Intoleransi Pangkal Radikalisme

KolomIntoleransi Pangkal Radikalisme

Wajah kekerasan atas nama agama kembali terulang. Masjid yang didirikan oleh Jemaah Ahmadiyah Sintang, Kalimantan Barat, dirusak oleh ratusan orang yang menamakan diri sebagai Aliansi Umat Islam. Pada Jumat siang (3/9/2021) mereka berbondong-bondong menyatroni Masjid Miftahul Huda kemudian membakar dan mengobrak-abrik masjid serta bangunan di sekitarnya. Aksi kekerasan tersebut merupakan cermin dari sikap intoleran. Padahal, toleransi adalah modal esensial untuk hidup berdampingan secara damai di tengah kemajemukan.

Apa yang disangkakan sebagai upaya menjaga agama dengan cara mempersekusi Ahmadiyah, sebenarnya adalah wujud gagal paham atas ajaran Islam. Ruh Islam adalah cinta dan keadlian. Agama ini tidak mengajarkan pemaksaan, diskriminasi, apalagi kekerasan. Dalam riwayat yang sahih Nabi bersabda, “Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang lurus lagi toleran”. (HR. Bukhari). Toleransi adalah sikap menghargai, menahan diri untuk tidak mengadopsi cara-cara negatif dalam menyikapi keyakinan atau pendapat yang berbeda.

Setara Institute setidaknya mencatat 422 kasus pelanggaran kebebasan beragama terjadi sepanjang 2020. Reproduksi aksi-aksi brutal berjubah agama adalah alarm darurat toleransi di tengah masyarakat kita. Fanatisme pada satu pandangan tertentu membuat seseorang bebal dan sulit terbuka. Mereka yang menolak keragaman sama halnya dengan mengelak bahwa air laut itu asin. Artinya, pluralitas adalah fitrah dan tak bisa dinafikan. Sebab itu, jalan tengah paling masuk akal untuk mengatasi keragaman adalah teologi toleransi.

Bukan tidak mungkin kita semua tercipta sama. Hanya saja Allah memang menghendaki perbedaan sebagai wahana ujian, agar kita berkontestasi untuk mencapai kebaikan bersama. Dengan demikian, memaksakan pandangan pada orang lain adalah penentangan pada sistem kerja yang Tuhan kehendaki. Mengutip wejangan Gus Dur, bahwa yang dilarang agama adalah perpecahan, bukan perbedaan.

Dengan paket realitas plural yang Tuhan karuniakan, hal yang bisa kita lakukan adalah berjuang bersama untuk menyinkronkan diri satu sama lain, bukan malah menyangkal kehendak-Nya dengan memusuhi yang berbeda. Manusia telah dibekali instrumen dan piranti untuk belajar agar mampu mengelola kehidupan. Dari sini dapat dipahami, bahwa toleransi tidak lahir dari ruang hampa. Namun, toleransi adalah hasil dari upaya sesama manusia menginsafi kebersamaannya dalam kehidupan. Yang kesemuanya menginginkan kedamaian, harmoni, serta kemerdekaan.

Toleransi menurut Socrates tidak menuntut peniadaan reaksi emosi ketika menyikapi perbedaan, karena itu merupakan proses alamiah psikologi seseorang. Tapi, toleransi adalah seni menahan  dan mengontrol emosi agar tidak menimbulkan efek negatif akibat ketidaksukaan seseorang pada pendapat yang berbeda. Singkatnya, kita harus mengolah emosi agar tidak menjadi energi yang mengaktifkan mesin kekerasan dan pemaksaan.

Intoleransi dalam agama dapat terjadi karena motif iman dan/atau kekuasaan. Kita tahu, Ahmadiyah bernasib nahas karena dilabeli sesat oleh fatwa MUI tahun 2005. Karenanya, mereka dipersekusi oleh kalangan fundamentalis yang kerap memonopoli kebenaran agama sembari menggandeng fatwa tadi. Adanya korelasi antara intoleransi dengan kekuasaan, bisa dicermati melalui penelitian Marie A. Eisenstein dalam tulisannya di Jurnal Political Behavior.

Dalam analisisnya mengenai toleransi di Amerika, secara umum ketika ditilik dari segi afiliasi agama, yang paling kurang toleran adalah yang terafiliasi dengan Kristen Protestan. Disusul oleh Kristen Katolik, lalu kalangan yang mengaku tak beragama, dan terakhir adalah kelompok Yahudi. Secara kuantitas, Kristen Protestan merupakan mayoritas, dan Yahudi adalah minoritas.

Baca Juga  Indonesia, Pancasila Atau Khilafah?

Sekilas, nampak ada korelasi antara gejala intoleransi dengan posisi mayoritas yang biasanya merasa berkuasa. Dalam hal ini, Kristen Protestan yang mayoritas ternyata kecenderungan intoleransinya paling besar.

Pada kasus Sintang tadi, sejumlah orang yang merasa berkuasa karena duduk di posisi mayoritas pun berlaku intoleran hingga berani beraksi brutal pada komunitas minor seperti Ahmadiyah. Mayoritas di sini dalam konteks aliran yang dianut. Dikabarkan, bahwa pengrusakan tersebut didalangi oleh oknum yang terafiliasi dengan FPI. Dan kita tahu Ormas ini beraliran Sunni yang merupakan aliran dominan di negeri ini. Ringkasnya, ada andil psikologi mayoritas dalam berbagai aksi intoleran.

Di samping itu, terlihat pula bahwa intoleransi berkaitan dengan fundamentalisme atau ortodoksi. Kristen Protestan amat dikenal dan kuat di Amerika dengan aliran fundamentalismenya. Menjadi sesuai ketika melihat aksi-aksi intoleran di negeri ini terhadap golongan yang dianggap lain. Di mana pelaku biasanya datang dari kalangan fundamentalis, seperti halnya FPI.

Segala bentuk intoleransi dan kekerasan tak bisa diabaikan begitu saja. Karena tindakan teror ataupun penyerangan di suatu tempat merupakan ancaman bagi keamanan dan kedamaian di tempat manapun. Orang dengan nurani dan nalar yang sehat harus bersuara saat kezaliman mengemuka. Sebab, Imam Ali pernah mengingatkan, “Manakala orang-orang baik berdiam terhadap suatu kejahatan, maka para pelaku kejahatan mengira tindakan mereka adalah benar dan baik”. Masyarakat sipil, swasta, dan negara harus hadir dan berkontribusi sesuai kapasitas masing-masing untuk mencegah dan mengatasi kasus intoleransi.

Intoleransi adalah anak tangga pertama yang bisa berujung pada radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Membudayakan sikap toleran pun dengan sendirinya menjadi begitu mendesak. Dalam iklim yang beragam, toleransi merupakan penyelamat bagi pemeluk agama-agama dan penyandang identitas apapun dalam berpartisipasi di ruang publik. Perbedaan yang direspons dengan cara barbar dan jahiliah adalah sebuah pertunjukan orang-orang yang tidak belajar. Semakin berilmu seseorang, semakin toleran ia. Kebhinekaan yang menghiasi negeri dan semesta raya ini harus dijaga dengan belajar menghargai sesama serta memperkuat lagi simpul toleransi. Wallahua’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.