Semua Agama Melakukan Puasa

KolomSemua Agama Melakukan Puasa

Ramadhan menjadi perayaan puasa paling meriah di Tanah Air. Namun, siapa sangka jika umat agama lain, seperti Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, juga melakukan puasa dengan konsepnya masing-masing. Sebagaimana dalam Islam, ibadah puasa agama lain pun ditunjukkan bukan sekadar menahan diri, melainkan kesamaan hakikat puasa, yakni untuk penjernihan jiwa dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan.

Pada dasarnya puasa merupakan ritual keagamaan yang telah ada sejak zaman kuno yang dipercayai untuk meningkatkan kualitas spiritual kebatinan. Hal tersebut diperjelas dalam al-Quran, Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah: 184). Itu sebabnya, tidak aneh bila agama lain menjadikan puasa sebagai salah satu ritual penting keagamaan.

Sebagaimana Islam menentukan bulan Ramadhan sebagai bulan untuk berpuasa atas petunjuk dari firman Allah SWT, Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang bathil). Karena itu barangsiapa kamu ada di bulan itu, maka berpuas alah.. (QS. Al-Baqarah: 185).

Perintah puasa pada ayat tersebut bersifat mutlak bagi seluruh umat Islam. Sebab Allah SWT sangat mengistimewakan puasa, ibadah puasa hanya diperuntukkan bagi Allah, dan pahalanya diberikan secara langsung dari-Nya. Kendati dijumpai ada halangan tidak melakukan puasa saat Ramadhan, seseorang diwajibkan untuk mengganti puasa sesuai ketentuan yang ada dalam syariat Islam. Melihat antusias Tuhan memberi imbalan bagi orang puasa, tentu puasa memiliki hakikat yang lebih dari sekadar menahan diri.

Kemudian tradisi puasa dalam agama Hindu yang biasa disebut Upawasa yang bersifat wajib, yaitu pada saat Hari Raya Nyepi. Siwaratri, Purnama, dan Tilem yang mana puasa ini juga diwajibkan untuk menebus kesalahan tertentu, seperti membunuh dan berzina. Jika puasa dalam Islam di mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, maka di Hindu pada puasa Nyepi di mulai dari fajar hingga fajar keesokan harinya tanpa makan dan minum. Namun puasa ini tidak memakan waktu sebulan, tetapi pada hari tertentu yang diwajibkan saja.

Dalam buku Agama-agama Dunia (2006), Michael Keene menarasikan bahwa agama Buddha mengenal puasa yang berdasarkan pada kalender Buddhis, yang bertepatan pada saat peredaran bulan terang dan gelap (purnama). Lain dengan umat Islam yang saat puasa tidak boleh makan atau minum apapun, tetapi umat Buddhis masih diperbolehkan makan dengan catatan tidak boleh makan yang bernyawa atau hanya makan vegetarian saja.

Sedangkan puasa umat Yahudi yang berpekercayaan pada kitab Taurat, sebenarnya tidak dijelaskan secara rinci dalam kitabnya (perjanjian kitab lama). Namun, umat Yahudi berpuasa sebagaimana Nabi Musa saat menerima wahyu di Bukit Sinai. Ada dua puasa utama dan empat hari puasa kecil yang diperingati dalam kalender Yahudi. Dua puasa utama itu, yakni Yom Kippur dan Tisha B’Av, yang mana waktu puasa dilakukan selama dua puluh empat jam. Puasa dimulai sebelum matahari terbenam dan diakhiri setelah setelah matahari terbenam berikutnya.

Baca Juga  Islam Berlandaskan Ilmu Bukan Hoaks

Adapun keempat puasa yang dilembagakan orang bijak untuk memeringati tragedi nasional, yaitu puasa Gedalya, Tebet, Ester, dan Tammuz. Lain dari dua hari puasa utama, puasa hari kecil ini dilakukan dari terbitnya fajar hingga malam hari.

Berikutnya agama Konghucu menyebut puasa dengan istilah Zhai, artinya bersih, suci, sederhana, menjaga larangan dan perilaku yang benar. Umat Konghucu berpuasa pada tanggal 1 dan 15 bulan Imlek, yang tujuannya adalah untuk mendekatkan diri pada Tuhan.

Sementara tradisi puasa dalam agama Katholik, mencakupi semua umat Kristen pada umumnya, baik Kristen Romawi, Protestan, maupun Advent di dalam kitab Injil atau Perjanjian Baru tidak didapati ajaran yang mewajibkan puasa, kecuali sekadar menyebutkan bahwa orang berpuasa itu ibadah terpuji dan sanjungan bagi orang berpuasa. Meski begitu, ada beberapa jenis puasa yang tercatat dalam al-Kitab terkait puasa, misalnya puasa Musa, 40 hari 40 malam tidak makan, tidak minum (Kel 34:28), puasa Paulus, tiga hari tiga malam tidak makan, tidak minum, dan tidak melihat (Kis 9:9).

Mengutip buku Puasa Umat-umat Dahulu dan Sekarang (2010), Sismono menarasikan puasa umat Katolik mulanya masih konsekuen disyaratkan tetapi waktu dan semua caranya diatur atau diubah sesuai keputusan gereja, yaitu ulama-ulama atau rahib yang memiliki otoritas terkait hal tersebut. Namun, yang pasti tujuan puasa agama Katolik yakni bertujuan memiliki kepribadian yang baik, sesuai yang tersebut dalam al-Kitab, berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka dipuaskan (Mat 5:6).

Dari beberapa agama yang disebutkan di atas, tak terkecuali masih banyak lagi kepercayaan-kepercayaan lain yang menengarai bahwa puasa itu hal yang penting dalam ritual keagamaan. Tujuan hakiki dan hikmah puasa menjadi titik temu agama-agama dan kepercayaan, jika puasa itu bagian dari perantara menuju penghambaan yang tinngi kehadirat Tuhan. Kendati tak jarang, tirakat puasa juga kerap dijadikan instrumen pengharapan sebagai doa atau tirakat untuk kepentingan diri sendiri.

Tantangan bagi orang berpuasa pun dijumpai beberapa kemiripan, misal menahan diri dari makan dan minum sesuai konsep puasa masing-masing ajaran, tidak berhubungan seks, menjaga diri dari perbuatan tercela, dan sebagainya. Demikian, menahan diri dari segala hal-hal yang merusak jiwa merupakan salah satu tujuan puasa agar mencintai kebaikan dan menyucikan atau meningkatkan kualitas batiniah humanisme yang transendental.

Maka dari itu, dari puasa kita bisa belajar bahwa semua agama menyakini akan besarnya hikmah puasa. Sudah semestinya seorang berpuasa mengambil ibrah, betapa rasa lapar dan haus itu bisa menambah penghayatan terhadap manusia. Bukan sekadar pada kesulitan ekonomi, tetapi solidaritas kedermawanan, rendah hati, dan keikhlasan pada realitasnya dapat memberi kebahagiaan hakiki. Itu sebabnya, puasa mengandung nilai-nilai universal yang tentunya akan mendidik seseorang tidak berkeras hati, melainkan gemar menebar kasih sayang dan berbagi kebaikan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.