksikan, institusi hukum kita memang berdiri, tapi nyatanya dibajak yang berkuasa. Masyarakat/pers bisa bersuara, namun yang kritis pada penguasa dibungkam dan dikriminalisasi. Pemilu pun masih menjadi hajatan rutin kita, tapi warga hanya jadi obyek kalkulasi suara menuju kursi kekuasaan politik. Legislatif yang mewakili rakyat berjajar dari daerah hingga pusat, namun yang sering kita dengar, wakil rakyat itu mangkir, tidur, bahkan malah bermain games saat rapat. Benar, karakter dan pilar demokrasi tersebut memang berwujud di negeri ini, tapi fungsi dan maknanya jauh panggang dari api. Realitasnya buram meski bentuknya nyata. Menurut penulis, tesis Runciman tentang kerusakan tak kasat mata bangunan demokrasi, bisa menjadi instrumen kritis untuk mempertanyakan sejumlah politisi yang kerap menyangkal ketidaksehatan demokrasi kita, yang terus berdalih bahwa demokrasi kita ‘baik-baik saja’. Toh katanya tidak ada kudeta, lembaga hukum berjalan, pers masih berdiri, masyarakat bisa bersuara.

Baca Juga  Mengurai Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Isra Miraj

Darurat menunjukkan perlunya penanganan mendesak dan segera. Jika tidak, bisa mengakibatkan komplikasi kronis bahkan fatal. Indikasi lain akan kondisi sulit demokrasi kita, penulis melihatnya dari pergerakan sipil sejumlah tokoh lintas agama, pemerhati sosial, budayawan, hingga wartawan yang belum lama ini mendatangi kediaman Gus Mus, ulama kharismatik Tanah Air, guna mendiskusikan persoalan kebangsaan dan demokrasi saat ini. Dalam jumpa pers yang digelar, koalisi sipil itu pun menyatakan bahwa kunjungan mereka ke Gus Mus adalah lantaran kegelisahan mereka terhadap dinamika politik dalam negeri. Disebutkan bahwa dalam situasi ini, kita harus terus saling mengingatkan—terutama penguasa—untuk kembali pada nilai serta moral sebagai kompas sikap hidup berbangsa dan bernegara.

Lakon nepotis baru yang santer dijuluki masyarakat sebagai “Mahkamah Keluarga (MK)” dan “Politik Dinasti” di panggung teater KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) negeri ini adalah pukulan mundur yang mungkin tampak samar tapi nyata adanya. Seperti yang dianalisis oleh Runciman, perusakan demokrasi dari dalam membuat kita kesulitan mendeteksi apa yang sesungguhnya terjadi serta kewalahan membedakan antara ketakutan dan kenyataan. Namun yang mesti diingat, etika, nilai, dan prinsip luhur adalah poros penunjuk menuju arah yang lurus.

Ketika orang tak lagi punya rasa malu, ia seperti halnya mayat di dunia ini. Melalui penyusuran makna intrinsiknya, kata “malu” (Ar: al-hayaa’) dalam bahasa Arab merupakan derivasi dari kata “al-hayaah” yang berarti “kehidupan”. Sehingga, manakala seseorang melepaskan unsur rasa malu dari diri dan perilakunya, hakikatnya ia sedang hidup dalam dimensi lain yang membuatnya tercegah dari rasa tenang dan keterhubungan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.