Syaikh Sulaim As-Suyuthi: Cinta dalam Lindungan Taqwa

KhazanahHikmahSyaikh Sulaim As-Suyuthi: Cinta dalam Lindungan Taqwa

Menjadi manusia yang bertaqwa adalah keniscayaan bagi seorang hamba. Tanpa ada rasa taqwa, apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Tuhan semuanya tidak dipedulikan. Padahl, ketaqwaan merupakan tuntunan bagi hamba agar ia memperoleh sesuatu maslahat dan hak dalam setiap kewajiban serta sunnah yang dijalankannya.

Dalam buku Ketawa Sehat Bareng Ahli Fikih karya Khaeron Sirin (2016), dikisahkan tentang awal berseminya cinta yang mewarnai kehidupan Syaikh Sulaim As-Suyuthi yang terjadi di kota Damaskus, Syiria. Ia seorang yang dipercaya dan terkenal karena kezuhudannya. Ia sudah lama tinggal di salah satu ruangan Masjid besar yang bernama Masjid Jami’ At-Taubah. Konon, lingkungan tersebut sebelumnya menjadi tempat hiburan dan kemaksiatan, kemudian pada abad ke-7 seorang sultan membangun masjid ini.

Sudah menjadi kebiasaan, bagi Syaikh Sulaim melewati hari-harinya tanpa makan dan sekeping uang. Dalam kelaparan ia sering kali merasa kematiannya telah dekat, tetapi ia menganggapnya sebagai ujian. Suatu Ketika ia benar-benar tak lagi mampu menahan rasa laparnya. Mungkin dalam fikih, syaikh ini masuk dalam kualifikasi orang-orang yang diperbolehkan memakan bangkai sebab situasi darurat. Entah bisikan dari mana, dorongannya begitu kuat jika ia benar-benar tidak dapat makan saat itu karena kelaparan yang sangat, ia terpaksa memilih mencuri.

Masjid At-Taubah berada dalam lingkungan yang padat, rumah-rumah berdampingan satu dengan lainnya, hingga terlintah oleh Syaikh untuk memakan makanan yang ada sedang dijemur di atas rumah. Kebetulan ia melihat rumah kosong dan langsung mengarah ke atap rumah itu. Aroma masakan tercium kuat, langsung saja ia menuju ruang dapur dan benar terhidang  masakan di meja makan.

Perutnya yang meronta-ronta meminta untuk diisi membuatnya langsung mengambil makanan tersebut, tak peduli walaupun makanan tersebut masih panas dan asapnya masih mengepul. Namun, saat hendak menelannya. Ia tersadar, bahwa perbuatannya salah dan mengeluarkan apa yang ada dalam mulutnya.

Astaghfirullah, ‘audzubullahiminasyaitanirrajim. Aku mencuri, mana imanku. Aku berlindung pada Allah.”

“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi, aku seorang muadzin, seorang penuntut ilmu, murid dari ulama besar, tetapi berani masuk rumah orang lain dan mencuri. Astaghfirullah, ini tidak boleh terjadi”

Baca Juga  Healing dengan Praktik "Tombo Ati"

Syaikh kembali pulang menuju masjid. Sepanjang jalan ia terus beristighfar dan merasa telah melakukan dosa besar. Tiba di masjid, ia mengikuti pengajian dari gurunya. Pengajian telah selesai, guru memanggil-manggilnya dan ada wanita bercadar turut duduk di sana. Selanjutnya guru memulai percakapan.

“Apakah kamu telah menikah?”

“Belum jawabnya”

“Apakah kamu mau menikah?”

Ia terdiam seribu bahasa ditanya oleh gurunya. Memikirkan menikah, hidupnya saja sudah sangat kesulitan bagaimana ia nanti akan mengurusi keluarganya. Guru mencoba mengulangi lagi perkataannya.

“Wahai guru, demi Allah untuk membeli sekerat roti pun aku tidak mampu bagaimana aku bisa menikah?”. Mendengar jawaban Syaikh, guru hanya tersenyum lalu melanjutkan perkataannya. “Wanita itu bercerita kalau dirinya ditinggal wafat suaminya. Kini masa iddahnya sudah habis dan ingin mendapat suami lagi yang menikahinya sesuai ajaran Rasulullah SAW agar tidak sendirian lagi, sehingga ia menutup kesempatan bagi orang yang mau berbuat jahat. Apakah kamu ingin menikahinya?”

Syaikh menjawab, “Insyaallah saya mau”. Dan si Wanita menerima syaikh sebagai suaminya. Akad nikah berlangsung ketika itu dan guru memberi mahar kepada muridnya agar dijadikan mas kawin kepada sang istri. Mereka pun pulang bersama menuju rumah wanita itu. Sesampainya di rumah, Syaikh terkejut, wajah istrinya ternyata sungguh cantik, tetapi lebih mengejutkan lagi kalau rumah yang dikunjunginya saat ini adalah rumah yang dimasukinya tadi siang.

Istrinya menanyakan, “Apakah kamu sudah makan?”, Syaikh menjawab belum. Lalu diajaknya ke dapur, tapi istrinya terperanjat saat memasuki ruang dapur. Ia tidak tahu apa yang terjadi mengapa meja makannya begitu berantakan. Alhasil, Syaikh ini menceritakan secara jujur atas apa yang terjadi.

“Kau lulus ujian, suamiku. Kamu menjaga dirimu dari perbuatan haram dan sebagai balasannya Allah memberimu makanan, rumah, sekaligus pemiliknya secara halal,” ungkap sang istri. Mereka menangis bersama. Sejak saat itu Syaikh menjalani kehidupan barunya lebih baik bersama istrinya yang jelita, salehah, dan cerdas. Dan dengan hartanya ia menuntut ilmu dan menjadi ulama besar.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.