Kedatangan bulan Ramadan sampai lebaran memang identik dengan ‘keberkahan’. Semacam diksi yang dikaitkan erat tidak hanya dengan dipermudah dan dilipatgandakan pahala beribadah, tetapi juga dimaknai dengan memperoleh peruntungan pundi-pundi ekonomi. Pasalnya, beberapa muslim ada yang menambah profesi sebagai pedagang makanan saat bulan Ramadan. Pun juga tidak sedikit dari muslim yang merasa pengeluaran di bulan Ramadan relatif lebih banyak ketimbang bulan-bulan lainnya.
Pada poin terakhir ini, saya rasa bulan Ramadan terkesan memang agak paradoks. Bulan yang di banyak literatur keislaman disebut sebagai bulan pengekang hawa nafsu, faktanya justru menjadi bulan yang membuat daya beli kita sebagai muslim menjadi naik beberapa kali lipat. Makanan dan minuman mesti diadakan sebagai penunjang kehilangan pasokan energi saat puasa ditunaikan. Atau bisa juga makanan dan minuman ini mesti ada, lantaran bentuk dari penerjemahan terhadap ayat dan atau hadis yang bertalian dengan bulan Ramadhan.
Arif Hidayat di dalam artikelnya Budaya Konsumen Bulan Ramadan Bagi Masyarakat Modern di Indonesia (2016) memberikan beberapa contoh. Misalnya ketika berbuka, setiap muslim dianjurkan untuk mengkonsumsi yang manis-manis terlebih dahulu. Di tanah Arab, biasa menggunakan kurma sebagai makanan pembuka saat berbuka puasa. Sementara di negeri ini, kurma menjadi buah yang tidak setiap muslim mampu untuk membelinya. Maka dari itu, kurma digantikan dengan kolak yang dinilai masyarakat muslim negeri ini memiliki kesamaan rasa manis.
Menurut Arif Hidayat justru sebaliknya, kurma dengan kolak tidak memiliki nilai sebanding sebagai pelengkap nutrisi untuk tubuh. Bahkan lebih lanjut, kolak merupa jadi sajian pelepas dahaga lainnya yang lantas dimanfaatkan oleh produsen, untuk memproduksi sirup, susu, dan aneka kemasan minuman suplemen lainnya. Meminjam istilah Rolland Barthes, berbuka dengan yang ‘manis’ ini menjadi mitos, yang kemudian dikomodifikasi produsen dengan pesan tertentu. Hanya saja, pesan ini kadang luput tidak terbaca oleh masyarakat muslim yang tengah berbuka puasa.
Padahal sekitar lima abad yang lalu, Imam Ghazali melalui kitab tipisnya Asraru Shoum (bagian integral dari kitab masterpiecenya, Ihya Ulumuddin) pernah menjelaskan bahwa, puasa itu setengah dari sabar, dan sabar itu setengah dari iman. Maka puasa itu, nilainya sebanyak seperempat dari keimanan seorang muslim.
Nilai ini terbilang besar lantaran puasa merupakan laku tirakat dari sabar. Sejumlah ulama menafsiri besarnya nilai sabar ini lantaran setiap nabi dan rasul yang diutus ke muka bumi, mesti disertai rasa sabar melebihi manusia pada umumnya. Karena jika tidak, setiap kejadian maksiat, salah, dan perangai buruk mesti dimintakan penghakiman kepada Maha Kuasa. Tetapi nabi dan rasul tidak, mereka memilih bersabar sampai ketentuan dari-Nya ditetapkan.
Sementara itu, Fahruddin Faiz melalu ngaji filsafatnya di kanal Youtube MJS Channel edisi puasa, memilah sabar yang dimaksud Imam Ghazali ini ke dalam dua bentuk: ‘sabar dari’ dan ‘sabar untuk’.
‘Sabar dari’ ini konteksnya menahan diri dari hawa nafsu saat sekarang ini. Misalnya ketika puasa, kita bisa memilih tadarus Al-Quran daripada tidur atau, memilih untuk tidur daripada tidak berpuasa. Pilihan-pilihan yang tersedia itu menguji sejauh mana ‘sabar dari’ ini bisa aplikatif dalam puasa kita.
Sedangkan ‘sabar untuk’ konteksnya digunakan pada waktu yang akan datang. Misalnya nanti ketika berbuka, memilih untuk minum air putih daripada minum kolak karena berhemat. Bisa juga memilih untuk tidak membeli pakaian baru yang lebih sarat dengan penegasan status sosial dibandingkan rasa syukur. Pilihan untuk menahan dari yang berlebihan semacam ini merupakan wujud dari ‘sabar untuk’.
Baik ‘sabar dari’ maupun ‘sabar untuk’ ini bisa kita coba pada ramadan kali ini. Barangkali dengan mencobanya, lamat-lamat daya konsumtif kita seperti pada ramadan-ramadan sebelumnya bisa dikurangi sedikit.