Menilik Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh

KhazanahMenilik Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh

Karakter modernis menjadi identitas yang lekat dengan seorang Muhammad Abduh. Disebut demikian karena pada sekitar abad ke-19, terjadi gerakan pembaharuan pemikiran Islam, di mana Abduh menjadi tokoh yang signifikan. John L. Esposito pun menyebutnya sebagai pelopor reformasi dalam bidang pendidikan dan hukum. Muhammad Abduh berhasil membangkitkan kembali spirit juang umat Islam untuk berpikir maju setelah fase stagnasi yang menghimpit. Dan pendidikan menjadi domain awalnya dalam memulai perbaikan.

Abduh menjadikan pendidikan sebagai batu pijakan untuk ide futuristik, yakni mencetak Muslim yang unggul dan kontributif. Mendidik akal rasional dan moral spiritual menjadi gagasan asasi dari tujuan pendidikannya. Kombinasi binaan aspek kognitif serta afektif ini diharapkan dapat membentuk pribadi yang terbiasa berpikir dan memiliki kualitas moral yang tinggi. Juga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di kehidupan kemudian.

Gagasan tersebut dilatari oleh iklim intelektual Mesir kala itu yang begitu meresahkannya. Dan hal tersebut mencerminkan kondisi karakter pendidikan Islam pada umumnya. Abduh merasakan corak pembelajaran yang tawar. Konservatisme dan metode belajar yang hanya mengandalkan hafalan tidaklah efektif. Menjadikan umat Islam nyaman dengan kejumudan. Mengacu pada sejarah, absennya cara berpikir kritis-rasional memang berperan menggulingkan kemajuan Islam dari percaturan peradaban.

Al-Azhar, saat Abduh menjadi mahasiswa di sana, masih dalam keadaan terbelakang dan jumud. Tidak ada ruang yang memadai bagi akal untuk berpikir kreatif dan segar. Maka dari itu, ia pun menggelar perlawanan terhadap tradisi taklid dan kemazhaban, menentang buku-buku yang tendensius, dan mendesaknya untuk disesuaikan dengan pemikiran rasional juga historis.

Watak progresif dan pendobrak memang telah nampak pada diri Abduh remaja. Ia selalu merasa tak puas ketika hanya diberi materi pembelajaran lalu sekadar diperintah untuk menghafalkannya. Tanpa ada elaborasi lebih dari sang guru. Hingga ia mendapati, bahwa memahami nash dapat dioptimasi dengan peran akal. Saat al-Azhar mengharamkan ilmu kealaman, filsafat, geografi, dan semisalnya, Abduh justru mempelajari itu semua.

Pada dasarnya, Muhammad Abduh menginginkan tata ulang epistemologis keyakinan (kerangka pikir) umat Islam melalui pembaharuan pemahaman (tajdid al-fahm). Problematika pendidikan Islam yang statis harus diatasi dari nukleus penyebabnya. Selama ini kerangka pandang dalam memahami ajaran Islam, relatif ortodoks dan kurang memainkan peran akal. Sehingga cukup sulit untuk mengatasi realitas persoalan yang dinamis, juga tantangan-tantangan peradaban. Mata rantai ketertinggalan warisan dari abad ke-11 harus disudahi.  

Dalam konteks pendidikan, kerangka epistemologis itu diterapkan dengan cara menghilangkan dualisme dalam pendidikan. Ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan modern, seperti yang melembaga di Mesir saat itu hingga melahirkan dua kelas sosial yang berbeda. Yakni, kalangan ulama yang tak menerima perubahan serta kelas elit dengan keilmuan Baratnya.

Untuk mengatasi kekosongan dari masing-masing kelas tersebut, maka sekolah umum harus mengajarkan ilmu keagamaan. Begitupun sebaliknya, sekolah berbasis agama harus mau mengembangkan ilmu pengetahuan modern.

Abduh menolak gagasan, bahwa ajaran-ajaran Islam secara otoritatif telah rampung ditafsirkan oleh para ulama pada tiga abad pertama Islam. Karena kreatifitas berpikir bukan hak yang terbatas untuk era tersebut saja. Produk ilmiah kala itu tak lepas dari konteks zamannya, yang belum tentu relevan jika diterapkan di masa yang lain. Oleh karena itu, Abduh mengajukan reformulasi ajaran Islam dengan jalan membuka keran ijtihad untuk memfasilitasi keleluasaan berpikir.

Lebih lanjut, kerangka teori yang diajukan Abduh guna mengembangkan pendidikan Islam, dijalankan melalui instruksi untuk mendaras buku-buku sains, sejarah, sastra, matematika, serta keilmuan-keilmuan yang selama ini dieliminir. Tidak boleh mencukupkan diri pada literatur klasik saja. Dengan kata lain, Abduh menilai perlu adanya reformasi pendidikan.

Baca Juga  Menasehati, Bukan Menghakimi

Kerangka konkret ide modernisasi pendidikan yang ditawarkan Abduh meliputi beberapa hal. Pertama, tujuan pendidikan. Bagi Abduh, akal dan jiwa adalah unsur utama yang harus dididik secara berimbang. Tujuan dasar ini selanjutnya harus dihubungkan, baik dengan tujuan akhir maupun tujuan institusional serta disesuaikan dengan jenjang pendidikannya. Artinya, antara tujuan-tujuan pendidikan serta keragaman jenjang harus selalu koheren dan sesuai.

Sebagai contoh. Pendidikan level dasar, secara institusional bertujuan memberantas buta huruf, agar murid mampu membaca teks dan berinteraksi melalui tulisan. Dan dalam prosesnya, sisi intelektual dan spiritual murid harus dibina. Harapannya, keilmuan dasar dalam membaca, berhitung, dan menulis yang dimiliki dapat diamalkan secara simultan dengan ajaran agama yang terinternalisasi secara integral.

Kedua, kurikulum pendidikan. Oleh Abduh, jenjang pendidikan dipartisi menjadi tiga level, yaitu tingkat dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Dan penyusunan kurikulum pendidikan tentu disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan yang ada serta merujuk pada tujuan pendidikan. Pengorganisasian yang dilakukan Abduh terbaca sebagai upayanya untuk melumpuhkan dualisme pendidikan seperti tersebut sebelumnya. Dengan memadukan agama dan akal.

Subyek-subyek yang diajukan di antaranya ialah materi akhlak, fikih, akidah, sejarah, mantik, filsafat, tafsir, hadis, ilmu kalam, serta dasar dan retorika diskusi. Semua ini dikombinasikan sedemikian rupa untuk tiap jenjang.

Ketiga, metode pengajaran. Pengalaman pribadinya yang menyejarah, membuat Abduh tegas dalam meramu metode pembelajaran. Pendidik tidak boleh mendewakan metode hafalan, karena menurutnya itu akan merusak daya nalar. Para guru harus memberikan pemahaman dari tiap materi yang disampaikan serta memantik nalar peserta didik untuk berpikir. Metode ini dinilai akan menumbuhkan keberanian serta kemandirian intelektual, juga ketajaman analisis.

Di samping itu, Abduh juga menerapkan metode keteladanan, bercerita, konsep tanya jawab, juga praktik dan pengalaman. Kesemuanya adalah rangkaian yang saling mengisi untuk menajamkan pemahaman murid.

Tak jarang gagasan Abduh ditentang kalangan ortodoks. Padahal resistensi konservatisme demikian telah melemahkan kondisi internal Islam. Di mana nilai-nilai pendidikan yang segar dan menghidupkan kemudian ikut memudar. Dunia Islam dilanda kejumudan dan kesulitan mengejar aktivisme peradaban yang dinamis. Suasana intelektualisme Mesir yang terbelakang menjadi sepotong contoh dari situasi dunia Islam secara umum.

Kegelisahan itu melahiran gebrakan berharga dari seorang putra Mesir, Muhammad Abduh. Dalam pandangannya, umat Islam perlu meramu sebuah cetak biru (blue print) yang progresif sebagai landasan epistemologis pemikiran/keyakinan umat Islam yang dihidupkan melalui ruang-ruang pendidikan.

Dengan tajdid al-fahm ini, diharapkan kita akan piawai mengatasi persoalan yang bergulir dalam ekosistem modern. Tidak boleh mempertentangkan antara sains dengan ilmu agama. Nilai dan prinsip ajaran Islamlah yang harus dihidupi dan diaktualkan. Sedangkan aspek historisitas kelembagaannya fleksibel, karena selalu berkait kelindan dengan realitas yang senantiasa bergulir.

Lokus utama dari konsep pendidikan Abduh adalah menyintesiskan akal dan spiritual manusia. Keduanya harus dididik dengan merata dan terbuka agar mencapai kemerdekaan berpikir dengan rohani yang tetap stabil. Karena pendidikan yang baik adalah ketika prosesnya bisa memberikan ruang bagi fitrah akal dan fitrah agama seorang manusia. Buah pemikiran reformis Mesir ini begitu memberikan makna bagi generasi kemudian. Yang jika dihidupkan akan mengantarkan pada kolaborasi untuk kemajuan umat Islam. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait