Tarian Cinta Jalaluddin Rumi

Dunia IslamTarian Cinta Jalaluddin Rumi

Di kala tarian menjadi hal yang tabu oleh para spiritual, Jalaluddin Rumi justru menciptakan tarian sufi sebagai jalan menuju cinta Ilahi. Mulanya, tarekat aliran Rumi diklaim sesat karena penyampaian tarekat yang aneh dan ditengarai tidak masuk akal bagaimana bisa sebuah tarian dapat meniti kehadirat Tuhan. Namun, pada perkembangannya tarekat ini berkembang pesat dan tak sedikit yang meyakini apa yang dilakukan Rumi benar-benar nyata, menggapai cinta ilahi.

Turki merupakan salah satu negara yang memiliki tarian yang khas, yaitu Tari Sufi (Whirling Dervishes). Tarian ini kali pertama dimainkan oleh Rumi ketika seorang pandai besi tengah memukul-mukul besi. Tanpa sadar mendengar suara tersebut membuat Rumi ekstase dan melantunkan puisi-puisi mistisnya. Saat Rumi merasa kehilangan guru spiritualnya, Syamsuddin Tabriz, ia akan mengekspresikan segala kekecewaan, rindu, dan kesedihan kehilangan orang yang dicintainya melalui tarian sufi ini.

Ada pesan dalam sebuah tarian sufi Rumi. Istilah yang dipakai para Darwis (orang-orang yang melakukan tarian sufi) topi laken berbentuk kerucut yang berasal dari Asia Tengah melambangkan batu nisan, selain jubah hitam yang dilepas ketika menari untuk memperlihatkan baju dalam berwarna putih. Filosofi pakaian itu melambangkan kematian dan kebangkitan kembali (setelah mati). Pada sesi ini, para Darwis akan bersenandung:

Busana pusaranku, topi batu nisanku

Mengapa sosok mayat tidak mau menari di dunia ini

Ketika suara trompet kematian

Membangkitkan untuk menari

Tarekat Rumi disebut Tarekat Maulawiyyah yang menggunakan metode tarian sebagai sebuah ritual zikir. Tarian sufi bergerak berputar-putar melawan arah jarum jam. Nama tarian sufi itu adalah Mevlevi Sema Ceremony atau lebih akrab disebut Sema’, yang dalam bahasa arab berarti mendengar. Mendengar yang dimaksud, tidak lain bergerak secara bebas dalam suka cita sembari mendengarkan nada-nada musik sambil berputar-putar sesuai dengan arah putaran alam semesta.

Mengutip Zari Saritoprak, pakar dan pemerhati pemikiran Jalaluddin Rumi asal Monash University, dalam buku Rumi Sang Sufi Humanis (2010), berpandangan bahwa kondisi sadar semua yang di dunia ini berputar. Tidak ada satu benda pun yang tidak berputar, sama halnya dengan perputaran perjalanan hidup manusia dan perputaran bumi. Manusia mengalami perputaran dari tidak ada, ada, kemudian kembali tiada.

Baca Juga  Meneladani Khilafah Ahmadiyah

Adapun keadaan psikologis para Darwis saat melakukan gerakan putaran, konon mereka mengalami puncak ekstase, sehingga kendati mereka menari berputar terus-menerus tidak membuatnya merasa pening atau oleng, gerakan mereka tetap seimbang. Sebelum sesi menari, para Darwis akan berwudhu terlebih dahulu, shalat sunnah syukur wudhu dan bacaan zikir tertentu yang menjadi aturannya, termasuk saat tarian itu berlangsung. Tak luput, pakaian yang dikenakan harus menutupi aurat.

Tarian sufi berperan untuk banyak hal, yakni sebagai sarana meditas, terapi, media zikir dan dakwah. Kendati demikian, keindahan cinta ilahi Rumi tidak hanya terlihat pada tariannya saja, melainkan tercermin pada kehidupannya sehari-hari. Kepribadian Rumi dikenal sangat bersahaja dan gemar berderma pada fakir miskin, sekalipun dirinya dalam keadaan sukar, ia akan berbagi apa yang dipunya. Tak ada yang ia benci dan harus dibenci. Bagi Rumi, karena dunia diciptakan oleh yang Maha Mencinta, karena itu ia dedikasikan dirinya hanya untuk cinta.  

Rumi merupakan sufi yang sangat menghayati seni, ia bersyair dan menari dengan indah untuk mengembangkan ajaran tarekatnya. Saat sufi asal Persia ini wafat, prosesi pemakamannya tidak hanya dihadiri oleh kalangan Muslim, akan tetapi kalangan Kristiani dan Yahudi larut dalam prosesi pemakaman Rumi. Daya pikat tarian cinta ilahi Rumi amat kuat, sehingga mereka yang mengenal Islam melalui Rumi hanya menemui cinta terhadap keindahan, kebahagiaan, dan keramah-tamahan.

Sampai kini, karya-karya Rumi masih gencar diminati berbagai kalangan agama, suku, dan, ras. Pendiri Tarekat Maulawiyyah ini meninggalkan jejak khazanah keislaman yang kaya dengan keunikannya. Ketika nama Jalaluddin Rumi disebut, kharismanya terpancar sebagai sosok pecinta, yang hanya menghambakan diri pada Tuhannya, berwibawa, rendah hati, akan tetapi lemah lembut. Demikian sosok Rumi, penari sufi asal Persia.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.