Pseudo Pesantren Modus Pelecehan Seksual dan Eksploitasi Anak

KolomPseudo Pesantren Modus Pelecehan Seksual dan Eksploitasi Anak

Sejumlah masyarakat mengutuk pelaku pemerkosa dan eksploitasi santri di Madani Boarding School, Bandung, Jawa Barat. Masa depan anak-anak yang mestinya tercerahkan masa depannya di tempat belajarnya justru ternodai oleh perbuatan asusila tersebut. Tindakan oknum yang menyeret nama lembaga pendidikan berbasis keagamaan ini telah mencoreng nama pesantren dan perbuatannya yang tidak bisa dibenarkan dalam sudut apapun.

Insiden ini tidak saja membuat trauma berat bagi para korban, melainkan juga mengarah pada stigma masyarakat terhadap instansi tertentu, misalnya pesantren. Pesantren sebagai lembaga yang berbasis keagamaan diharapkan dapat membimbing dan terlindungi keamanan serta kenyamanan justru kini bermunculan banyak korban yang tak terduga.

Tercatat jumlah korban pelecehan seksual di Madani Boarding School berdasarkan laporan terbaru dari P2TP2A Garut mencapai 21 santriwati dengan umur 13-17 tahun. Aksi keji Herry Wirawan (HW) dilakukan sejak 2016-2021 dengan 9 korban yang sudah melahirkan. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan para santriwati lainnya yang ada di Madani Boarding School dieksploitasi menjadi kuli bangunan pesantren dan alat untuk meminta sumbangan yatim piatu, yang dimaksud adalah anak hasil hubungannya dengan korban. Perilaku ini sangat jauh dari sosok yang seharusnya dimiliki seorang pimpinan dan pengurus yang konon juga memiliki pondok pesantren Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani, Bandung.

Sudah sepatutnya ini menjadi perhatian bagi para orang tua agar memilih lembaga pendidikan yang baik dan aman dengan kriteria memenuhi prasyarat sebagaimana pesantren. Yakni terdapat sistem belajar yang tersistematis kurikulumnya, terdapat sejumlah pengurus atau struktur penanggung jawab walaupun sederhana, terbuka terhadap masyarakat sekitar, dapat berkomunikasi dan melihat perkembangan anak dengan baik secara intens dan bisa dijenguk langsung ke tempatnya walaupun hanya sebulan sekali.

Senada dengan apa yang dungkap Gus Dur terkait ciri-ciri pesantren, yakni termasuk warga pesantren adalah kiai (ajengan, nun, bendahara) yang menjadi pengasuh, para guru, dan santri. Kepemimpinan kiai adakalanya kerap terwakilkan oleh ustaz senior selaku lurah pondok. Fungsi ustaz sebagai tenaga pendidik dan pelatih. Atas apa yang dijelaskan Gus Dur ini tidak ada kualifikasi yang masuk dengan lembaga pendidikan yang dimiliki pelaku HW, terlebih meminta santriwati agar tinggal satu atap dengan pimpinannya. Oleh sebab itu, Madani Boarding School ini disebut sebagai pseudo pesantren atau pesantren palsu.

Baca Juga  Perjuangan Penegakan Negara Islam Tidak Akan Berhasil

Salah satu hal yang dikritisi dari modus agar murid harus patuh pada guru mesti mendapat tinjauan lebih lanjut. Sebab dalih tersebut, faktanya masih laku di pasaran hingga menelan korban. Kasus ini bukan kali pertama terjadi, melainkan beberapa kasus mendapat alibi yang sama persis dan mereka tidak cukup memiliki kekuatan untuk menolak. Ditambah lagi, sosialisasi pemahaman seks education bagi anak-anak yang kurang menyeluruh berimplikasi pada kerentanan pelecehan seksual yang terus terjadi.

Kebijakan Kementerian Agama terhadap pencabutan izin operasional atas pesantren yang diampun HW merupakan tindakan yang tepat. Namun, yang tak lebih penting adalah memberikan pemulihan terhadap trauma yang dialami korban agar mereka merasa layak diterima di masyarakat, mendapat pendidikan yang menunjang agar mereka dapat melanjutkan kehidupan sebagaimana di usia sebayanya. Langkah ini kiranya, sudah mendapat perhatian oleh beberapa pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan harus dibimbing sampai benar-benar pulih.

Dari sekian maraknya kasus pelecehan seksual pada anak, Sumartono dan Intasari (2008), diakibatkan anak tidak tahu dan tidak menyadari bahwa perlakuan orang dewasa menyentuh bagian pribadi adalah hal yang salah. Di samping tidak mengetahui bagaimana cara mempertahankan diri bila mengalami perlakuan tersebut. Haffner (1990) menyatakan, bahwa pendidikan seksualitas yang komprehensif meliputi dimensi biologis, sosiokultural, psikologis, dan spiritual termasuk mengajarkan seseorang agar mampu melakukan proteksi diri dan membuat keputusan yang bertanggung jawab.

Berdasarkan yang diungkap oleh para ahli di atas, pendidikan seks yang masih dinilai tabu ketika diajarkan pada anak harus dikesampingkan. Mengingat korban terus bertambah, maka sudah sepatutnya pendidikan seks tersebut diajarkan sejak dini demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terus terjadi.

Walhasil, pelaku dan korban pelecehan seksual bisa terjadi pada siapapun, baik itu orang tua sendiri, guru, teman, dan sebagainya. Lembaga pendidikan yang berbasis agama kini sudah sangat cukup tercoreng akan adanya kasus tersebut. Namun, hal ini dapat diantisipasi dengan memilih lembaga pendidikan yang lebih berkualitas dan mensurvei terlebih dahulu kegiatan yang ada. Tidak mudah terpancing dengan iming-iming gratis, fasilitas baik, jaminan pekerjaan, karena biasanya di balik tawaran yang menggiurkan itu ada hal yang harus diwaspadai dan manipulatif.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.