Terorisme Keluarga, PR Kita Bersama

KolomTerorisme Keluarga, PR Kita Bersama

Tren aksi terorisme keluarga, bukan barang baru di Tanah Air. Faktanya, sejak 2002 insiden Bom Bali ini dilakukan oleh tiga bersaudara, yaitu Ali Ghufron, Amrozi dan Ali Imron. Namun, bila dulu perekrutannya ditunjukkan pada kalangan laki-laki, kini motif baru terorisme keluarga terlihat lebih kompleks, yakni suami yang terpapar melibatkan istri dan anak-anaknya pun turut diikutsertakan menjadi pelaku terorisme. Fenomenalnya lagi pada 2018, tiga keluarga sekaligus menjadi pelaku teroris bom bunuh diri. Ini persoalan pelik yang menjadi PR kita bersama. Jika dalam lingkup keluarga tidak bisa diandalkan mencegah paham teroris, maka siapa lagi kalau bukan lingkungan sekitarnya yang harus siap siaga menyadarkan.

Dalam al-Quran disebutkan, Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. At-Tahrim: 6). Pada ayat tersebut saya menengarai, terorisme keluarga bagi paham radikal tidak lain diartikan untuk menyelamatkan keluarganya dari siksaan api neraka, tetapi alih-alih mengantarkan keluarganya pada jalan kesesatan karena terlanjur salah kaprah memahami agama.

Sementara orang yang memiliki perspektif nalar sehat, tentu mereka akan memelihara keluarganya dengan binaan kasih sayang, perintah mentaati perintah Allah, dan kehidupan maslahat, bukan menjerumuskannya pada aksi terorisme. Menurut Qurais Shihab dalam Tafsir al-Misbah (2003), dakwah dan pendidikan harus awal dihidupkan melalui keluarga. Sebab bagaimanapun keluarga merupakan institusi terkecil dalam masyarakat. Kendati demikian, terorisme keluarga yang memiliki penalaran ekstrem membelokkan segalanya pada perbuatan yang tak memiliki hati nurani dengan melayangkan nyawa manusia dengan alibi keagamaan.

Tak bisa dibayangkan dalam proses indoktrinasi terorisme, suami atau ayah menjadi celah masuk terorisme keluarga. Masifnya budaya patriarki di kalangan ekstrem, mengakibatkan istrinya dan anaknya harus mengikuti jejak apa yang diyakini oleh pemimpin keluarga. Setiap hari, ia dijejalkan ketakutan kepada keluarganya melalui ayat tentang kemurkaan Tuhan, adzab, kedzaliman, dan dipertontonkan tutorial perakitan bom atau pembunuhan untuk menewaskan yang dinilainya menjadi musuh. Ini suatu fenomena pencucian otak yang dilakukan secara terorganisir dalam tradisi keagamaan khusus (subculture). Mereka telah menyelewengkan ajaran Islam sebagai agama yang tidak berguna bagi kebahagiaan di dunia, kecuali kematian.

Untuk mengetahui lebih lanjut, faktor apa yang memotivasi satu keluarga menjadi teroris sederhananya adalah ikatan kepercayaan dan cinta yang terbangun dalam keluarga tersebut. Meski satu dari mereka ada yang menyadari itu perbuatan tercela, tetapi sulit melepaskan diri untuk tidak menjadi bagian dari keluarganya, karena doktrin keluarga bahagia ala teroris yaitu berkumpulnya kembali bersama di surga. Tak peduli, meksi caranya tidak berperikemanusiaan.

Sangat dangkal, mereka berharap bisa tinggal di tempat kenikmatan dengan tidak memikirkan orang lain. Betapa banyak korban yang terdampak akibat perbuatannya. Para keluarga teroris yang identik dengan busana syar’i, laki-laki yang khas sorban, memanjangkan janggut, bercelana cingkrang. Sementara perempuan dengan baju hitam yang menutupi seluruh tubuh kecuali kedua matanya, menjadi stereotip bagi mereka yang berbusana serupa yang bukan pelaku teroris. Pada akhirnya, masyarakat mendapat trauma yang berpengaruh pada memarginalkan setiap hal yang lekat dengan nuansa terorisme, khususnya dari busana syari’i. Demikian segala hal yang lebih mengkhawatirkan bukan pada saat peristiwanya saja, melainkan efek trauma berkepanjangan masyarakat atas kegaduhan yang diciptakan para teroris.

Baca Juga  Meneladani Gaya Komunikasi Bung Karno

Oleh karena itu, mulai kini penting untuk dipikirkan bersama bagaimana mencegah terorisme. Tak ada yang menduga jika anak, tetangga, dan yang dikenalnya baik masuk dalam jaringan teroris. Sebab yang ditunjukkan mereka selama ini, yakni sikap normal yang tidak menyakiti, hingga tak mendapat kecurigaan. Perlu diketahui, mereka bersikap demikian terhadap sekitarnya, karena teroris lazimnya tidak menjadikan orang sekitarnya sebagai target. Lantaran target mereka, yaitu tempat peribadatan non-Muslim, seperti gereja, dan tempat yang dinilai maksiat, seperti klub malam, serta lembaga pemerintahan yang kerap menghalangi misi mereka, contoh kantor polisi. Tak lupa, mereka acap kali menunjukkan aksinya di perayaan atau menjelang hari-hari besar umat non Muslim.

Meski sulit terdeteksi karena kenormalan sikap pelaku teroris, paling tidak ikhtiar menyadarkan itu harus tetap ada. Jika dalam satu keluarga semuanya menjadi teroris, maka sudah sepatutnya lingkungan sekitar menjadi vaksin yang membantu memulihkan. Pemerintah desa yang bertanggung jawab terhadap warganya mesti memantau lebih cermat. Pengadaan komunikasi terbuka sesama warga harus diselenggarakan, baik terkait kebangsaan maupun keagamaan karena karakteristik yang mudah dikenali dari para ekstremis yaitu mereka anti terhadap Pancasila, pro khilafah atau negara Islam, rendah sosial.

Ketika dialog secara terbuka itu ada, seperti melalui acara arisan komplek atau RT, hal tersebut mesti dimanfaatkan untuk menggali informasi paham ideologi keagamaan dan kebangsaan yang diyakini warganya, khususnya kepala desa atau lingkup terkecil, misal kepala RT yang diamanati tanggung jawab pun akan bermanfaat untuk lebih bisa memahami dan memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap warga yang dipimpinnya. Kalau ada dari mereka yang enggan untuk bergabung dan membangun sosial, terlebih dominan pada karakteristik ekstrem, dialog tetap harus dibangun sampai pada titik fanatisme terhadap Pancasila, peduli terhadap semua umat agama juga manusia, tidak menjadi perspektif sentimen warga.

Demikian terorisme merupakan musuh kita bersama. Masing-masing individu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya untuk menjauhkan paham radikal yang tersebar di media sosial dan wacana yang tersebar di masyarakat. Fenomena terorisme keluarga menjadi catatan PR kita bersama, bahwa kita harus bisa terbuka dalam berkomunikasi dan menguatkan kembali toleransi dan solidaritas antar sesama sebagai bangsa yang peduli terhadap kesehatan akal budi, keselamatan jiwa dan keutuhan negeri.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.