Meniru Keindahan Nabi SAW

KhazanahMeniru Keindahan Nabi SAW

Ada sekelompok Muslim yang mengaku mengikuti Nabi SAW, namun hanya termotivasi oleh politik identitas, bukan sunnah. Tidak heran, kita sering melihat mereka menampilkan kemarahan, protes ofensif, dan kebencian, serta menjadikan ‘sunnah’ sebagai alat untuk melampiaskan kecemasan dan frustasi politiknya. Hal demikian itu telah lama menggelapkan dan merusak arti sunnah Nabi SAW. Sejatinya, Umat Muslim diajarkan untuk mengikuti sunnah Nabi SAW karena cinta, merasakan keindahan, dan kebijaksanaannya. 

Bagi orang beriman, meniru Nabi SAW adalah meniru keindahan. Beliau adalah sosok yang paling indah dan sempurna akhlaknya. Cinta, hormat, keterikatan, dan kekaguman yang dimiliki umat Islam kepada Nabi SAW bukan hanya fakta sejarah yang mengesankan, melainkan juga bagian sentral dari iman seorang Muslim.  Orang mengaku mengikuti Nabi SAW namun menunjukkan keburukan dan moral yang rendah sungguh tidak dapat dipercaya. Al-Quran menyatakan, Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu… (QS. Al-Ahzab: 21).

Nabi Muhammad adalah seorang pria yang mengalami hidup yang luar biasa. Beliau bukan saja seorang gembala, pedagang, yatim piatu dan pernah diusir, tetapi juga seorang pemimpin, pemberi hukum, negarawan, dan pahlawan. Nabi Muhammad SAW juga merupakan seorang suami, seorang ayah yang kehilangan anak berkali-kali, seorang teman, seorang pendamping, dan seorang duda. Dan dalam semua peran ini beliau adalah teladan. Nabi SAW, secara kiasan, adalah al-Quran yang ‘berjalan’. Oleh karena itu, bagi umat Islam, Sunnah Nabi mewakili kesempurnaan perilaku dan ciptaan manusia yang patut diikuti. 

Uniknya, mengikuti sunnah, mengikuti satu orang yang sama yaitu Nabi Muhammad SAW, tidak menghasilkan keseragaman yang membosankan. Namun sebaliknya, meskipun Muslim yang baik hidup dalam pola kepercayaan dan perilaku yang sama, selalu ada keberagaman antara satu sama lain, masing-masing karakternya lebih kuat, dan kepribadian lebih jelas. Itu artinya, ada norma transenden dari kekayaan karakter Nabis SAW yang tak habis-habisnya. 

Baca Juga  Sayyidah Fatimah az-Zahra, Perempuan Agung

Dengan kata lain, sebagaimana yang dikatakan Charles Le Gai Eaton, Keutamaan-keutamaan agung itu, sunnah-sunnah Nabi SAW yang coba ditiru oleh orang beriman, dapat diekspresikan melalui sifat manusia dalam berbagai cara yang tak terhitung banyaknya, berbeda dengan gaya duniawi hanya mendorong pada keseragaman. Begitu tulis Gai Eaton dalam bukunya yang berjudul Islam and the Destiny of Man (1997: 201)

Maka dari itu, keyakinan bahwa Sunnah hanya dapat dipraktikkan tanpa sedikit pun perubahan dalam cara kita melakukannya “di jalanan”, sebenarnya lebih bersifat ego. Sunnah datang bukan untuk membuat kita norak, terasing dari realitas, melainkan untuk meninggikan dan memuliakan. Memang, pencapaian terbesar dari ego adalah membuat amalan sunnah terlihat jelek atau tidak bermartabat. Karena tidak ada yang lebih menyusahkan daripada ketika ego berusaha mengenakan jubah Sunnah. 

Ego itulah yang seringkali membatasi Sunnah menjadi tidak lebih dari beberapa ekspresi lahiriah. Mempraktikkan sunnah hanya sebagai perilaku eksternal membuat praktik itu terlihat dangkal, tidak layak dan tidak menarik. Kesalehan yang dangkal dan reduksionisme agama seperti itu sama saja dengan menyelubungi keindahan Nabi di balik Sunnahnya. 

Sunnah, jangan lupa, adalah jalan tengah dan moderasi. Salah satu keutamaan besar Nabi Muhammad SAW adalah rasa keseimbangan dan proporsinya yang sempurna. Beliau mampu menempatkan hal-hal dalam prioritas yang benar, urutan yang benar, dan perspektif yang tepat. Semakin dekat kita dengan sunnah, semakin dekat kita dengan keseimbangan tersebut. Jadi, ketaatan pada Sunnah berarti mengikuti perintah iman untuk menghindari ekstremisme dan penyimpangan.

Singkatnya, meniru dan mengikuti Nabi SAW dalam perilaku dan perbuatannya, adalah ciri orang beriman yang sejati. Mengikuti sunnah berarti mengikuti keindahan Nabi SAW. peniruan itu semestinya tidak menonjol secara lahiriah saja, tetapi yang lebih penting lainnya ialah batin. Keduanya harus  mencerminkan dan melahirkan kesesuaian yang mendalam di dalam hati setiap Muslim.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.