Pentingnya Belajar Agama dari Pakarnya

KhazanahHikmahPentingnya Belajar Agama dari Pakarnya

Jika seorang dioperasi oleh dokter amatir dapat mengancam korban jiwa, maka tak beda jauh dengan orang yang belajar agama, tetapi bukan dari pakarnya. Agama yang bernilai adiluhung itu kerap disalahartikan bermuka suram, karena keterbatasan referensi teks yang dikultuskan. Padahal, untuk mencapai pemahaman pada al-Quran dan hadis secara komprehensif itu tidak mudah. Sebab kita tidak hidup di zaman al-Quran dan hadis diturunkan, jadi imajinasi kita terbatas. Oleh karena itu, melalui para pakar pemahaman agama menjadi lebih dekat dengan kebenaran karena mereka telah meraup banyak referensi dari ulama terdahulu sekaligus kontemporer.

Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani yang dikutip Habib Ali al-Jufri dalam buku Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan (2020), barangsiapa yang berbicara di luar keahliannya akan muncul hal-hal ganjil. Keganjilan ini bisa dilihat dengan maraknya fenomena ustadz hijrah atau mualaf yang kemudian mengkafirkan orang-orang yang, seperti Said Aqil Siradj, Quraish Shihab, dan ulama alim lainnya. Mereka merupakan tokoh Islam yang belajar agama sejak buaian dan berkontribusi banyak untuk umat, tetapi sekalipun tidak pernah terdengar mereka menuduh orang lain keluar dari Islam, kecuali seorang tersebut berterus terang menyatakan kemurtadannya.

Ini sebuah keganjilan yang nyata. Bukankah agama mengajarkan kita untuk bersikap lemah lembut, bersabar, berbakti, menghormati, dan kebaikan lainnya. Lalu di mana nilai-nilai luhur itu kalau bukan mereka yang paham agama atau orang yang dititipi hati baik. Jika dengan belajar agama sikap kita kian menjadi lebih keras, kasar, dan acuh, maka boleh jadi ada yang salah dalam cara keberagamaan kita. Perlu ada autokratik.

Media sosial sebagai tempat belajar agama masyarakat urban, sangat bermanfaat untuk menempa diri memperdalam ilmu agama. Namun, banyaknya tayangan di media sosial yang menjebak pemahaman agama yang melenceng berpengaruh pada citra keagamaan yang tak indah. Agama dibelokkan sekadar pada simbol yang minim substansi. Muda-mudi kini juga, mereka menjual identitas syar’i untuk segala model kepentingan yang konon demi agama, kini beralih ke bisnis. Bahkan, label syar’i menjadi konspirasi daya tarik paling diminati, yang orang akan sulit membedakan mana yang untuk kemaslahatan umat dan hanya berupa intrik.

Dalam catatan buku-buku klasik misal al-Qadimah karya Ibnu Khaldun, History of The Arabs karya Philip K Hitti, sejarah khalifah dan perdinastian itu tak seindah  dan semulus yang dijanjikan pengusung khilafah. Ada konspirasi politik yang berlabel Islam agar informasi bisa diterima. Demokrasi disebut Korban konspirasi ini akan terus berlanjut sampai disadarinya, bahwa kita memerlukan pakar agama yang moderat untuk meredakan situasi yang kian kacau. 

Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan Tom Nichols dalam buku Matinya Kepakaran (2020), teori konspirasi menjadi menarik bagi mereka yang kesulitan memahami hal-hal rumit dan tidak memiliki kesabaran untuk penjelasan yang tak dramatis. Teori konspirasi yang menarik mendorong narsisme yang kuat, sehingga ada orang yang lebih percaya omong kosong yang rumit, daripada menerima bahwa ada hal-hal yang berada di luar pengetahuannya.

Sebagaimana yang dipahami jihadis ISIS, konon Tuhan menghadiahkan 72 bidadari dan bagunan megah di surga bagi mereka yang berperang membunuh musuh-musuh Tuhan yang disebutnya orang non-Muslim, termasuk umat Islam yang seagama tapi lain paham. Ini jelas teori konspirasi, tetapi lagi-lagi masyarakat awam mudah percaya pada omong kosong yang rumit. Bagaimana bisa mereka merasa berhak mendapat balasan baik, sementara hati nurani kemanusiaannya dibuang ke tong sampah, mencaci, menghina, menyiksa, membunuh.

Belajar agama dari pakarnya itu sangat penting. Meski begitu, ada pakar agama yang perlu kita ketahui, mereka terbagi dalam tiga kelompok, yakni pakar kelompok politis, kelompok Islamis, dan pakar moderasi beragama. Pertama, pakar kelompok politis cenderung mengajarkan ajaran agama yang meninabobokan para pemeluknya.

Baca Juga  Politisasi Kasus Herry Wirawan: Diklaim sebagai Syiah

Jika belajar dari pakar seperti ini, maka umat beragama akan diajarkan hanya menurut pada penguasa, bersabar, berdoa, karena itu semua bagian dari takdir Tuhan. Kurang menyarankan untuk berikhtiar lebih, mencari solusi, dan mengkritik tindakan pemerintah atau situasi tertentu yang harus disikapi tegas, sehingga berpengaruh pada kemandegan berpikir.

Ashgar Ali Engineer mendapati situasi keagamaan ini oleh para uskup Amerika Latin yang keberpihakannya pada penguasa secara tersembunyi mendapat benefit penguasa, memerintahkan para pemeluk agama agar menerima situasi penderitaan, kemiskinan, atas penindasan yang dilakukan penguasa Romawi. sampai munculnya teori Teologi pembebasan di wilayah tersebut. Pada masa khalifah Mu’awiyah merupakan penguasa tiran yang berimplikasi pada Islam sebagai ajaran nina bobo. Itu sebabnya, kesadaran kritis dalam beragama mesti ditumbuhkan.

Kedua, pakar agama Islamis adalah mereka yang kerap kali memanfaatkan ketakutan akan banyaknya siksaan dan dosa dari Tuhan, rahmat Tuhan tertutup kabut oleh kemurkaan yang diilustrasikan secara berlebihan oleh kelompok radikal atau dalil-dalil keras yang mestinya membutuhkan pembaharuan penafsiran.

Adapun belajar ilmu agama pada mereka yang mengandalkan rasa takut, wajah Islam sebagai agama rahmat, yang memudahkan, dan fleksibel, berubah menjadi suram dan saklek. Sedikit ketidaksamaan yang diajarkan menjeratkannya pada dosa, seperti Sayyid Qutb merupakan seorang yang memahamai agama dan memiliki banyak karya, tetapi menjual rasa takut agar ajaran itu dipastikan diikuti para pemeluknya.

Alhasil, rasa takut yang dimunculkannya tersebut menjadi bumerang. Fatwa kematian pun menyemai benih-benih teroris, yang kini menjadi musuh bersama yang mesti dihadapi, termasuk dakwahnya Muhammad Rizieq Syihab khususnya tentang berjihad mesti diwaspadai. Dakwah Khalid Basalamah yang kerap menakut-nakuti perempuan dengan dosa yang menantinya juga bisa menyebabkan ketidakbahagiaan dalam beragama, sebab dosa-dosa besar selalu menghantuinya.

Terakhir, pakar moderasi beragama ialah pakar yang tepat untuk memahami agama agama dengan lebih rileks, tapi pasti. Ia tidak menggunakan rasa takut untuk memicu seseorang agar giat beribadah, tetapi tidak pula membiarkan umat beragama agar hanya patuh tanpa menindaklanjuti dan mengkritisi apa yang sudah dipelajarinya. Laiknya para pakar, sudah sepatutnya ia membuka jalan lebar diskusi cara merumuskan pandangan dan debat dengan tenang dan logis.

Sudah barang tentu, pakar yang demikian akan mampu menjelaskan agama dari segala sudut permasalahan bermulai sejarah, filosofi, dan membaca situasi yang sekarang terjadi. Gus Baha misalnya, ia merupakan sosok agamawan yang unik, penuh humor, dan kompeten. Sebagai pakar al-Quran yang bestari lagi moderat, dakwahnya jauh dari mencela, keras, dan penjelasannya sederhana dan rasional. Belajar dari pakar seperti Gus Baha, Islam terlihat ramah dan berdaya, tidak menjual ketakutan dan meninabobokan pemeluknya, ibarat pakar politis.

Dengan demikian, penting belajar agama dari pakarnya itu agar tidak menemukan keganjilan di dalamnya. Kendati setelah itu mesti selektif lagi, karena pentingnya belajar dari pakar agama moderat bagian dari upaya menghindari pemahaman agama yang keliru dan sepi perspektif. Sebab, jika agama dipelajari dengan benar, maka ia akan menjadi malaikat penolong atau pembawa petunjuk. Sebaliknya, jika tidak pelajari sebagaimana mestinya, justru akan menjadi getah beracun, baik dirinya sendiri maupun orang yang di sekitarnya juga akan terkena imbasnya. Pada akhirnya, semoga kita bisa mempelajari ilmu agama yang diridhai dan memberi bisa maslahat untuk orang lain.

Artikel Populer
Artikel Terkait