Cara Nabi SAW Mengubah Musuh Jadi Sahabat

KhazanahHadisCara Nabi SAW Mengubah Musuh Jadi Sahabat

Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang penuh kasih dan keagungan moral. Beliau memperbaiki dunia melalui teladannya. Nabi Muhammad SAW sukses dan menjadi orang paling berpengaruh dalam sejarah, meskipun puluhan tahun menghadapi tantangan dan kesulitan. Pada masanya, orang-orang Mekah menyebutnya sebagai penyair, penyihir, dan orang gila. Beliau juga menghadapi agresi selama beberapa dekade. Bagaimana Nabi SAW bisa tetap sukses dan bersinar, di tengah beratnya permusuhan, penganiayaan, dan luka-luka fisik maupun batin?

Satu hal menonjol tentang bagaimana Nabi SAW bangkit dari permusuhan dan penghinaan ialah, dengan cara memperlakukan musuh-musuhnya dalam kebaikan hati dan sikap positif. Nabi secara konsisten menunjukkan kemuliaan dan keluhuran ketika dihina dan diserang.

Beliau selalu mendoakan kebaikan dan memohonkan hidayah bagi orang-orang yang dikenalnya, termasuk orang yang memusuhinya sekalipun. Umar bin Al-Khattab, sebelum masuk Islam, adalah orang yang keras menentang dakwah Nabi di Mekkah. Selain itu ada juga ‘Amr bin Hisyam yang dikenal sebagai Abu Jahal, paman sekaligus orang yang amat jahat padanya. Meskipun mereka amat keji, kedua nama tersebut ada dalam doa Nabi SAW.  “Ya Allah, kuatkan Islam dengan ‘Amr bin Hisyam atau ‘Umar bin al-Khattab” (HR. Tirmidzi). Nabi tulus mendoakannya, dan melihat kualitas kepemimpinannya yang menjanjikan dan berpotensi digunakan untuk kebaikan. 

Tidak terhitung banyaknya luka fisik dan emosional pada Rasulullah yang disebabkan oleh permusuhan mereka. Abu Lahab tidak segan-segan mematahkan tulang para sahabatnya, dan kemudian memimpin pasukan pertama untuk mengusir Muslim di Mekah. Namun, Nabi SAW masih tetap berharap hidayah akan datang pada orang-orang yang menentangnya itu. Pada akhirnya, Umar bin Khattab memeluk Islam dan menjadi sosok terpenting dalam proses dakwah Nabi SAW.

Begitulah Nabi SAW selalu memperlakukan musuh-musuhnya, tidak membalas kejahatan mereka dengan perbuatan serupa, bahkan melarang menjawab salam kebencian dengan kata-kata yang sama. Beliau senantiasa mengedepankan kemurahan hati yang berorientasi jangka panjang. Beliau juga sangat dermawan dalam menilai ketulusan orang lain. Nabi SAW pernah mengkritik salah satu sahabatnya, Usamah bin Zaid, karena meragukan keimanan orang yang menyebut Lailaha Illallah hanya pada saat terancam. Menurut Riwayat al-A’masy, Nabi berkata “Apakah kamu memeriksa hatinya?!

Beliau sanggup menunjukkan kasih sayang dan toleransi bahkan di hari terburuk dalam hidupnya, yaitu hari Aqabah. Saat itu, Nabi SAW menghabiskan sepuluh hari di Tha’if, berbicara dengan para pemimpinnya, menyeru orang-orangnya kepada petunjuk Islam. Akan tetapi, massa berkumpul untuk mengusirnya. Mereka mengepung beliau sambil mencercanya dengan kata-kata kotor, dan melempari batu. Sampai-sampai darah mengalir di kakinya yang diberkati, dan kepala Zaid bin Haritsah yang mencoba melindungi beliau pun terluka parah.

Saat malaikat siap menimpakan dua buah gunung sekaligus untuk membenamkan penduduk kota itu, beliau menahannya. Nabi SAW sama sekali tidak menginginkan pembalasan, apalagi pemusnahan, karena itu bukan solusi untuk mengakhiri permusuhan. Beliau hanya mengharapkan kebaikan bagi penduduk kota, setidaknya di masa depan mereka. “saya berharap bahwa Allah akan membawa dari keturunan mereka orang-orang yang akan menyembah Allah saja tanpa menyekutukan-Nya” (HR. Bukhari).Terbukti bahwa kota ini kemudian menjadi salah satu pusat perkembangan Islam, masyarakatnya sangat taat dan dan menjadi Rasulullah SAW yang luar biasa.

Baca Juga  Quraish Shihab: Ukurlah Agama Kita dengan Akhlak

Meskipun Nabi Muhammad SAW menghadapi tekanan dan kecaman yang keras di Mekah, beliau tidak pernah melanggar atau mengkhianati hak-hak mereka. Tidak ada seorang pun di Mekah, termasuk musuh-musuh yang menganiayanya, yang tidak menitipkan atau menyimpan barang berharganya pada Rasulullah. Sebab, kejujuran, kepercayaan, dan integritas Nabi SAW dikenal oleh semua orang. Kualitas itu tidak pernah pudar, meskipun orang-orang ini telah menyakitinya dan mengusir para sahabatnya.

Sampai ketika Rasulullah hijrah dari Mekah, ia tetap menjaga dan melindungi banyak barang milik orang-orang yang menganiayanya, yang telah dititipkan pada beliau. Semua barang-barang itu dikembalikan pada pemiliknya dengan baik. Aisyah RA berkata, “Dia memerintahkan Ali RA untuk tetap tinggal di Mekah, untuk mengembalikan semua kepercayaan yang yang ada pada Rasulullah untuk orang-orang”  (HR. Baihaqi, as-Sunan al-Kubra). Jadi, Ali RA tetap di sana selama tiga hari tiga malam, untuk menjalankan tugas menyerahkan semua barang yang dipercayakan orang-orang kepada Rasulullah. 

Nabi Muhammad SAW benar-benar-benar sosok tidak dapat dikritik karena kesempurnaan akhlaknya itu. Ajarannya tidak mungkin diragukan, karena semuanya tentang kebaikan dan kemurahan hati. Zaid bin Su’nah RA adalah seorang Rabi besar Yahudi di Madinah, yang pernah mencoba menguji Nabi SAW. Ia meminjamkan delapan puluh mitsqal (350 gram) emas untuk jangka waktu tertentu. Beberapa hari sebelum pembayaran jatuh tempo, Zaid mendatangi Rasulullah dengan marah sambil merenggut jubah beliau di depan semua sahabat senior. Dia berkata, “Wahai Muhammad, mengapa kamu tidak membayar apa yang harus dibayar? Demi Allah, aku mengenal keluargamu dengan baik! kalian semua dikenal suka menunda bayar hutang!.”

Perbuatan itu sungguh menyulut emosi para sahabat yang menyaksikannya. Umar RA marah dan mengancam akan membunuh Zaid karena pelecehan dan sikap kurang ajarnya itu. Nabi SAW menenangkannya dan berkata,  wahai Umar, kita tidak perlu begitu… datangi ia, lunasi pinjamannya, dan beri dia tambahan kurma dua puluh sâ’ (32 kg) karena kamu telah membuatnya takut.”

Tanggapan itulah yang semakin meyakinkan Zaid Bin Su’nah untuk memeluk Islam. Dia menjelaskan kepada ‘Umar, “Tidak ada satupun tanda kenabian yang tidak saya ketahui saat melihat wajah Muhammad. kecuali dua yang belum saya lihat darinya, yaitu bagaimana kemurahan hati mengatasi kemarahannya, dan pelecehan yang intens justru meningkatkan kesabarannya. Sekarang saya telah menguji semua ini” (HR. Ibnu Hibban)

Beginilah perlakuan indah Rasulullah yang mengubah lawan menjadi kawan dengan cara yang tak terbayangkan. Karakternya yang baik, kebaikan hatinya yang luar biasa, dan kemampuannya untuk mengabaikan luka dan kepahitan, telah membuka semua pintu persahabatan. Orang-orang yang memusuhinya hanya karena kebencian, keinginan untuk menaklukkan, dan kedengkian pribadi, akan malu selama-lamanya.

Hal demikian tentu menginspirasi kita, para pengikut Muhammad SAW, untuk menunjukkan belas kasih dan kebajikan di tengah kebencian, kesalahpahaman, dan permusuhan. Tentunya, apapun permusuhan yang kita hadapi hari ini, tidak ada artinya dibandingkan dengan serangan ganas yang beliau alami sepanjang tahun kenabian. Sama seperti kita terluka melihatnya dihina, beliau juga akan sedih melihat kita menanggapi kebencian atau permusuhan dengan cara yang tidak sesuai dengan warisannya. Mari mengubah musuh menjadi sahabat sebagaimana sunnah Nabi SAW. 

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.