Reinterpretasi Amar Makruf Nahi Mungkar

KolomReinterpretasi Amar Makruf Nahi Mungkar

Al-Quran telah menempatkan amar makruf nahi mungkar sebagai doktrin penting dalam konteks keumatan. Hal itu merupakan tugas yang menantang sepanjang zaman. Sebagaimana dikabarkan dalam Q.S. Luqman [31]: 17, bahwa amar makruf nahi mungkar termasuk perkara yang besar dan berat (min ‘azmi al-umur), sehingga butuh kesungguhan dan ketetapan hati dalam melakukannya. Doktrin ini adalah formulasi untuk menegakkan tatanan masyarakat yang adil dan bermoral.

Di antara definisi klasik menyebutkan bahwa perkara makruf adalah apa yang diperintahkan agama dan dinilai baik oleh akal sehat. Sedangkan kemungkaran ialah apa yang dilarang oleh agama dan dinilai buruk oleh akal sehat. Pengertian tersebut memerlihatkan bahwa akal memiliki porsi dan berkolaborasi dengan agama dalam menilai baik buruk sesuatu. Hal ini, tak lain karena akal sehat ialah akal yang dibimbing oleh iman, sehingga apa yang baik menurut agama sejatinya baik pula menurut akal sehat. Begitupun sebaliknya.

Pada kenyataannya, doktrin tersebut telah mengalami pendangkalan makna dan aplikasi. Posisi strategisnya telah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok garis keras untuk melegalkan aksi kekerasan bahkan terorisme mengatasnamakan dakwah Islam. Mereka mengadopsi konsep wilayatu al-hisbah, yaitu jabatan eksekutor amar makruf nahi mungkar yang seharusnya atas izin pemimpin, sebagaimana disebutkan Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin. Dalam praktiknya, mereka kerap mengobral konflik sektarian dan kekerasan atas nama amar makruf nahi mungkar.

Ketika masa Rasulullah SAW, konsep hisbah ini diterapkan dalam format kontrol ekonomi semata, yakni untuk mengontrol stabilitas harga di pasar. Begitu pula pada massa khalifah Umar bin Khatab. Ia mengutus seseorang untuk mengawasi pasar. Demikian Ibnu Abd al-Bar menceritakan dalam al-Isti’ab.

Konsep hisbah bermetamorfosa. Dari petugas kontrol pasar dan manajemen kota. Dan pada era Abbasiyah berkembang menjadi pengontrol azan serta menjadi penguji kelayakan calon pekerja. Predikat al-muhtasib (polisi syariat) diresmikan pada era ini pula. Kemudian ia menjadi kontrol moralitas agama serta kebebasan berkeyakinan yang tak jarang dipadu dengan tindak kekerasan.

Tanpa menafikan kontribusi positifnya, FPI (Front Pembela Islam) telah terbukti menyumbang daftar panjang aksi anarkisme dalam dakwah mereka. FPI tak segan merusak bar, diskotik, dan tempat-tempat yang dianggap sebagai sarang maksiat. Mereka mengintimidasi warga Ahmadiyah serta menghancurkan tempat ibadah mereka. Mirisnya, warung makan yang buka saat bulan Ramadhan pun tak luput menjadi sasaran operasi sapu bersih (sweeping), karena dinilai tak menghargai Muslim yang sedang berpuasa. Ujaran kebencian dan sikap rasisme juga kental disuarakan dalam demo atau orasi mereka.

Perilaku semacam itu telah jauh mereduksi esensi mulia dari amar makruf nahi mungkar. Ibnu Qayyim menuturkan, bahwa salah satu kekeliruan umat Islam adalah ketidaksabaran melihat suatu kemungkaran kemudian menghardiknya dan menyebabkan hal yang kontraproduktif, karena melahirkan kemungkaran lain yang justru lebih besar.

Ada pakem-pakem dalam Islam yang harus selalu dicari dalam membaca ajaran agama. Islam meniscayakan maslahat, rahmat, dan keadilan. Jika praktik dakwah terasa sepi dari spirit tersebut, maka ada kealpaan yang harus dikritisi.

Secara spesifik, amar makruf nahi mungkar lebih ditekankan pada aspek persuasif dan preventif, bukan pemaksaan. Menerapkannya dalam lingkup kecil mungkin mudah, tetapi dalam konteks bernegara dan bermasyarakat, perlu langkah dan strategi yang memadai.

Dalam Tafsir al-Munir, Syeikh Nawawi al-Bantani menyatakan bahwa hukum amar makruf nahi mungkar adalah fardhu kifayah. Ada pula ulama yang menghukumi fardhu ‘ain. Amar makruf nahi mungkar hanya bisa dilakukan oleh orang yang mengetahui secara pasti hal terkait, mengenai apa yang dilarang dan apa yang diperintahkan. Karena orang jahil terkadang menjerumuskan pada kebatilan, di mana kemungkaran dianjurkan serta kebaikan justru dilarang. Yang tidak kalah penting adalah pemahaman akan keadaan objek yang didakwahi agar bijak dalam menyusun strategi.

Di samping itu, dalam merealisasikan amar makruf nahi mungkar harus dimulai dari kadar yang paling ringan berangsur pada kadar yang lebih keras. Rasulullah SAW mengabarkan, bahwa “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaan). Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan dengan hati adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).

Baca Juga  Pentingnya Memelihara Peninggalan Bersejarah Untuk Peradaban Dunia

Sekilas, hadis ini justru menawarkan pendekatan yang berkebalikan, yakni dari prosedur keras menuju yang ringan dalam amar makruf nahi mungkar. Menjadikannya terlihat bertentangan dengan prinsip rahmat (belas kasih) Islam. Imam Nawawi menawarkan satu penafsiran yang cukup kompromistis.

Dalam Raudhatu al-Thalibin ia menyebutkan bahwa apabila seseorang menyaksikan kemungkaran dan ia punya kuasa (tangan), maka tak boleh berhenti dengan lisan jika kemungkaran itu tak berhenti dengan lisan. Dan yang mampu menggunakan lisan, maka tak boleh hanya berhenti dengan hati.

Meminjam ungkapan Ahmad Syafii Maarif dalam Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman, bahwa substansi doktrin yang bersumber dari wahyu, seperti amar makruf nahi mungkar, dengan sendirinya bersifat immutable (tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas). Sementara strategi dan metode pelaksanaannya bersifat sebaliknya; mutable (dapat berubah). Dengan demikian, doktrin tersebut dapat menapak bumi dalam ruang tempat dan waktu yang dinamis dengan beragam variasi.

Jabatan al-muhtasib dalam konsep hisbah harus ditafsirkan ulang untuk ruang waktu dan tempat saat ini. Kompleksitas diskursus mengenai amar makruf nahi mungkar menuntut kita memahami praktiknya secara arif. Pandangan Muhammad Syahrur relatif dapat dijadikan pilihan untuk membumikan amar makruf nahi mungkar dalam situasi kekinian. Melalui Tajfif Manabi al-Irhab, ia memaparkan beberapa poin sebagai bentuk reinterpretasi atas doktrin tersebut.

Pertama, adanya jaminan kebebasan berkeyakinan, berpendapat, dan berekspresi tanpa khawatir, sebagai syarat amar makruf nahi mungkar. Atas dasar ini, pilihan manusia akan lebih jujur dan bertanggungjawab. Tanpa kemerdekaan itu, amar makruf nahi mungkar hanya sekadar menjadi bilah pemaksa yang melahirkan manusia hipokrit.

Kedua, dalam ranah sosial, amar makruf nahi mungkar harus disosialisasikan kepada masyarakat sipil secara santun dan bijak, bukan dengan paksaan atau ancaman. Ketiga, Undang-Undang yang telah disepakati ialah wujud dari aplikasi amar makruf nahi mungkar dalam kehidupan bernegara. Adapun hukum yang diatur di dalamnya hanya aspek publik saja. Arena privat seperti keimanan, ritus ibadah, dan pola kehidupan seseorang tak sepatutnya diintervensi negara. Yang terakhir ini, cukup menjadi bagian amar makruf nahi mungkar pada level masyarakat sipil saja. Tentu dengan penuh hikmah dan nasehat atau debat yang konstruktif.

Amar makruf nahi mungkar adalah salah satu piranti untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berbudi dan bermoral. Mengamalkannya harus dengan akal sehat, bukan tindakan anarkis membabi-buta yang malah menimbulkan antipati atas Islam. Kapasitas kita sebagai manusia hanya sebatas berupaya melalui pintu amar makruf nahi mungkar sampai batas tertentu, bukan mengambil alih job desk malaikat Raqib-Atid seperti mengawasi dan menilai tingkah polah manusia.

Pemerintah melalui lembaga-lembaga yang berwenang, merupakan salah satu bentuk interpretasi ulang dari doktrin amar makruf nahi mungkar. Lembaga tersebut mempunyai tahapan “dakwah” yang jelas dan konstitusional. Tiap Muslim memang memikul tanggungjawab untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan kebenaran. Namun, juga perlu dibarengi dengan kesabaran dan etika, sebagaimana diwartakan dalam Q.S. Al-Ashr [103]: 3.

Dakwah pada hakikatnya mengandung pesan empatik. Audiens diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menerima atau menolak apa yang didakwahkan. Urusan hidayah adalah hak prerogatif Allah SWT yang ditekankan dalam Q.S. Al-Baqrah [2]: 272. Rasulullah SAW pun diingatkan oleh Allah SWT agar tidak risau ketika gagal mengajak atau melarang umatnya, karena jabatan beliau adalah penyampai saja (al-ballagh). Untuk itu, berkehendak menyelamatkan orang lain dengan menindas dan merampas haknya adalah sebuah ironi yang perlu dipertanyakan. Amar makruf nahi mungkar, suatu tujuan baik nan mulia, harus dijalankan dengan cara yang baik pula. Wallahu a’lam.

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.