Mentradisikan Pluralisme dari Madinah

KolomMentradisikan Pluralisme dari Madinah

Fakta sejarah mengungkapkan, akar pluralisme dalam Islam terbentuk dari kota Madinah. Hal ini dikarenakan, sebagai kepala pemerintahan Nabi Muhammad SAW yang bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada seluruh penduduk Madinah yang di dalamnya, bukan hanya umat Islam, tetapi terdapat juga orang Yahudi, Nasrani, dan kelompok lainnya. Sebuah sistem pemerintahan progresif yang belum pernah terjadi di masa-masa sebelumnya yang tidak kental mementingkan tradisi kesukuan ataupun ikatan nasab.

Terbentuknya tradisi pluralisme berangkat sejak hijrahnya Nabi SAW ke Madinah. Atas kepercayaan penduduk Madinah, beliau ditunjuk sebagai pemimpin masyarakat yang kemudian melahirkan konstitusi Piagam Madinah. Sebuah pernyataan tertulis yang menjadikan penduduk Madinah sebagai satu bangsa. Memang, jika ditelisik dalam Piagam Madinah tidak ada istilah pluralisme untuk menyatakan bahwa penduduk Madinah terikat satu bangsa, yang di dalamnya terdapat banyak unsur ras, agama, dan kelompok yang berbeda.

Sebab pluralisme merupakan terminologi filsafat yang berkembang di dunia Barat, yang kemudian wacananya digulirkan oleh John Locke (1634-1704), Leibniz (1664-1716), dan Rousseau (1712-1778). Kala itu mereka menggagas, perlunya kebebasan beragama tanpa ada dominasi kelompok mayoritas Katolik terhadap minoritas kelompok minoritas Protestan di Perancis. Namun, pada prinsipnya Piagam Madinah memiliki konsep yang sama meski tidak serupa. Yakni, seluruh penduduk Madinah berhak mendapat perlindungan kebebasan beragama dan pertanggungjawaban kesejahteraan lain dari pemimpinnya, selagi dalam perjuangan yang sama, mereka adalah satu umat.

Dalam buku Madinah, Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW (2018), kata yang memuat makna penting satu umat (ummat wahidah). Seluruh umat yang terlibat dalam konsensus politik dan menyetujui lahirnya konstitusi Madinah disebut sebagai satu umat. Tidak peduli latar belakang ras dan agama mereka. Sebuah upaya komitmen Nabi SAW untuk melindungi kelompok lain yang menyampaikan risalah kenabiannya dalam memberikan teladan yang baik, seorang Nabi pembawa berita kebenaran yang rahmatan lil ‘alamin.

Adapun istilah ummah oleh Montgomery Watt (1956)  yang menegaskan istilah pertama kali dicetuskan dalam al-Quran yang bertujuan meneguhkan mereka sebagai pengikut Nabi. Sementara ditemukannya konsepsi ummah dalam Piagam Madinah menurutnya kecenderungan baru, yaitu konsensus yang terjadi antara Nabi dan penduduk Madinah di atas fondasi agama, bukan pertalian darah. Maklum, orang Arab pada umumnya lebih kental dengan relasi nasabnya dengan istilah bani, karena itu relasi agama merupakan fondasi baru lantas berkembang pada fondasi kebangsaan.

Kendati dalam al-Quran istilah ummah dekat dengan relasi agama, tetapi konteks yang dimaksud dalam Piagam Madinah cakupannya telah dispesifikasikan sendiri oleh Nabi SAW. Sebagaimana beliau menegaskan, siapapun yang ikut dalam perjuangan bersama Nabi untuk mewujudkan kedaulatan Madinah adalah satu umat. Itu mengapa dalam al-Quran istilah ummah tidak diartikan dengan satu makna berdasarkan konteks ayat. Ad-Damighany dalam kamus al-Qurannya menyebut, ummah memiliki sembilan makna di antaranya, (1) kelompok (2) cara dan gaya hidup (3) tahun-tahun yang panjang (4) kaum (5) pemimpin (6) generasi (7) umat Nabi Muhammad SAW (8) orang-orang kafir secara khusus (9) makhluk (yang dihimpun adanya persamaan antar-mereka).

Maka dari itu, terintegrasinya satu umat yang berunsur ragam agama dan ras seperti yang terkandung Piagam Madinah merupakan karakteristik pluralisme. Oleh Nabi SAW pluralisme ini selanjutnya ditradisikan sebagai benteng pertahanan untuk membangun kedaulatan dan kemerdekaan bagi penduduk Madinah. Konsep pluralisme pada gilirannya melahirkan konsep lain yaitu toleransi. Sebuah sikap saling menghargai dengan tidak mengusik satu sama lain, bahkan pada level tertingginya seseorang mengupayakan hidup orang lain yang berbeda dengan dirinya, termasuk pihak yang termarginal maupun minoritas.

Baca Juga  Pernikahan Dini, No Way!

Terkait pluralisme, Nabi SAW mencontohkan sikapnya langsung, baik secara tertulis yakni dalam konstitusi Piagam Madinah maupun dalam sikapnya. Salah satu momentumnya, pernah suatu ketika para sahabat terkaget-kaget karena Nabi SAW menerima tamu Kristen Bani Najran. Beliau memberikan senyuman dan berkata pada sahabatnya, biarkan mereka bersilaturahmi kepada kita. Tentu sikap ini dapat menjadi landasan atas keluhuran akhlak beliau dalam memuliakan orang lain, tanpa memandang apa agama dan sukunya. Sahabat Umar bin Khattab yang mengikuti jejak ini, kemudian membuat pakta perjanjian serupa di Jerussalem bersama orang Kristen untuk menjaga perdamaian antara umat Islam dan Kristen.

Sementara pluralisme dalam istilah kebangsaan kita adalah Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu jua. Semboyan yang menguatkan bangsa Indonesia yang berlambang burung garuda sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Mentradisikan pluralisme atau mengamalkan Bhineka Tunggal Ika serta satu umat (ummah wahidan) pada akhirnya memiliki tujuan yang sama dalam mencapai komitmen bersama apa yang dicita-citakan suatu bangsa. Kesadaran bersatunya bangsa Indonesia yang beragam suku, budaya dan agama ini telah menoreh catatan sejarah besar untuk berkomitmen melawan penjajah hingga terusir dan bisa meraih kemerdekaan.

Menolak pluralisme sama halnya mengingkari adanya sunnatullah. Al-Quran sendiri yang tampak apresiatif terhadap pluralisme tertulis pada ayat, Dan sekiranya Allah tidak menolak sebagian (keganasan) manusia dengan sebagian yang lain. tentulah Allah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti akan menolong (agama-Nya) â€¦ (QS. Al-Hajj: 40). Kiranya dapat dicermati, bahwa eksistensi pluralisme mesti dijaga atau ditradisikan karena Tuhan menghendaki hal demikian sebagai bukti nyata kebesarannya akan keragaman keyakinan yang ada. Walaupun tak salah bersikap militan terhadap agama dan keyakinan kita sendiri tanpa harus mengkalim kekafiran atau kejahatan pada kepercayaan orang lain.

Adanya kesuksesan yang diraih Nabi SAW selama mengemban kepemimpinan di Madinah tidak lain atas tingginya solidaritas. Andilnya para penduduk yang turut membangun kedaulatan Madinah sekaligus kesungguhan perjuangan Nabi SAW yang konsisten dan kenes mengajak umatnya agar mengikuti nilai-nilai universal yang terkandung dalam syariat Islam. Demikian umat Islam yang mengetahui ini, mestinya terinspirasi untuk lebih mentradisikan pluralisme yang ada di Tanah Air sebagaimana Nabi SAW menerapkannya di Madinah.

Oleh karena itu, konsep pluralisme yang benar ialah yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau memberikan sikap toleransi yang tinggi terhadap keragaman tanpa harus menggadaikan agama atau mencampuradukkan akidah yang diyakini. Ini kiranya teladan yang diikuti bapak pluralisme kita, Gus Dur yang mengatakan, tidak penting apa agama dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan bertanya apa agamamu.

Literasi kita yang terbatas kerap menilai segala sesuatu inspirasi dari Barat, kemudian mereka yang ekstrem naifnya langsung menolak pluralisme. Padahal, Nabi Muhammad SAW telah lama mentradisi pluralisme yang baik ini sebagai pedoman menghadapi keniscayaan keragaman aspek sosial, politik, budaya, agama, dan perbedaan lainnya, jauh sebelum wacana pluralisme digulirkan para filsuf Barat.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.