Merayakan Natal, Merayakan Toleransi

KolomMerayakan Natal, Merayakan Toleransi

Momen perayaan kebaktian Hari Natal dan tahun baru dilarang secara tertulis oleh pemerintah daerah Kampung Purwodadi, Kecamatan Kejuruan Muda, Aceh Tamiang (17/12). Pasalnya, pada momen perayaan tersebut dinilai memicu konflik horizontal dan putusan ini merupakan hasil musyawarah bersama yang telah disepakati masyarakat Kampung Purwodadi. Ironis, mengapa hingga detik ini, perayaan Natal di Indonesia masih dipermasalahkan. Padahal, umat Islam Indonesia konon menjunjung tinggi sikap saling menghargai atau toleransi. Mestinya bila ingin merayakan toleransi, lantas mengapa merayakan Natal masih ada yang melarang?

Sebenarnya, di mana sikap toleransi Muslim Indonesia, bila setiap perayaan agama selain Islam, seperti Hari Natal selalu diperdebatkan boleh atau tidaknya. Mengapa kebebasan dalam beragama diatur begitu sempit. Muhammad Quraish Shihab berbagi cerita, selama ia kuliah di Mesir pengucapan dan perayaan Hari Natal tidak pernah dipersoalkan. Bahkan, di koran-koran seringnya ditampilkan dan terbaca para ulama besar Al-Azhar berkunjung pada pimpinan umat Kristiani dan mengucapkan selamat Natal (15/05/2016). Indahnya toleransi yang diajarkan ulama di sana, hingga semua masyarakat dapat merasakannya. Sayangnya, nuansa seperti ini belum sampai di Indonesia.

Selain faktor masyarakat awam yang masih saklek dalam beragama, tak sedikit ustadz-ustadz di Tanah Air yang mendakwahkan haram dan dosanya perayaan Natal. Dalil yang kerap digunakan, seperti hadis Nabi SAW, barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka (HR. Abu Daud No. 4031 dishahihkan al-Albani). Mesti ditinjau lebih lanjut, tidak semua keserupaan terhadap budaya dari luar Islam itu dilarang. Menyerupai yang diharamkan, seperti segala yang bertentangan dengan syariat, khususnya terkait akidah atau peribadatan, misal menyembah Tuhan selain Allah SWT, mengonsumsi minuman beralkohol atau makanan tertentu, dan seks bebas.

Sementara budaya perayaan Natal, sejatinya tidak jauh berbeda dengan perayaan ketika kita merayakan maulid Nabi Muhammad SAW. Demikian merayakan Natal merupakan bagian dari rasa syukur atas kelahiran Isa al-Masih – kepercayaan kita Nabi Isa AS – sebagai sang juru selamat.

Jika umat Kristiani dapat mentoleransi umat Islam untuk merayakan ibadah dengan khidmat di bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan adzan shalat lima waktu, lalu mengapa merayakan Natal harus dilarang? Tidakkah kita merasa tidak lebih baik dengan mereka yang menjunjung tinggi toleransi. Maka perlu diingat, Indonesia dibangun oleh masyarakat yang beragam agama dan budaya, bukan hanya milik orang-orang Muslim.

Jelasnya, ketika kita memberikan peluang untuk umat Kristiani merayakan Natal, terlebih ikut serta mengucapkan selamat, sebenarnya kita telah merayakan toleransi. Toleransi begitu signifikan untuk merawat kerukunan beragama dan bermasyarakat. Tanpa sikap saling menghargai, mungkin selamanya kedamaian ibarat fatamorgana oase di padang pasir. Kita akan saling bermusuhan, saling mendominasi, dan mengintimidasi satu sama lainnya.

Umat Islam mestinya belajar merasakan dan introspeksi diri. Andaikata terdapat saudara Muslim yang tinggal di tengah-tengah non-Muslim, kemudian mereka yang non-Muslim melarang perayaan Idul Fitri, puasa Ramadhan, adzan shalat, pengadaan shalat tarawih, maka sudah pasti kita merasa pilu dan tertindas. Bila kondisi ini berbalik kepada saudara Muslim di luar sana, siapa yang disalahkan, tentu dominan pada mereka yang tidak bersikap toleransi terhadap masyarakat Muslim. Mulai kini kita sebaiknya sadar agar tidak bersikap demikian.

Baca Juga  Arabisasi Cikal Bakal dari Dinasti Umayyah

Oleh karena itu, jangan sepelekan toleransi, karena manfaatnya dapat dirasakan umat Islam dan masyarakat di seluruh dunia. Siapa yang menanam kebaikan akan menuai kebaikan pula. Sebab toleransi, Abdurrahman Wahid, tokoh Muslim yang jasanya tak pernah luntur dikenang etnis Tionghoa, itu sebabnya ia digelari “Bapak Tionghoa Indonesia”. Sikap Gus Dur yang paling tidak suka dengan diskriminasi, melihat etnis ini disubordinatkan membuatnya meluncurkan maklumat, bahwa secara bebas dan terbuka perayaan Imlek boleh diadakan bagi etnis Tionghoa melalui keputusan presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000.

Tak bisa dibayangkan tanpa toleransi. Mungkin saja masyarakat Indonesia yang heterogen, setiap waktunya akan dibentur-benturkan dengan banyak perbedaan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Pada akhirnya, Indonesia gagal menjadi negara yang besar dan terpecah belah, karena sentimen-sentimen tersebut. Namun dengan toleransi, hal ini optimis tidak akan terjadi sebab masih ditemukannya para tokoh dan masyarakat yang saling menghargai dan bersambut tangan dengan sukacita mengucapkan selamat untuk perayaan agama lain.

Meski dahulu Rasulullah SAW semasa hidupnya berdampingan dengan orang Nasrani, yakni umat yang mengimani Nabi Isa AS, tetapi tidak pernah dijumpai periwayatan terkait pelarangan ucapan atau perayaan Natal. Uniknya justru dalam al-Quran diabadikan, Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali (QS. Maryam: 33).

Berdasarkan ayat tersebut, kita dapat menjembatani perayaan Natal dengan tetap dalam akidah yang umat Islam miliki. Berangkat dari kata salam (kesejahteraan) dan siapa subyek yang mengatakan salam, menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, mengutarakan ayat ini menjadi dasar di mana al-Quran mengucap selamat Natal kepada nabi Isa AS.

Quraish Sihab juga merunut pada ayat sebelumnya, Dia (Isa) berkata, sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku kitab (Injil) dan Dia menjadikanku seorang Nabi (QS. Maryam: 30). Yakni ketika mengucap selamat Natal, mesti dibarengi keyakinan Nabi Isa AS adalah seorang hamba Allah dan diutus sebagai Nabi dan Rasul, tentu sebagai umat Islam wajib menyakininya. Dengan akidah ini, tidak ada indikasi keterlibatan Isa AS sebagai Tuhan yang diimani umat Kristiani.

Sebagaimana uraian di atas, dapat dipahami tidak ada pertentangan secara eksplisit dalam al-Quran bersikap intoleran terhadap perayaan Natal. Dalam buku Al-Quran Kitab Toleransi, Zuhairi Misrawi memaparkan, pesan tersebut merupakan puncak penghargaan yang diberikan Tuhan kepada Nabi Isa Al-Masih, jadi bukan hanya semata-mata simbolik, melainkan penegasan ungkapan Natal merupakan hadiah yang pantas untuk diberikan kepada Nabi Isa. Tentu dari sekian pernyataan ayat di atas, yang dimaksud adalah toleransi yang bersumber dari kebencian yang bersifat permanen (2017: 320).

Dengan menjunjung tinggi sikap toleransi, saya yakin bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang unggul, karena dapat terlepas dari satu belenggu mata rantai yang membatasi gerak antarumat beragama dan hirarki masyarakat. Toleransi merupakan kepentingan bersama. Jika merayakan maulid adalah hak umat Islam, maka merayakan Natal juga hak bagi umat Kristiani. Beribadah itu hak umat beragama, selagi perayaannya tidak mengganggu ketertiban umum dan melanggar norma dan etika sosial, jelas tidak perlu ada larangan. Mulai kini mari kita bersama merayakan Natal untuk merayakan toleransi.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.