Jangan Ragu Menikmati Musik

KolomJangan Ragu Menikmati Musik

Tidak sedikit Muslim yang diajari untuk menjauhi keindahan bunyi dan melodi. Kesimpulan tentang haramnya musik, meluas sejak era pudarnya daya kreativitas peradaban Islam dan berkembangnya masyarakat Muslim yang kaku dan puritan. Dunia Islam sudah lama berhenti memproduksi keindahan seni yang berpengaruh bagi manusia. Belakangan bahkan kita menyaksikan bagaimana Taliban yang merepresentasikan pemerintahan Islam di Afghanistan, melarang musik dan mengeksekusi penyanyi.

Padahal, seni musik merupakan keindahan universal yang wajar dinikmati, bukan dijauhi. Buktinya, Nabi Daud dan Sulaiman merupakan dua nabi yang memiliki keunggulan dalam menciptakan nada suara yang merdu. Islam berjaya saat ulamanya merupakan seorang ilmuwan, dokter, sastrawan, sekaligus musisi. Al-Kindi, Al-Farabi, Abu Al-Faraj Al-Isfahani, dan Khalil bin Ahmad, merupakan beberapa ulama besar yang tercatat telah berkontribusi di bidang musik. Ilmu Musik telah berkembang dalam tradisi sains bahkan spiritual Islam. Para muslim thinker besar banyak membahas musik secara filosofis, dan mengembangkannya agar bermanfaat. Diantaranya, mempelajari penggunaan musik untuk sarana terapeutik.

Tidak heran, orang dahulu dapat menyembuhkan orang sakit dengan musik. Di dunia Islam klasik pun, salah satu metode yang paling penting untuk menyembuhkan masalah psikologis adalah terapi musik. Dalam artikel ilmiah yang berjudul Music Therapy and Mental Health, Prof. Rudiger Lohlker mengutip  banyak fakta menarik bagaimana Muslim mengapresiasi musik untuk menjaga kesehatan. Dalam sebuah manuskrip tertulis “Isfahan (tingkatan nada) menstimulasi akal, menajamkan pikiran, membuat orang fokus belajar dan menyembuhkan penyakit karena dingin dan panas”.

Terapi musik dikembangkan sepanjang sejarah Islam pra-modern. Tidak sedikit Manuskrip Ottoman yang meninggalkan wawasan teoritis tentang terapi musik. Prof. Rudiger Lohlker  menerangkan bahwa, selama Kekhalifahan Ottoman, terapi musik mencapai puncaknya. Sultan Bayazid II membangun rumah sakit negeri yang bernama Darussyifa’ pada tahun 1488, yang mempraktikkan terapi suara dan musik dalam pengobatan penyakit, khususnya penyakit mental. Uniknya, beberapa kali dalam seminggu, tim terapi musik rumah sakit akan tampil untuk pasien. Para dokter juga terlatih dengan baik untuk memantau efek musik pada kesehatan manusia. Mereka mengamati bagaimana melodi yang berbeda dapat mempengaruhi detak jantung, atau melodi mana yang cocok untuk penyakit tertentu.

Baca Juga  Tiga Karomah Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Memanfaatkan musik untuk tujuan terapi menyiratkan pengetahuan yang tajam tentang hakikat harmoni universal yang terkandung di dalam musik. Harmoni, di mana pun ditemukan di alam ini, tidak dapat dijelaskan tanpa wadah. Dan salah satu wadah harmoni yang ideal adalah Musik. Setiap melodi dapat mempengaruhi mood orang secara berbeda. Ada nada yang menghibur, membantu tidur, menenangkan indra pendengaran, mengusir rasa takut, atau membantu meringankan kecemasan. Maka dari itu, Kehilangan kesempatan untuk menikmati dan memanfaatkan musik adalah suatu derita yang serius.

Memang, dalam kerangka hukum Islam yang berkaitan dengan hal-hal praktis, tidak ada yang mutlak halal maupun haram. Yang kita perlukan adalah moderasi, atau jalan tengah agar terhindar dari kebebasan yang menjerumuskan dan larangan  yang menyiksa. Berkaitan dengan menikmati musik, Syaikh Mahmud Syaltut telah memfatwakan bahwa musik sebenarnya tidak haram. Dalam kitab himpunan fatwanya yang berjudul Dirasal lil Musykilat al-Muslim tertulis, “hukum mendengarkan dan bermain musik itu sama dengan mencicipi makanan lezat, mencium aroma wangi, menikmati pemandangan indah, dan merasakan kesuksesan dalam meraih ilmu yang berharga. Semua itu adalah manifestasi dari kepuasan yang dianugerahkan tuhan kepada manusia. Menenangkan dan melegakan, menyegarkan seseorang secara fisik dan spiritual dengan energi yang baru”

Adapun keharaman musik itu berkaitan dengan faktor situasi dan kondisi, bukan karena musiknya itu sendiri. Sebagaimana Syaikh Mahmud Syaltut menerangkan bahwa musik memang bisa jadi haram apabila dilakukan bersama hal-hal terlarang, seperti mabuk-mabukan, meninggalkan kewajiban shalat, penampilan erotis, mengandung unsur zina, atau penyembahan berhala. Jadi, selama kita mendengarkan musik secara positif, tentu tidak terlarang.

Intinya, musik bukanlah suatu hal yang terlarang, bahkan kita perlu memanfaatkannya agar berdampak baik, seperti misalnya untuk memperoleh efek terapi. Menjaga kesehatan merupakan salah satu tradisi yang paling penting dalam Islam. Sejak dulu, Muslim telah mempelajari bahwa menikmati keindahan Musik penting untuk membangun kembali harmoni seseorang. Keseimbangan yang sehat antara tubuh, pikiran, dan emosi dapat mencegah perasaan jahat dan menarik perasaan baik. Hal itu dapat terus dipelihara dengan menikmati keindahan musik yang menyenangkan hati.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

1 KOMENTAR

  1. Bukan Wahabi yang mengharam musik neng, tapi nabi Muhammad SAW dan imam syafi’i.

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tegas mengharamkan musik dalam sabdanya :

    لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفِ

    “Sungguh akan ada dari umatku kaum-kaum yang menghalalkan zina, kain sutra (bagi lelaki), khomer (segala sesuatu yang memabukkan), dan alat-alat musik” (HR Al-Bukhari)

    Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah –dalam bab washiat- berkata

    وَإِنْ كان لَا يَصْلُحُ إلَّا لِلضَّرْبِ بَطَلَتْ عِنْدِي الْوَصِيَّةُ وَهَكَذَا الْقَوْلُ في الْمَزَامِيرِ كُلِّهَا

    “Jika al-uud (kayu yang dimaksud oleh pewasiat) tidak bisa digunakan kecuali untuk dimainkan (semacam gitar-pen) maka wasiatnya batal menurutku. Demikian juga pembicaraan mengenai seluruh jenis seluring (alat musik)” (Al-Umm 4/92)

    Sangat jelas bahwa Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengharamkan seseorang yang berwasiat untuk memberikan al-‘uud (kayu) yang ia miliki kepada orang lain, jika yang dimaksud dengan al-‘uud tidak ada selain kayu yang bersenar (gitar). Adapun jika sang pewasiat ternyata memiliki jenis al-uud yang lain, seperti busur panah dan tongkat maka washiat yang dijalankan hanyalah pada busur dan tongkat untuk diberikan kepada orang lain tersebut.

    Imam Asy-Syafi’i juga menegaskan bahwa hukum haramnya washiat ini juga berlaku pada seluruh jenis mizmar (alat musik/seruling).

    Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah, dalam kitab beliau Az-Zawaajir :

    وَقَدْ عُلِمَ مِنْ غَيْرِ شَكٍّ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَرَّمَ سَائِرَ أَنْوَاعِ الزَّمْرِ…وَمَا حُرِّمَتْ هَذِهِ الْأَشْيَاءُ لِأَسْمَائِهَا وَأَلْقَابِهَا ، بَلْ لِمَا فِيهَا مِنْ الصَّدِّ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلَاةِ وَمُفَارَقَةِ التَّقْوَى وَالْمَيْلِ إلَى الْهَوَى وَالِانْغِمَاسِ فِي الْمَعَاصِي

    “Dan telah diketahui –tanpa diragukan lagi- bahwasanya Al-Imam Asy-Syafi’i radhiallahu ‘anhu mengharamkan seluruh jenis alat musik… dan tidaklah diharamkan perkara-perkara ini (alat-alat musik-pen) dikarenakan nama-namanya, akan tetapi karena pada alat-alat musik menghalangi dari mengingat Allah dan sholat, serta pemisahan dari ketakwaan dan kecondongan kepada hawa nafsu serta tenggelam dalam kemaksiatan-kemaksiatan” (Az-Zawaajir ‘an iqtiroofil kabaair 2/907)

    Beliau juga berkata :

    الأَوتار والمعازف كالطُّنْبُور والعُود والصَّنْج أي: ذي الأوتار والرباب (1) والجَنْك (2) والكمنجة والسنطير والدِّرِّيجُ (3)، وغير ذلك من الآلات المشهورة عند أهل اللهو والسَّفاهة والفُسوق، وهذه كلُّها محرَّمة بلا خِلاف، ومَن حكى فيه خلافًا فقد غلط أو غلب عليه هَواه، حتى أصمَّه وأعماه، ومنعه هداه، وزلَّ به عن سنن تَقواه

    “Senar-senar dan alat-alat musik seperti kecapi, gitar, as-shonj yaitu yang ada senarnya, rebab, jank (semacam gitar), kamanjah (alat musik yang memiliki kayu berbentuk busr dengan empat senar), sinthir (semacam alat musik yang senarnya dari tembaga –lihat al-mu’jam al-washith-pen), dan dirriij (semacam kecapi), serta alat-alat musik lainnya yang dikenal oleh para pemain dan orang-orang bodoh dan para pelaku kefasikan. Ini semuanya hukumnya haram tanpa ada khilaf (perselisihan). Barang siapa yang menyebutkan adanya khilaf dalam hal ini maka ia telah keliru atau hawa nafsunya telah mendominasinya sehingga membuatnya tuli dan buta serta mencegahnya dari petunjuk dan juga menggelincirkannya dari jalan ketakwaannya” (Kaff Ar-Ri’aaa’ ‘an muharromaat al-lahwi wa as-samaa’ hal 118)

    Sumber: https://firanda.com/784-ajaran-ajaran-imam-syafi-i-yang-ditinggalkan-oleh-sebagian-pengikutnya-2-haramnya-musik.html

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.