Bahaya Slogan; Hidup Mulia atau Mati Syahid

KolomBahaya Slogan; Hidup Mulia atau Mati Syahid

Ada sebuah slogan heroik yang merebak menjadi sebuah fenomena di masyarakat kita. Kalimat itu adalah “hidup mulia atau mati syahid” (Isy kariman au mut syahidan), terdengar indah tetapi sejatinya amat problematis. Komunitas garis keras menjadikan kalimat ini sebagai shortcut (pintasan) dari gambaran ideologi perjuangannya. Di mana mereka mengajukan doktrin biner bagi umat Muslim. Bilamana kehidupan yang diasumsikan mulia tak berjalan sesuai ekspektasi, maka mati syahid menjadi pilihan selanjutnya yang tak jarang ditempuh lewat aksi kekerasan dan terorisme. Padahal, baik mati maupun hidup mulia, keduanya bisa diupayakan tanpa harus didikotomikan, dan tentunya bukan lewat aksi teror ataupun pengeboman.

Di tangan mereka, hidup mulia yang dipikirkan selalu diasosiasikan dengan romantisasi dangkal kisah silam kejayaan umat Islam. Mereka membayangkan hidup di tengah tatanan yang serba Islami sembari menegasikan hal-hal yang berbau non-Islam dan memandangnya sinis, benci, penuh curiga. Mereka tak pernah bisa melihat kebaikan pada perbedaan. Dalam menilai sesuatu pun selalu menggunakan kacamata biner, hitam-putih.

Upaya meraih tujuan itu dianggap sebagai kewajiban jihad menegakkan hukum dan ketentuan Allah. Yang secara normatif setidaknya dengan formalisasi hukum Islam dalam tatanan pemerintahan. Apabila tatanan dan konsep yang mereka impikan tadi tak kunjung tercapai, pada level tertentu kalangan garis keras ini tak segan ‘berjihad’ perang yang tak lain adalah aksi terorisme. Karena di situlah dianggapnya peluang untuk mati syahid dan meraih surga Tuhan.

Tidak ada yang keliru sejatinya dengan harapan untuk hidup dalam kemuliaan Islam ataupun wafat secara syahid. Namun, penafsiran sempit makna hidup mulia dan mati syahid di mana kemudian diletakkan batas opsional antara keduanya, ini yang menjadi berbahaya, salah arah, dan kontraproduktif. Ketika bertemu dengan ideologi radikal takfiri, slogan ini ibarat bahan bakar yang akan mendorong orang untuk mencari kematian dengan membunuh diri sendiri serta orang-orang yang dianggapnya musuh. Karena itulah jalan jihad versi mereka.

Secara genealogis, slogan tadi cukup sulit untuk dicari akarnya. Karena bukan merupakan bagian dari teks suci keagamaan. Memang terdapat hadis yang memuat redaksi mirip jargon tadi. Namun, ada perbedaan signifikan antara jargon tersebut dengan hadis terkait. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar disebutkan, bahwa Rasulullah SAW melihat Umar RA mengenakan gamis putih, kemudian Nabi berkata: “Bajumu itu baju lama yang sudah sering dicuci atau baju baru?”. Umar RA menjawab: “Tidak, ini telah dicuci”. Kemudian Nabi bersabda: “Pakailah baju baru, dan hiduplah dengan terhormat, serta matilah sebagai syahid” (HR. Ibnu Majah).

Menurut al-Sindy sabda Rasulullah SAW tadi merupakan doa agar Umar dianugerahi kelapangan rizki, kehidupan yang mulia di antara manusia serta di sisi Allah. Dan kalimat terakhir dimaknai sebagai kabar gembira dari Nabi Muhammad SAW bahwa Umar akan wafat sebagai syahid di jalan Allah SWT.

Setidaknya ada dua perbedaan mendasar yang dapat dicermati dari kerangka hadis di atas dengan slogan “hidup mulia atau mati syahid”. Pertama, secara redaksional hadis Ibnu Umar tadi tidak menggunakan kata hubung takhyir (opsional; atau), melainkan dengan kata penghubung “dan”. Artinya, tak ada yang harus dikorbankan antara cita-cita hidup mulia dan wafat yang diridhai Tuhan.

Kedua, nuansa yang dibangun hadis ini alih-alih untuk membangkitkan militansi dan heroisme. Imam Ibnu Majah bahkan memasukkan hadis tadi dalam bab berpakaian, amat jauh dari tema perang ataupun jihad. Dalam hemat saya, hadis tersebut dapat dipotret dari segi sosiologis-historis. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat Nabi yang bergaya hidup sederhana, meniru cara hidup yang Nabi contohkan. Pertanyaan Nabi kepada sahabat Umar tadi seolah mengindikasikan bahwa Umar adalah sahabat yang setia bertahan dalam kesederhanaan atau bahkan bisa dibilang tak terlalu mementingkan urusan zahir, dalam hal ini berpakaian, sehingga Nabi bersabda demikian sekaligus mendoakan keluasan rizki baginya.

Baca Juga  H. Mutahar; Seorang Habib Pejuang Kemerdekaan

Dalam trajektori sejarah, terekam pula kalimat klasik yang serupa dengan slogan tadi, yaitu Isy kariman wa mut kariman, “hiduplah sebagai orang yang mulia dan matilah juga sebagai seorang yang mulia pula”. Pernyataan itu diucapkan oleh Asma’ binti Abu Bakar kepada putranya, Abdullah bin Zubair, sebagai nasihat penyemangat saat sang anak harus berjibaku dengan Yazid bin Muawiyah.

Lagi-lagi, antara nasihat Asma’ dengan slogan yang beredar luas, secara redaksi sangat berlainan. Pernyataan Asma’ juga bukan bersifat opsional. Ia menaruh pesan setara untuk mengarah pada tujuan hidup mulia dan mati juga mulia. Di mana kala itu Ibnu Zubair sedang berupaya memertahankan diri dari serangan.

Jika pengusung slogan tadi memang mendasarkannya dari hadis tersebut atau terinspirasi dari pernyataan Asma’, maka terlihat ada misi politis di dalamnya. Karena terdapat redaksi yang dipenggal dan diubah, sehingga yang populer adalah kalimat “hidup mulia atau mati syahid”, yang penuh dengan energi militansi dan terasa mengganjal. Menggeser orientasi nasihat Nabi dari latar asalnya, serta berlainan pula dengan makna pesan Asma’ kepada putranya.

Para pelaku teror terjebak dalam ilusi mereka akan kehidupan mulia dan jalan kesyahidan. Orang-orang semacam ini didera kemiskinan mental. Mereka tak bisa memandang sisi positif dari rekam jejak kehidupannya, sehingga harapan hari ini serta hari mendatang pun telah tertutup oleh mental negatifnya. Maka sesiapa yang tak dapat melihat sisi baik dan kebahagiaan hidup di dunia, ia akan menggantungkan harapan pada angan kebahagiaan di akhirat dengan cepat-cepat mengakhiri hidupnya.

Tidak ada jalan pintas menuju surga. Nikmat dan balasan surgawi hanya bisa diperoleh melalui keberanian hidup dan penghargaan atas kehidupan, lewat perjuangan dan penyelesaian ujian yang disajikan Tuhan. Bukan kabur dan bersembunyi pada makna jihad dan syahid yang telah dimanipulasi. Kemiskinan mental menjadikannya berani mati, tapi tak berani hidup.

Kehidupan bermartabat dan mulia seorang manusia tidak bergantung pada bagaimana tatanan hukum yang berlaku. Namun, hidup mulia mengacu kepada kita sebagai personal yang harus memiliki sikap diri yang luhur, berakal budi, juga manusiawi. Bom bunuh diri dan tindakan teror yang semisalnya bukanlah jihad, bukan pula jalan untuk mencapai syahid. Karena aksi tersebut menciderai kemanusiaan dan haluan agama yang Tuhan wahyukan. Jihad paling utama justru mengendalikan keliaran hawa nafsu kita selaku manusia. Orang yang syahid sejati akan mewariskan kebaikan, kehormatan, serta kebahagiaan pada kehidupan. Sedangkan orang yang mati konyol, mewariskan keburukan, beban, dan kesengsaraan.

Selain bernuansa politis dan tak memiliki akar yang jelas, problematika slogan “hidup mulia atau mati syahid” terletak pada redaksi opsional-dikotomisnya antara gambaran hidup mulia dan mati syahid, yang dapat memantik tindakan-tindakan militan kelompok radikal. Saat kehidupan mulia yang dicandrakan tak sesuai ekspektasi, mereka akan menempuh pilihan sakral yang kedua, yakni syahid dalam definisi mereka, yang kini banyak dipertontonkan melalui aksi pengeboman dan terorisme.

Allah SWT begitu menghormati kehidupan dan nyawa hamba-Nya. Kampanye problematis semacam slogan tadi harus disudahi. Akan jauh lebih baik mengkonversinya menjadi pesan-pesan yang penuh penghargaan atas kehidupan. Dan di saat yang sama, harus memosisikan ulang kata “syahid” pada maknanya yang sejalan dengan nilai-nilai agung Islam. Kita harus hidup berguna dan mati tanpa menjadi benalu bagi yang lain. Dengan cara pandang yang disegarkan dan manusiawi, baik ketika hidup maupun mati, kita bisa tetap menjadi manusia yang bermartabat, penuh kebermanfaatan, dan tak menyakiti atau merugikan siapapun. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.