Bahaya Fenomena Mualaf Jadi Dai

KhazanahHikmahBahaya Fenomena Mualaf Jadi Dai

Fenomena dai mualaf kembali menoreh kasus. Tertangkapnya Yahya Waloni pada Kamis (26/8/2021) oleh Bareskrim Polri terkait kasus penistaan agama menjadi ironi bagi pada pendakwah yang mestinya mengajak, bukan mengejek. Itu sebabnya, dakwah itu harus dilakukan oleh orang yang profesional dan terhindar dari sentimen isu SARA. Tidak diperkenankan bagi mereka yang baru belajar agama dan wawasan spiritualnya masih dangkal.

Sebagai negara yang memiliki masyarakat Muslim terbesar, secara kuantitas mestinya tak sulit untuk menampilkan para pendai yang profesional dan menarik. Sayangnya, pasar dakwah kita tersaingi cukup baik oleh dominasi kelompok mualaf yang terlalu narsistik.

Sebagaimana kasus menimpa Yahya Waloni, mungkin niatnya dalam berdakwah baik, yakni ingin membanggakan Islam sebagainya agamanya, tetapi caranya salah. Meninggikan Islam tidak mesti merendahkan agama atau sesembahan lain. Sebab ketika hal tersebut dilakukan akan mendorong masyarakat pada permusuhan, perpecahan antar umat beragama dan sangat memungkinkan mereka akan kembali berbalik mencela Islam.

Allah SWT berfirman dalam kalam sucinya, Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan (QS. Al-An’am: 108).

Dunia ini seolah-olah menjadi terbalik. Para mualaf yang mestinya membutuhkan tempaan pengetahuan agama Islam lebih dalam dari para tokoh, justru ia menjadi guru bagi masyarakat Muslim luas dengan mudahnya. Padahal, bekal wawasan keagamaanya masih dangkal, sehingga mudah memicu ujaran kebencian dan kekeliruan dalam menjelaskan Islam yang begitu kompleks ajarannya.

Melalui Rasulullah SAW kita mengenal Islam sebagai agama cinta, mengenalkan kasih sayang, kelembutan. Lantas bagaimana bisa mereka berani berdakwah dengan cara yang jauh dari nilai-nilai luhur itu. Terlebih menisbatkan apa yang disampaikannya dakwahnya itu karena meneladani Nabi Muhammad SAW. Asumsi demikian, bukan saja menistakan agama lain, melainkan ia tengah merusak agamanya sendiri karena sikapnya yang gegabah.

Baca Juga  Muslim Indonesia, antara Westernisasi dan Arabisasi

Seorang yang merasa telah mencapai drajat keilmuan yang tinggi, padahal sejatinya tidak. Syahdan, ia berfatwa atau berbicara tentang agama tanpa dasar ilmu yang mumpuni, maka ia telah khianat ilmiah dan terjerembap dalam dosa besar. Mengutip Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, (1/13) yang menegaskan, Barangsiapa yang mengklaim dirinya telah mencapai derajat yang belum ia capai, maka Allah akan membuka kedoknya dan mengembalikannya ke derajat dia yang sesungguhnya”.

Agama yang fitrahnya menyelamatkan umat manusia dari kejumudan, tetapi karena disalahgunakan justru akan menjerumuskannya. Oleh karena itu, berbicara agama tanpa ilmu itu sangat membahayakan. Bagi para mualaf, kalau hanya ingin berbagi kisah bagaimana ia mendapat hidayah itu sangat menginspirasi. Akan tetapi, untuk memiliki niatan berdakwah secara total mestinya lebih rendah hati untuk tidak melakukannya agar tidak terjadi kerancuan dalam memahami Islam.

Pada akhirnya, mari kita lebih berhati-hati dalam berburu ilmu agama. Jika seseorang belajar agama membuatnya menjadi lebih keras hati, kasar, mudah mencemooh, angkuh, anti sosial dan sikap tercela lainnya, maka barang tentu ada yang salah dengan apa yang dipelajarinya. Pastikan belajar agama dari guru yang tepat dan berwawasan luas, rendah hati. Sebab berdakwah itu mengajak bukan mengejek, merangkul bukan memukul, mengilhami bukan menghakimi.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.