Terobosan KH. Ali Mustafa Yaqub dalam Mendamaikan Perselisihan Tarawih

Dunia IslamTerobosan KH. Ali Mustafa Yaqub dalam Mendamaikan Perselisihan Tarawih

Beda bilangan rekaat shalat tarawih sudah seperti bahan bakar eksplosif yang memicu gesekan masyarakat saat Ramadhan tiba. Kabar baiknya, tren perselisihan itu telah berangsur surut seiring kedewasaan umat Muslim Indonesia berkembang. Di balik fenomena yang menyejarah tersebut, ada sepotong kisah unik dari silang sengketa tarawih warga jemaah Masjid Mujahidin di bilangan Pisangan Barat, Ciputat Timur. Kiai Haji Ali Mustafa Yaqub dengan luwes dan bijak berhasil mencapai terobosan khas yang mendamaikan para pihak yang berseteru.

Barangkali masyarakat umum lebih mengenal Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Yaqub dalam kapasitas populisnya sebagai mantan Imam Besar Masjid Istiqlal sejak tahun 2005 sampai 2016. Lepas dari itu, ulama hadis Nusantara merupakan predikat yang presisi bagi Kiai Ali Mustafa Yaqub. Pesantren Darus-Sunnah menjadi salah satu bukti keulamaan serta keseriusan Kiai Ali di bidang hadis. Kiprah akademik dan capaiannya pun membuat ia layak menjadi ulama rujukan. Bukan hanya tekun mengkaji dan mengajar di berbagai tempat, ia juga kiai yang produktif, puluhan karya telah ia hasilkan, baik yang berkaitan dengan hadis maupun karya di bidang lain.

Kiai Ali adalah ulama dengan energi pengabdian yang besar. Sepulang dari Arab Saudi usai menamatkan studi masternya, sebetulnya Kiai Ali bercita-cita berdakwah di pelosok Papua, membangun surau jika bisa, ingin membimbing masyarakat dan anak-anak untuk mengaji dan mengenal Islam di sana. Namun garis tangan justru membawanya kepada pengabdian di ibu kota. Di antara alasannya adalah karena dawuh tiga gurunya yang meminta Kiai Ali untuk tetap di Jakarta. Tidak hanya di tempat terpencil, persoalan masyarakat kota adalah juga lahan dakwah dan perjuangan yang bermakna. Demikian kiranya gambaran petuah dari guru-gurunya. Ketiga guru Kiai Ali tersebut adalah KH. Ibrahim Hosen, mantan rektor IIQ kala itu, KH. Syansuri Badawi, gurunya di Tebuireng, serta Gus Dur.

Latar kisah di atas pada akhirnya membawa Kiai Ali bersinggungan dengan warga Pisangan Barat. Karena ia tinggal di daerah tersebut, maka di situ pulalah medan dakwah terdekatnya. Lingkungan tempat Kiai Ali tinggal dihuni masyarakat Muslim yang heterogen. Ketika bulan puasa tiba, pertikaian antarpihak pun tak terelakkan. Sederhananya antara kalangan NU dan jemaah Muhammadiyah meributkan kuasa atas jumlah rekaat tarawih di masjid setempat, yakni Masjid Mujahidin. Masing-masing berebut, di satu pihak meminta shalat tarawih dilaksanakan 20 rekaat, sedangkan di pihak lain menghendaki versi 8 rekaat.

Baca Juga  Amal Baik Tidak Menggugurkan Kewajiban Shalat

Tak mau konflik di masyarakat meruncing hanya karena ibadah sunnah, Kiai Ali turun tangan untuk menengahi. Ia tak mau memihak atau condong ke salah satu kubu, meskipun latar belakang Kiai Ali adalah NU. Di samping itu, cara pandang Kiai Ali terkait ibadah sunnah berangkat dari prinsip ma kana aktsaru fi’lan kana aktsaru fadhlan, di mana lebih banyak menunaikan pekerjaannya maka itu lebih utama. Namun, prinsip itu tak ia berlakukan untuk menengahi perselisihan tersebut. Kiai Ali memiliki inisiatif yang unik dan berani. Agar tak saling iri dan masing-masing merasa legowo, ia memutuskan agar shalat tarawih di Masjid Mujahidin bilangan rekaatnya adalah 10.

Bagi saya, ini merupakan resolusi konflik yang berani dan terukur. Keputusan mengambil 10 rekaat, dalam hemat saya adalah ijtihad personal Kiai Ali. Dari keberagaman pendapat tentang jumlah rekaat tarawih, saya pribadi belum pernah menemukan pendapat yang 10 rekaat. Karena itu, bagi saya itu adalah keberanian yang dipertimbangkan secara bijak, tidak sembrono.

Kiai Ali betul-betul menetapkan maslahat sebagai roh dari seni menyelesaikan pertikaian di tengah masyarakat. Tarawih memang istimewa karena hanya setahun sekali di bulan Ramadhan, tapi ini merupakan ibadah sunnah. Sedangkan menjaga tali persaudaraan antarsesama dan keharmonisan adalah sikap terhormat, menjadi kewajiban yang melekat sepanjang hidup manusia. Misi lain dari keputusan tarawih 10 rekaat adalah untuk mendidik masyarakat agar tak tumbuh menjadi komunitas sosial yang fanatik dan merasa paling benar atas pendapatnya.

Bapak—demikian para santri kerap memanggilnya—adalah ulama yang serius memegangi apa-apa yang menjadi prinsipnya. Prinsip yang kokoh dipegangnya dapat tersalurkan secara luwes di hadapan masyarakat melalui sepenggal kisah resolusi konflik jemaah tarawih Masjid Mujahidin. Sepuluh rekaat tarawih, dan tiga rekaat witir. Terobosan Kiai Ali telah mewariskan jejak perdamaian sekumpulan warga di sekitar kediamannya. ‘Bid’ah’ itu pun mapan dan masih berjalan sampai sekarang. Satu masa saya pernah merasakannya. Enam tahun sudah Kiai Ali berpulang, tapi pendar pengabdian dan perjuangannya masih terus menginspirasi. Semoga kita, ke depan dapat bertahan meneruskan cita-citanya. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.