Propaganda Fitrah Gender

KolomPropaganda Fitrah Gender

Doktrin bahwa peran domestik adalah fitrah perempuan merupakan sebuah narasi konsisten di antara para islamis politik. Kerancuan utama mereka terletak pada anggapan bahwa peran gender adalah produk fitrah, seperti halnya organ vital seksual yang menentukan laki-laki dan perempuan. Setelah menyaksikan sendiri masifnya deklarasi anti-kesetaraan gender yang mengatasnamakan Muslimah, serta kencangnya dakwah biner gender tradisional yang kaku, saya jadi teringat konten propaganda gender di majalah Dabiq, yang mendunia di tahun-tahun berjayanya ISIS. 

Tidak dipungkiri lagi, romantisme kekakuan tugas utama wanita sebagai Ummu wa robbatul Bayt atau ibu dan pengurus rumah tangga memiliki kemiripan dengan propaganda Islam Politik paling ekstrem di abad ini, yaitu ISIS. Kelompok ini mengaitkan peran keistrian dan keibuan perempuan sebagai bagian dari agenda perlawanan barat dan antitesa dari kemajuan perempuan modern. Sayangnya, belakangan konten propaganda ini kian berkembang di kalangan Muslimah kita. Mereka aktif menyuarakan pembenaran bagi penyimpangan terhadap penafsiran teks agama tentang hak-hak perempuan, menolak memodernisasi relasi gender. Seperti yang saya dengar dari deklarasi We Need Islam not Gender Equality beberapa hari lalu.

Ada banyak sekali publikasi atau jurnal ilmiah yang meneliti konten-konten di media kaum ekstrimis Muslim, terutama majalah Dabiq yang secara terang-terangan menularkan penyakit radikalisme di dunia Islam. Dalam sebuah paper berjudul Islamic State and Women (2020) Mohammed A. Salih dan Marwan M. Kraidy menyajikan analisis terhadap materi propaganda di majalah Dabiq. Mereka melihat ajaran pemberdayaan perempuan yang berbeda dari pemberdayaan perempuan di dunia pada umumnya. Pemberdayaan perempuan Muslimah oleh kelompok ekstremis ini dicanangkan untuk melawan Barat.  Perempuan dikonstruksikan sebagai kebutuhan reproduktif dan ideologis untuk manifestasi kemenangan global Islam. 

Dengan menanggung peran-peran gender yang kaku ini, kelompok islamis melemahkan energi perempuan dan menggesernya dari hak dan kewajiban sosial ke kebutuhan biologis, yaitu fungsi reproduksi. Pada akhirnya, nilai perempuan terletak pada melahirkan anak dan membesarkan mereka.

Hingga kini, propaganda gender kaum ekstrimis Muslim terus dikembangkan untuk menghasilkan rasa cemas pada wanita Muslim. Laki-laki Muslim pun dituntut bertindak tegas untuk mendisiplinkan perempuan di sekitarnya terhadap ajaran tentang fitrah domestik perempuan. Dalam propaganda ini, wanita yang hidup mengikuti perkembangan zaman yang menjunjung kemandirian, kesetaraan, dan demokrasi, dianggap akan kehilangan surga. mereka berpendapat bahwa, dengan tergoda oleh janji kesetaraan dan kebebasan, perempuan telah kehilangan esensi alami mereka dan diperbudak oleh konstruksi kapitalisme sekuler. 

Dalam sebuah artikel di majalah Dabiq yang berjudul The Fitrah (2016) misalnya, sambil menyebutkan sifat buruk perempuan ‘Barat’, Dabiq mengklaim bahwa wanita zaman sekarang telah meninggalkan peran “keibuan, keistrian” dengan memilih bersaing dengan laki-laki di tempat kerja. Dalam artikel hasil wawancara yang berjudul A brief interview with Ummu Basir Al-Muhajirah (2015), Dabiq mendesak perempuan untuk melakukan peran “pendukung” kepada suami, ayah, saudara laki-laki, dan anak laki-lakinya. Dengan demikian, peran sebagai ibu dan istri adalah fungsi sosial utama yang harus dipenuhi oleh Muslimah tanpa kompromi.

Baca Juga  Lampu Hijau! Pemerintah Izinkan Tarawih Berjamaah dan Mudik Lebaran

Konten dakwah propaganda fitrah peran gender ini masih mudah ditemukan di internet, ketik saja misalnya “Ummu wa Robbatul Bayt”, maka akan kita temukan setumpuk artikel yang berbicara pada tema ini. Artikel-artikel propaganda itu bukan disalin dari majalah Dabiq ISIS, melainkan oleh sekelompok pejuang ideologi Khilafah Hizbut Tahrir yang sempat berkembang masif di negeri ini. Anda tidak akan terkejut jika membacanya satu persatu dan menemukan kemiripan bahkan kesamaan argumen yang berputar pada sentimen anti barat.

Kesamaan paling terang terletak pada tawaran solusi atas serangan dan kehancuran yang menargetkan konstruksi gender ini. Solusinya bukan studi al-Quran atau penggalian khazanah keilmuan Islam, melainkan komitmen penuh dan ketaatan yang ketat pada ideologi Negara Islam atau sistem Khilafah. Dengan kata lain, solusi dari masalah yang disajikan dalam master frame mereka selalu saja, ujung-ujungnya, bergabung dengan kampanye berdirinya Negara Islam.

Kepentingan mereka memang memang sangat bergantung pada daya tarik emosional, seperti rasa takut, tidak berdaya, kehancuran, dan kekhawatiran. Mereka menghasilkan emosi negatif terhadap perkembangan masyarakat saat ini dan menawarkan komunitas negara Islam atau pemerintahan Khilafah sebagai obatnya. Penting untuk menandai bagaimana cara ISIS, begitu pula kelompok Islamis lainnya, membingkai komunitas Muslim secara umum. Pada dasarnya, elemen yang konsisten dari pembingkaian mereka adalah tentang penistaan dan penghancuran umat Islam oleh Barat. Maka dari itu, tidak heran jika isu kesetaraan gender atau hak-hak perempuan kerap dihubungkan dengan imajinasi ini agar layak untuk ditentang.

Singkatnya, penting sekali bagi kita untuk mengenali pola-pola propaganda fitrah gender ala kaum ekstrimis ini. Narasi yang menghambat perempuan dari keadilan dan kemajuan ini adalah dakwah yang berbalik dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Cukup dengan melihat fakta bahwa ISIS dan gerakan Islamis politik lainnya menyuarakan doktrin ini, hal itu cukup untuk membuat saya ragu dengan doktrin fitrah gender yang kerap disuarakan oleh Muslimah anti-kesetaraan gender di negeri ini.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.