Madinah yang Dicintai Nabi SAW

KolomMadinah yang Dicintai Nabi SAW

Setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah Islam mencapai puncak kejayaannya. Dari sini peradaban Islam terbangun memberi pesona yang tak terkalahkan sebagai kota istimewa yang kemudian membawa manfaat bagi seluruh umat manusia. Demikian Madinah yang dicintai Nabi SAW, kota yang menyambutnya sehangat mentari pagi di kala tempat lain menusuknya dengan duri.

Ditolak di satu tempat bukan berarti tak ada tempat lain yang menerima. Keputusan Nabi SAW untuk berhijrah merupakan hal yang sukar dilakukan. Kendati kaum pagan Quraisy telah melakukan penindasan kepada umat Muslim, tetapi kenangan yang tertinggal selama 53 tahun lamanya di Mekkah masih tersimpan dengan baik. Sebab hijrah bukan sekedar membawa badan, melainkan ujian besar untuk mengikhlaskan apa yang ditinggalkan, khususnya harta dan keluarga.

Namun, adanya pilihan hijrah ke Madinah merupakan ikhtiar menjemput takdir yang baik. Bangsa Yahudi yang berabad-abad lamanya menguasai Yastrib, Abu Qais bin al-Aslat berupaya meredam perseteruan suku besar Yastrib bani Aws dan bani Khazraj agar berdamai mengalahkan bangsa Yahudi. Sebab bagaimanapun keduanya adalah orang-orang Arab yang hidup bertetangga. Alhasil keduanya terbujuk, tetapi masih membutuhkan peran pemimpin untuk menjembatani.

Singkat cerita pada saat orang-orang Yastrib pergi ke Makkah untuk menunaikan haji, mereka bertemu dan berdiskusi dengan Nabi SAW. Terngiang dengan ramalan orang Yahudi, bahwa suatu ketika akan hadir seorang Nabi dan pemimpin besar tentu membawa kegembiraan. Oleh sebab itu, ketika mereka mendengar beliau hendak hijrah ke Madinah masyarakat Yastrib menyambutnya dengan suka cita.

Setibanya Nabi SAW di Madinah, mereka menawarkan rumah-rumah yang dipunya untuk ditinggali dan berbagi hal lainnya untuk Muhammad sebagai kehormatan dan mengambil keberkahan darinya. Hal tersebut juga ditawarkan kepada umat muslim Mekkah yang turut hijrah, kemudian mereka kaum Anshar dan Muhajirin dipersaudarakan oleh Nabi SAW.

Terjalinnya persaudaraan yang baik antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar menjadi pertahanan kestabilan negara. Selama 13 tahun tinggal di Madinah, Nabi SAW telah mendesain Madinah sebagai sumber peradaban Islam. Kelak, khazanah keislaman yang dibangun Nabi SAW di Madinah menggemparkan masyarakat dunia sebagai pemimpin umat dan pembawa risalah perdamaian, agama yang rahmatan lil ‘alamin.

Madinah dulu dan kini kerap menjadi ikon pesan moral dan dokumen teologis yang membangun gairah kehidupan umat yang maju dan berperadaban dengan asas nilai-nilai keislaman universal. Demikian para sejarawan dan pembaharu pemikiran Islam melihat keharmonisan antara Madinah dengan Indonesia sebagai negara yang plural. Kendati masa itu Nabi SAW menjadi seorang pemimpin di Madinah, tidak ada catatan secara resmi yang menyinggung bahwa Madinah ialah negara bersyariah Islam, melainkan negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan perlindungan bagi masyarakat penduduk Madinah. Substansinya senada dengan apa yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 asa ideologi negara kita.

Baca Juga  Habib Luthfi: Indonesia Menjadi Contoh Perdamaian Dunia

Adapun di antara alasan mengapa Nabi SAW tetap memilih Madinah sebagai tempat akhir peristirahatannya, meski Mekkah sudah ditaklukan beliau pada saat Fathul Makkah dan orang-orang Quraisy mengakui atas kemuliaan yang dimiliki Nabi. Beragamnya tantangan yang dihadapi Nabi SAW di Madinah memberi kesan yang menyegarkan.

Tidak hanya melulu tentang soal keagamaan, tetapi penggemblengan intelektual, sosial-perpolitikan, kemiliteran, dan nuansa perdamaian sangat kentara di kota Madinah. Terlebih saat kecil oleh sang ibu, Aminah sering diajak berziarah ke Yastrib ke makam Abdullah, ayah nabi Muhammad SAW hingga sampai ibundanya pun turut meninggal di sana.

Adapun pergantian nama kota Yastrib menjadi Madinah al-Munawwarah juga merupakan bentuk apresiasi, bukan secara kebetulan. Menurut Cak Nur, didalamnya terkandung makna yang luas dan mendalam terkait mengubah pola kehidupan masyarakat di jazirah Arab. Secara bahasa kata Madinah bermakna kota berakar pada kata din-agama(dal-ya-nun) berarti patuh.

Dalam buku Madinah (2018) karya Zuhairi Misrawi, perihal keberadaan Yastrib setelah datangnya Muhammad SAW bukan hanya sekadar nama, melainkan juga sebuah nilai yang membuka lembaran baru bagi masa depan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi peradaban manusia. Faktanya, Islam pada fase Madinah dapat menunjukkan kekuatan yang dilandaskan pada kehendak membangun solidaritas dan menjaga dari upaya destruktif yang dilakukan pihak luar.

Kekuatan solidaritas ini terbangun dari pemimpin yang mencintai kedamaian tanpa adanya intimidasi demi tercapainya kekuasaan atau penghormatan. Di kala orang-orang di zamannya tidak dapat meredam konflik perbedaan antar ras, suku, agama, apalagi menyatukan mereka dalam satu pemerintahan. Nabi Muhammad SAW justru dengan percaya diri membuat tatanan masyarakat yang di dalamnya terhimpun masyarakat beragam latar belakang sosial yang disebut Piagam Madinah, sebuah konstitusi paling modern pada masanya. Ikatan sebagai saudara sebangsa penduduk Madinah, bukan sekadar sesama agama atau antargolongan tertentu.

Dalamnya cinta terhadap Madinah, Nabi SAW pernah berdoa, Ya Allah anugerahilah pahala yang berlipat ganda di Madinah, sebagaimana engkau telah memberi keberkahan di Mekkah. Madinah yang dicintai Nabi SAW adalah yang didalamnya terkandung unsur persaudaraan yang kokoh, fondasi yang dibangun atas keyakinan agama Islam dan persaudaraan yang terbangun dengan fondasi kemanusiaan, saling menghargai, melindungi, dan berbagi kemaslahatan satu sama lain. Hal tersebut juga yang menjadikan sangat tidak langkap, apabila umat Muslim pergi berhaji mereka mendatangi Mekkah tetapi tidak berziarah ke Madinah.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.