Syariat Bukan Ideologi Politik

KolomSyariat Bukan Ideologi Politik

Sejak kelompok militan Islam bergerak meneror dan memerangi dunia modern di awal abad 20, istilah Syariat telah disalahgunakan secara berbahaya. Mereka menamai inovasi reformasi sosial mereka sebagai penegakkan Syariat Islam atau penerapan Hukum Allah. Sejak saat itu, ‘Syariat’ telah menjadi kata bermuatan politik barbar. Kesalahpahaman tentang Syariat pun tumbuh subur di tengah masyarakat Muslim. Banyak yang menganggap bahwa Syariat adalah ideologi revolusioner, sebagaimana tandingan kapitalisme, sekularisme, seperti yang sering dibingkai oleh aktivis politik Islam yang sering kita jumpai. 

Syariat bukan ideologi politik duniawi yang hanya bisa diklaim sekelompok orang sebagai ideologi politik. Pemahaman ‘ideologis’ Syariah nyatanya difokuskan pada hal-hal duniawi, geopolitik, dan keinginan untuk merebut kekuasaan dari apa yang mereka anggap sebagai pemerintah Muslim ‘kafir’. Padahal, meskipun Islam menentang ketidakadilan di mana pun di dunia, hal itu tidak pernah mengabaikan landasan spiritual dan etika. Tidak ada dasar yang kuat dalam Islam untuk memicu permusuhan, radikalisme, dan perpecahan sosial untuk menerapkan syariat. 

Kelompok Muslim militan, atas nama penerapan Syariat, telah mengacaukan sebagian besar dunia Muslim dengan ideologi politik mereka. Pada dasarnya, bagi Islam, kekuatan politik hanya penting selama demi melindungi hak-hak Muslim untuk mempraktikkan Islam secara bebas, aman, dan sejahtera. Pemerintahan bukanlah tujuan, melainkan hanya sarana untuk mencapai tujuan, yakni keleluasaan hak beribadah kepada Allah saja dan kesejahteraan bagi ciptaan-Nya.

Banyak nabi-nabi Allah yang duduk di tahta seorang raja. Namun, Nabi kita Muhammad SAW sendiri menolak menjadi raja ketika Allah SWT menawarkan jabatan itu. Beliau lebih memilih untuk fokus menyembah Tuhannya dan melayani kehendak-Nya di bumi dengan menyampaikan pesan Allah SWT kepada umatnya. Dalam sebuah hadis, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Malaikat Jibril bersama Nabi SAW yang melihat ke langit di mana malaikat sedang turun. Jibril berkata, sesungguhnya malaikat ini tidak turun sejak dia diciptakan. Lalu, Malaikat itu berkata, wahai Muhammad, Tuhanmu telah mengutus aku kepadamu dengan tawaran agar aku menjadikanmu seorang nabi-raja atau seorang hamba-utusan.” Jibril berkata, “Jadilah rendah hati di hadapan Tuhanmu, ya Muhammad. Nabi SAW berkata, sebaliknya, saya akan menjadi seorang rasul-hamba. (HR. Ahmad)

Sekelompok Muslim yang sangat berambisi mengejar kekuasaan politik, mengaku ingin menerapkan pemerintahan Tuhan, bahkan menganggap gerakannya sebagai kewajiban umat Islam dan sibuk mengurusi agenda duniawi seperti itu, tidak pernah mendapat dukungan yang baik dari Ulama. Kritik terhadap golongan semacam itu banyak tertuang dalam kitab-kitab khazanah keilmuan Islam, diantaranya dalam  Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah (Vol. 1, h. 75), tertulis “orang yang mengatakan urusan pemerintahan adalah tujuan yang paling utama dalam hukum agama dan hal yang paling mulia bagi kaum muslimin, maka dia telah berbohong menurut ijma kaum muslimin, baik sunni maupun syiah. Sebaliknya, ini adalah keingkaran. Karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah hal yang lebih penting daripada pemerintahan. Hal ini dikenal dengan keniscayaan dalam agama Islam.”

Baca Juga  Menjaga Tradisi Islam Nusantara

Wacana penerapan Syariat Islam sebagai hukum positif, sebagaimana gerakan politik Islam saat ini, tidak pernah sesuai dengan tradisi Islam. Syariat bukan untuk diakomodasi dalam bingkai formal dan ditegakkan oleh negara sebagai bagian dari sistem hukum yang baku, beku, dan kaku. Sebalikanya, Syariat itu cair, mengalir, dan dapat meresap kemana-mana. Syariah secara harfiah berarti ‘jalan menuju sumber air’, yang mencerminkan suatu sifat ‘memberi kehidupan’. Dengan kata lain, Syariat adalah prinsip, sumber inspirasi, dan semangat bagi manusia untuk menjalani kehidupannya dengan benar, sebagaimana al-Quran dan Hadis. 

Maka dari itu, dengan memperlakukan Syariat sebagai hukum positif rumusan manusia, Syariat berhenti menjadi apa yang seharusnya, ia tidak lagi universal tetapi parsial. Orang-orang yang kerap mengaku paling Islam dengan mengklaim syariat Islam di pihaknya sendiri, nyatanya telah menjatuhkan syariat dari posisinya sebagai sumber tertinggi umat Islam yang mengaliri banyak aspek, menjadi hukum instan yang mudah direvisi dan diterapkan secara politis dan sinis. Untuk itulah, telah menjadi kewajiban umat Islam untuk mengembalikan makna Syariat yang sebenarnya di benak publik.

Syariat itu rasional dan didasarkan pada tujuan yang jelas (maqashid) yang merupakan dasar dari kesejahteraan dan peradaban manusia. Tujuan syariat bukan kekuasaan politik. Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya yang berjudul al-Mustashfa min Ilm al-Ushul (Vol 1, h. 174), menulis bahwa, kesejahteraan (maslahat) adalah pelestarian tujuan Syariah. Tujuan Syariah ada lima dalam penciptaan, yakni perlindungan agama, kehidupan, akal, hubungan keluarga, dan harta. Segala sesuatu yang memajukan perlindungan kelima asas ini dianggap kemaslahatan, dan segala sesuatu yang gagal melindungi lima asas ini dianggap merusak.

Ulama lain yang menjadi rujukan utama umat Islam, Ibn al-Qayyim, juga menulis dalam kitabnya yang berjudul I’lam al-Muwaqqi’in (Vol. 3, h. 11), sesungguhnya Syariat didirikan di atas kebijaksanaan dan kesejahteraan bagi para hamba di kehidupan ini dan akhirat. Secara universal berarti keadilan, belas kasihan, manfaat, dan kebijaksanaan. Setiap hal yang meninggalkan keadilan untuk kezaliman, rahmat untuk kekejaman, manfaat untuk kerusakan, dan kebijaksanaan untuk kebodohan bukanlah bagian dari Syariah, bahkan meskipun hal itu diperkenalkan di dalamnya dengan penafsiran.

Umat Islam memang memiliki hak untuk untuk menentukan dan mengekspresikan identitas keislamanya. Namun hal itu tidak dapat menjadi dasar pemberlakuan dan penegakan syariah seperti negara syariat. Kenapa? sebab norma apapun yang ditegakkan sebagai hukum positif adalah kehendak politik yang terbatas, dan tidak akan menjadi syariah sebagaimana nilainya yang merupakan Kehendak ilahi yang agung dan tidak terbatas dan sudah semestinya universal. Maka dari itu, kepura-puraan menegakkan Syariat melalui undang-undang positif atau negara Islam kaffah, seperti yang diklaim oleh pemerintahan Taliban, atau yang diadvokasi oleh aktivis politik Muslim di berbagai negeri Muslim itu manipulasi berbahaya terhadap sentimen umat Islam.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.