Teladan Kiai Said Menebar Gairah Kritis

KolomTeladan Kiai Said Menebar Gairah Kritis

Kiai Said Aqil Siradj merupakan ulama Nusantara yang menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dedikasinya dalam keilmuan telah menebar daya kritis yang menginspirasi banyak masyarakat Indonesia. Konon, setiap gagasan beraninya kerap kali mendobrak kemapanan berpikir keislaman yang mengakar dalam pusaran masyarakat, khususnya NU menjadi lebih moderat dan modern. Sosok seperti Kiai Said tentu menjadi teladan bagi Muslim masa kini untuk terus menumbuhkan masyarakat yang lebih berperadaban.

Said Aqil Siradj atau yang biasa akrab disapa Kiai Said lahir di Cirebon, Jawa Barat pada 03 Juli 1953. Sedari kecil, Kiai Said hidup dalam lingkungan sekaligus menamatkan pendidikan di pesantren Majelis Tarbiyatul Mubtadiien (MTM) atau dikenal juga Pondok Pesantren KHAS (Kiai Haji Aqil Siroj) Kempek Cirebon yang didirikan oleh orang tuanya, yakni KH. Aqil Siroj dan Nyai Hj. Afifah Harun sejak tahun 1960. Setelah itu, melanjutkan studi di Pondok Lirboyo, Jawa Timur (1965-1970) dan Pesantren Krapyak Yogyakarta (1970-1975). Kemudian pada 1980, dengan beasiswa Kiai Said menempuh studi Sarjana di Mekkah, Arab Saudi. Pada S1, di Universitas King Abdul Aziz, melanjutkan S2 (1982) dan S3 (1994) di Universitas Ummul Quro .

Berdasarkan latar belakang tersebut, tak ayal jika Kiai Said memiliki pengetahuan yang luwes dan kompeten dalam dunia keislaman. Sosoknya yang cemerlang juga mengantarkannya sebagai lulusan cum laude universitas bergengsi di Arab Saudi yang kental dengan sarang Wahabisme. Sebuah paham yang berlawanan arus dengan Ahlussunnah waljama’ah, karena ditengarai terlalu tekstualis sehingga kerap mengabaikan substansi nilai-nilai Islam yang menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Meski secara genealogi intelektual Wahabisme sempat mewarnainya selama 14 tahun, tetapi pemikiran Kiai Said sedikitpun tidak terpengaruh. Kembalinya ke kampung halaman, justru sebaliknya bukan membawa kabar berita untuk menyebarkan Wahabisme, melainkan menguak catatan hitam dari paham tersebut serta lebih memasifkan Aswaja. Dengan ini, corak pemikiran Kiai Said kian kentara keunikannya karena kekritisannya terhadap paham-paham yang konon menawarkan kemurnian Islam dan menjamin keadilan umat, padahal di dalamnya terkonspirasi penyelewengan dari ajaran keluhuran Islam.

Tidak hanya sampai di situ, gairah keilmuan Kiai Said mendorongnya berkeliling Indonesia untuk membangun tradisi kritis. Dalam buku Ensiklopedia Ulama Nusantara (2019), Kiai Said telah menghabiskan waktunya keluar masuk kota-kota di seluruh Indonesia. Berbagai forum ilmiah ia datangi, mulai dari forum pengajian di desa terpencil hingga seminar di hotel-hotel berbintang. Semangat terjunnya Kiai Said ke pelosok-pelosok tempat, didasari oleh obsesi kuatnya untuk membawa masyarakat Islam ke altar kesadaran intelektual.

Keberanian Kiai Said dalam menyampaikan gagasan tak kalah memukau. Buah pikirannya sering dijadikan rujukan inspirasi anak-anak muda NU, tak terkecuali metodologinya terkait keislaman dan nasionalisme. Tercatat beberapa kelompok masyarakat yang membutuhkan pikirannya selain di NU, di antaranya anggota KOMNAS HAM penasehat angkatan Muda Kristen Republik Indonesia, Pendiri gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa  (GKPB), Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 12 Mei, pendiri Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI) dan sebagainya.

Baca Juga  Pelajaran Berharga dari Isra’ Mi’raj

Sebagai tokoh yang concern di bidang wacana keislaman, tentu ia memahami penyebaran radikalisme yang kian menggerogoti Kebinekaan di Tanah Air. Kritik ini bukan saja disampaikan pada masyarakat Muslim agar lebih memahami Islam secara ramah dan logis, bukan nafsu yang mengatasnamakan syariat agama. Di samping itu, pemerintah juga dikritisi kebijakannya dalam menangani radikalisme karena dinilai lengah terhadap tersemainya benih-benih yang berpotensi membentur-benturkan dan memecahkan NKRI.

Adapun hal yang dikritisi pemilik Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, tidak selalu mendapat apresiasi. Pendiriannya terhadap membela kaum minoritas dan beberapa gagasannya yang ditengarai kontroversial sempat menuai reaksi keras dari komunitas kiai pesantren. Ia pernah pula diadili puluhan kiai dalam forum halaqah (Lokakarya). Tak lama kemudian surat teguran didapat dari kiai-kiai Jawa Timur, berbagai ejekan pun disematkan padanya, seperti agen syiah, kafir, sesat, dan lainnya. Bahkan, muncul ulasan agar Universitas Umm al-qura menghilangkan gelar doktornya. Menanggapi semua itu, Kiai Said menjawab mudah dengan lapang dan tenang melontarkan ucapannya, “Apapun gelar yang diberikan, saya tidak peduli. Jangankan gelar doktoral, gelar haji pun jika mau dicopot akan saya berikan”.

Menjadi sosok kritis sebagaimana Kiai Said tidaklah mudah. Dalam Islam, keberanian ini disebut syaja’ah, yang merupakan induk dari akhlak. Membutuhkan mental baja agar tidak mudah emosional menghadapi mereka yang beragam latar belakang, karena kedangkalan ilmu, ambisi politik, dengki, tidak mau belajar, dan angkuh. Itu sebabnya, ia tak khawatir dengan ancaman pencabutan gelar, ejekan, dan penyematan buruk terhadapnya. Sekalipun isu-isu menyerbak, bahwa Kiai Said itu elitis, ia tetap tak sungkan mengkritisi pemerintah dan kelompok elitis lainnya bila terjadi sesuatu yang memang harus dikritisi.

Kemampuan berpikir kritis yang dimiliki Kiai Said seharmoni dengan Tom Nichols dalam buku Matinya Kepakaran (2020), yaitu kemampuan menguji informasi baru dan mengadu gagasan secara objektif, logis, dan tanpa prasangka emosional atau pribadi. Pada saat banyaknya orang yang mengadilinya, kemarahannya tidak tersulut, tetap stabil, dan berdebat secara ilmiah sebagai orang yang terpelajar. Wajar jika Kiai Said dinobatkan sebagai Top Muslim berpengaruh di dunia versi The Muslim 500: The World’s 500 Most Influential Muslims 2022 dan tentu saja ini bukan apresiasi kali pertama baginya. Demikian kepakarannya memang tidak diragukan dan gagasannya memberi dampak nyata.

Gairah berpikir kritis telah mengakar dalam diri Kiai Said. Dengan demikian, sosok seperti Kiai Said sudah sepatutnya dijadikan teladan bagi kita yang tengah bergelut dalam dunia keilmuan dan berjuang bagi kemaslahatan umat serta membentengi diri dari ideologi-ideologi yang merusak citra Islam yang mestinya memberi rahmat, bukan melaknat, dan merangkul bukan memukul.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.