Memahami Gagasan ‘Mati Syahid’

KolomMemahami Gagasan ‘Mati Syahid’

Saat ini, status ‘mati syahid’ sedang menjadi perdebatan banyak orang, tepat setelah terjadi kasus penembakan enam orang anggota Laskar FPI beberapa hari yang lalu. Sebagian masyarakat mengklaim bahwa mereka yang tewas adalah orang-orang yang mati di jalan Allah, atau syuhada’. Sebagian yang lain tidak berpikir demikian. Topik kemartiran pada umumnya sangat sensitif, khususnya di kalangan masyarakat Muslim. Namun, satu hal yang perlu diingat ialah, nilai kematian di jalan Tuhan tidak bergantung pada pengakuan manusia. Penentuan status kesyahidan merupakan wilayah eksklusif Tuhan.

Manusia tidak akan pernah dapat memastikan seseorang benar-benar syahid atau tidak. Hal demikian sebenarnya cukup untuk menjadi alasan agar kita meninggalkan perdebatan tentang status kematian seseorang.

Pada dasarmya, umat Islam tidak mungkin menyangkal bahwa Tuhan mengistimewakan para syuhada, Nabi Muhammad mendoakan dan memuji sahabat-sahabatnya yang mati syahid. Bahkan dalam literatur fikih, jenazah syuhada tidak perlu dimandikan karena mereka langsung diterima di surga. Akan tetapi, zaman sekarang, setiap ada berita tentang pejuang Islam (mujahid) dan ‘mati syahid’, selalu saja berkaitan dengan aksi-aksi ekstrem, penyerangan, pemberontakan, terorisme, dan bom bunuh diri.

Faktanya, konsep tentang ‘mati di jalan Tuhan’ selama ini terlalu sering disalahgunakan oleh kelompok-kelompok Muslim ekstrem. Status mati syahid, rupanya, dapat memberikan kekuatan politis yang sangat besar. Jihadis dan kelompok teroris, seperti di Iraq misalnya, memanfaatkan klaim ‘mati syahid’ bagi para pelaku aksi-aksi brutal yang melawan pemerintah dan mengorbankan rakyat sipil. Jaringan teroris menciptakan mitos-mitos ‘mati syahid di jalan Allah’ untuk memotivasi kader dan simpatisan mereka agar memberikan pengorbanan nyawa yang ‘heroik’.

Melalui video klip, rekaman audio, biografi pelaku bom bunuh diri, majalah online, dan gambar yang diposting online, kelompok jihadis seperti Al-Qaeda memproduksi gambaran kematian pelaku terorisme dan pemberontakan sebagai kesyahidan di jalan Tuhan, jasadnya mulia, dan penuh keajaiban. Unsur-unsur emosi ini dimaksudkan untuk menggalang dukungan, tidak hanya dari kalangan Muslim lokal, tetapi juga dari masyarakat Muslim secara global. Para jihadis memanipulasi kekejaman yang mereka lakukan, menjadi pengorbanan jihad tertinggi untuk Tuhan dan bangsa Muslim.

Dengan membingkai kekerasan dan pemberontakan brutal dalam istilah-istilah seperti jihad dan syahid, para jihadis membuat kekerasan dan teror jadi tampak logis. Pembenaran untuk memerangi sesama Muslim berlabuh dalam narasi emosional yang menghubungkan penderitaan rakyat dengan khayalan tentang kolusi para pemimpin Muslim yang tidak berdaya, pemerintah yang gagal, penindasan Barat, dan berbagai pihak yang berusaha untuk menghancurkan Islam. Persis seperti dakwah bergaya totalitarian oleh Rizieq Shihab dan kelompoknya yang meresahkan belakangan ini.

Dari sini dapat dipahami bahwa gagasan tentang mati syahid sangat berpotensi untuk dibengkokkan dan dipersenjatai oleh agenda politik. Miskonsepsi tentang mati syahid menjadi doktrin mengerikan yang merasuki benak manusia hingga akhirnya mampu mengorbankan nyawanya demi melakukan kekerasan dan kebiadaban brutal. Interpretasi palsu yang membahayakan seperti itu jelas tidak memiliki nilai akademis dan tidak disetujui kecuali oleh penjahat dan oknum yang berpikiran fanatik.

Pada dasarnya, ayat-ayat al-Quran yang menunjukkan gagasan kemartiran mengacu pada kematian yang terjadi dalam konteks perang, seperti frasa “orang-orang yang gugur di jalan Allah” yang terdapat dalam surat Al-Baqarah: 154 dan Ali Imran: 169. Kisah-kisah tentang para syuhada Muslim yang paling awal mencerminkan konteks ini. Dari sinilah konsep awal dari ‘mati syahid’ dalam Islam dibangun, yaitu mereka yang mati dalam pertempuran. Ketika ada perang, ada kemungkinan untuk kehilangan nyawa anggota. Jadi, mereka yang terbunuh saat berperang untuk agama itu akan memperoleh keistimewaan dan pahala yang besar dari Tuhan.

Namun, penekanan ayat-ayat al-Quran tentang pahala ini, nyatanya tidak semata-mata untuk mereka yang dibunuh saja, tetapi semua orang yang berperang ‘di jalan Tuhan’. Dosa mereka akan diampuni, gugur maupun selamat, mereka menerima pahala yang bernilai tinggi. Penekanan ini dapat didukung oleh sejumlah ayat Alquran, misalnya, Dan barangsiapa berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka akan Kami berikan pahala yang besar kepadanya (QS. An-Nisa: 74) Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan (menang atau mati syahid). (QS. At-Taubah: 52)

Hal demikian cukup mejadi penekanan bahwa, dalam peperangan sekalipunpun, kematian bukanlah satu-satunya alasan seorang Muslim ikut berperang, bahkan pemahaman itu tidak bergema di kalangan pasukan Muslim di zaman Rasul, terbukti bahwa jumlah golongan Muslim yang gugur dalam 27 medan perang di masa Nabi SAW, jauh lebih sedikit dari total kematian di kalangan musuh. Meskipun demikian, pahala yang besar akan melimpahi para pejuang itu, yang selamat maupun yang syahid.

Dari sini kemudian muncul perbedaan antara ‘kesediaan untuk mati’ dengan ‘mencari kematian’. Mencari kematian menyiratkan bahwa ada tekad untuk kematian tertentu. Sedangkan, kesediaan untuk mati menyiratkan penerimaan kemartiran jika itu terjadi (pasif). Kemartiran pasif inilah yang berkembang lebih luas, meliputi kesyahidan orang-orang yang bersabar dalam penderitaan, atau berbagai kategori syahid lainnya yang bukan dalam konteks perang.

Baca Juga  Masjid Istiqlal Simbol Toleransi Beragama

Dalam tradisi Sunni, ‘kemartiran agresif’ atau mencari kematian merupakan tindakan yang tidak dibenarkan, yakni orang yang menginginkan kematian dalam perang atau kondisi apapun, ambisi itu disebut thalab al-Shahada. Para ahli hukum Sunni melarang mencari kematian, karena sangat dekat atau dapat termasuk pada kategori bunuh diri.

Mencari kematian bukanlah pola pikir yang sehat di kalangan Muslim. Dalam hadis Bukhari no.2898, Abu Hurairah RA menceritakan bahwa ada seorang lelaki mendatangi Nabi dan berkomentar tentang obsesinya pada keberanian para pejuang jihad dalam pertempuran. Nabi menyayangkan hal itu dan mengabarkan bahwa lelaki itu akan celaka. Hal ini awalnya cukup membingungkan para sahabat. Ternyata Nabi benar, keesokan harinya lelaki itu terluka parah dalam peperangan, tetapi bukannya mencari pertolongan dari rekan-rekannya, dia malah menusuk dirinya sendiri dengan pedang, ia bunuh diri agar dianggap memperoleh kematian di medan perang.

Atas tragedi itu, Nabi SAW berkata, seseorang dapat dilihat oleh orang-orang seolah-olah dia sedang mempraktekkan perbuatan orang-orang surga, sementara sebenarnya dia berasal dari orang-orang Neraka. Sebagian lainnya mungkin tampak menjadi penghuni neraka, padahal dia adalah penghuni surga. (HR. Bukhari no. 2898)

Tradisi Sunni mengajarkan komitmen yang kuat dalam menghindari kemungkinan kematian atas keinginan sendiri. Bunuh diri maupun membunuh orang lain di luar konteks peperangan yang adil, mutlak dilarang. Para ulama mengajarkan untuk menghindari penjerumusan diri dalam bahaya. melarang berharap untuk mati, ataupun ingin bertemu dengan musuh.

Nabi Muhammad SAW, dengan sangat bijaksana, pernah menegur sahabat-sahabatnya yang berharap berhadapan dengan musuh. Sebuah hadits dari Sa’d bin Ubaid, mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda, janganlah ada dari kalian yang merindukan kematian, karena jika dia orang yang baik, dia dapat meningkatkan perbuatan baiknya, dan jika dia pelaku kejahatan, dia mungkin menghentikan perbuatan jahat dan bertobat (HR. Bukhari). Dalam riwayat lainnya, Abdullah bin Abi Aufa juga mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda, jangan rindu untuk bertemu musuh, dan minta keselamatan Allah dari segala macam kejahatan (HR. Muslim no. 4313, 4314).

Dasar inilah yang paling penting untuk dipahami dari gagasan mati syahid, agar nyawa tidak diobral begitu saja, dan supaya pertumpahan darah tidak mudah terjadi. Mati Syahid dengan konsep yang sebagai mana mestinya nampak memiliki ruang yang sempit dan terbatas di zaman sekarang, apalagi dalam konteks kita saat ini yang hidup tanpa peperangan fisik serta sangat menghargai hak asasi manusia. Meskipun demikian, kita tidak dapat membuang begitu saja gagasan tentang masti syahid. Sebab, dalam konteks lain, semangat untuk mati syahid yang semestinya ini memang benar-benar berlaku secara sah.

Satu-satunya kemungkinan untuk memperoleh syahid dalam kemartiran aktif ialah medan perang yang sah dan adil, jika memang itu terjadi. Itulah insiden kepahlawanan perang yang diperbolehkan dan didorong dalam Islam, bukanlah serangan bunuh diri yang dilakukan oleh teroris yang berpura-pura menjadi warga sipil. Dikutip dari Muhammad Munir, Imam Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani mengartikulasikan dalam magnum opusnya bahwa serangan yang beresiko pada kematian, hanya diperbolehkan bagi seseorang yang terjun dalam peperangan melawan kelompok pasukan musuh, dengan pertimbangan bahwa aksinya akan menghasilkan kerugian yang besar di pihak lawan. Operasi seperti itu hanya sah dalam kondisi perang aktif yang sedang berlangsung antara Muslim dan musuh mereka.

Jadi, satu hal yang paling penting adalah niat orang beriman dalam perjuangan diri dengan batiniyahnya dan musuh-musuhnya dalam hidup, yang dapat membawa seseorang pada kesyahidan di mata Tuhan, bukan perilaku sok heroik yang membesar-besarkan diri dan manipulatif. Dengan demikian, identifikasi ‘kemartiran aktif’ sebagai tindakan membahayakan yang dapat dikatakan bunuh diri, menghilangkan legitimasi pemahaman tentang mati syahid dalam aksi-aksi penyerangan brutal dan terorisme. Ulama kita mengajarkan batasan yang jelas ini untuk menghindarkan kita dari bahaya propaganda radikalisme.

Oleh karena itu, agar tidak tertipu oleh manipulasi dan kebohongan yang menyesatkan itu, kita perlu memahami gagasan dasar tentang ‘mati syahid’ dalam khazanah Islam. Hal ini bukan semata-mata untuk memperdebatkan syahid atau tidaknya kematian seseorang, seperti enam orang laskar FPI, melainkan untuk memperoleh pemahaman dasar yang benar sebagai proteksi dari propaganda jihad dan mati syahid yang marak bekalangan ini. Kesyahidan dalam Islam, tidak dapat diraih melalui perbuatan-perbuatan menyimpang seperti aksi-aksi ekstrem, penyerangan, pemberontakan, dan terrorisme.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.