Fase Menjadi Teroris

KolomFase Menjadi Teroris

Sebagian umat Islam mengatakan, terorisme tidak berkaitan dengan agama manapun. Secara bersamaan, mereka juga menyudutkan pihak lain yang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Dalam hal ini, mereka kerap menyudutkan pemerintah dengan dalih telah diskenariokan.

Kalau memang benar agama Islam mengajarkan toleransi, lalu mengapa sebagian umatnya masih melakukan kekerasan? Jika agama Islam adalah agama rahmatan lil alamin, seperti yang selalu didengungkan, mengapa sebagian faksi Muslim masih saja melakukan serangan terhadap gereja dan bom bunuh diri? Bahkan berani menyerang Markas Besar Polri. Sangat di luar akal sehat.

Setiap kali membaca berita tentang terorisme, saya selalu mengatakan bahwa hal itu merupakan pukulan telak yang tidak hanya mengoyak perdamaian sesama Muslim, sesama anak bangsa, dan sesama manusia. Seorang Muslim yang beriman sejati, tidak mungkin melakukan teror atas nama Islam. Seorang Muslim beriman sejati dapat kita kenali cirinya secara inklusif dalam menjaga harmoni, persaudaraan, berperilaku keberadaban, membangun kesejahteraan, dan keadilan dalam kerangka perdamaian dunia.

Sesuai dengan sabda Nabi SAW, “Mukmin sejati adalah yang bisa menjaga darah dan harta orang lain.” (HR. Al-Tirmidzi dan Al-Nasa’i). Islam adalah agama yang tampak secara zahir, sementara iman adalah batin. Jadi, umat Islam yang bersyahadat adalah seorang Muslim, akan tetapi belum tentu Mukmin.

Karena keimanan sama sekali tidak bisa diukur dari yang tampak secara zahir. Terorisme yang terjadi belakangan—bunuh diri satu keluarga di Surabaya, di Gereja Katedral Makassar, dan Mabes Polri Jakarta—adalah seorang Muslim yang tidak mengerti akar sejarah Islam dan Indonesia yang dibangun oleh para Mukminin-Mukminat.

Oleh sebab itu, kaum ekstremis tidak akan pernah mengerti akar sejarah. Sejarah Islam yang dibangun Nabi Muhammad SAW. maupun sejarah para ulama yang berkontribusi dalam pembentukan bangsa Indonesia pada era kemerdekaan. Teroris senantiasa mencoreng dan menodai ajaran Nabi yang disalahartikan dengan istilah jihad, khilafah islamiyyah, penegakkan syariat, dan seterusnya. Tidak hanya menodai Islam, tapi juga rasa saling percaya, rasa aman, dan terutama sekali rasa kemanusiaan.

Pembelaan Islam, jihad, dan surga adalah omong kosong yang sesungguhnya berselimut dalam motif politik. Karena itu, kita perlu melindungi keluarga dan lingkungan kita dari pengaruh jahat ekstremisme yang mengarah pada terorisme. Karena fenomena globalisasi seperti saat ini, egoisme, materialisme, eksklusivisme, dan individualisme dapat mengakibatkan efek negatif yang disebabkan doktrin dogmatis, yakni krisis etika dan cinta.

Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh peraih penghargaan The Peaceful di University of Texas pada 13 April 2003, Fethullah Gulen, bahwa terorisme dan kekerasan merupakan akibat dari hilangnya cinta dan kasih sayang di hati manusia. Gulen mengatakan, cinta adalah sebuah obat mujarab bagi problem terorisme (Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, 2011: 148). Pada dasarnya, manusia sangat membutuhkan cinta dan kasih sayang antar sesama.

Ironisnya, sebagian pemuka agama Islam berdakwah dengan kebencian, caci maki, dan permusuhan. Inilah awal mula fase atau tahapan yang dapat melahirkan bibit-bibit teroris. Diawali dengan tindakan intoleran terhadap liyan (orang-orang yang berbeda pemahaman, baik mazhab ataupun keyakinan). Kita boleh berbeda keyakinan dan pemahaman, namun toleransi dapat kita terapkan dalam sosial kehidupan. Persoalannya kemudian fanatisme buta terhadap satu pemahaman yang mengakibatkan seseorang bertindak intoleran.

Baca Juga  Wahabisme: Ideologi Kaum Ekstremis (Bagian 6 Habis)

Dalam bahasa filsafat, toleransi mempunyai batas, yakni toleransi tidak bisa menoleransi tindakan-tindakan yang intoleran. Artinya, kita tidak perlu menoleransi; dan justru harus melawan perilaku atau tindakan intoleran yang akan menghancurkan harmoni perdamaian. Kita juga perlu menjunjung tinggi rasa hormat, penuh apresiasi terhadap ekspresi keragaman yang ada. Hal itu dianggap sebagai salah satu bentuk pencegahan dan jihad kita sebelum orang itu meningkat pada fase berikutnya, yakni radikalisme agama.

Radikalisme agama memiliki dua karakter utama. Pertama, radikal secara pemikiran—biasanya menyalahkan amaliah lain, membid’ahkan, dan mentaghutkan pemerintah—yang kaku dan rigid, berdasarkan pemahaman tekstual al-Quran atau hadits yang tidak utuh. Biasanya memahami hanya lewat terjemahan, dan tidak memahami tafsir, makna, sebab musabab, dan lainnya.

Kedua, radikal dalam tindakan. Ini yang tampak di permukaan seperti aksi sweeping, mendemo pembangunan rumah ibadah agama lain, mengampanyekan dan memaksakan sistem khilafah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan seterusnya. Kelompok dan gerakan ini, acap kali dimanfaatkan oleh oknum politikus dalam mencapai tujuan kekuasaan politik. Karenanya, pemerintah dengan tegas segera membubarkan beberapa ormas-ormas radikal—seperti Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam—yang sangat berpotensi lebih jauh pada aksi radikal ekstrem terorisme.

Celakanya banyak dari kalangan pemuda—bahkan masih dalam usia remaja dan belia—sudah terinfiltrasi virus radikal. Jika dalam beberapa tahun kebelakang, kasus radikalisme dan terorisme didominasi oleh usia sekitar 35 tahun ke atas. Hari ini sebaliknya. Kita menyaksikan anak muda yang berusia kisaran usia 19-30 tahun sudah terinfeksi penyakit radikalisme.

Bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar beberapa waktu lalu juga terdiri dari sepasang anak muda yang menjelang dewasa. Konon katanya baru saja beberapa bulan menikah. Begitu juga seorang wanita yang menyerang Markas Besar Polri di Jakarta. Fase radikalisme adalah fase atau tahapan yang hanya selangkah lagi menuju ekstremisme teroris yang berbahaya bagi kemanusiaan yang dijunjung oleh semua agama. Akan tetapi, kita dapat melakukan pencegahan atau perlawanan terhadap tindakan radikalisme.

Setidaknya ada tiga langkah yang dapat diupayakan dalam mengurai skema melawan radikalisme menurut A. Helmy Faishal Zaini dalam bukunya, Nasionalisme Kaum Sarungan (2018). Pertama, revitalisasi penanaman nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme. Kedua, pemerintah harus membuat program kontraradikalisme. Berbeda dengan deradikalisasi yang sedang dilakukan oleh pemerintah saat ini. Kontraradikalisme adalah sederet program dan juga gerakan yang menyentuh segenap lapisan yang sudah terbukti bergabung dan pernah melakukan tindak terorisme maupun yang belum. Dan kunci paling efektif adalah melalui pendidikan.

Ketiga, pemerintah harus lebih serius menggandeng ormas-ormas Islam yang berpaham moderat—seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama—untuk membantu melunakkan paham radikalisme di segala lini. Dengan begitu, gerakan radikalisme tidak akan jauh berkembang menjadi gerakan terorisme.

Sekarang, tinggal bagaimana kita dapat mencegah radikalisme dan ekstremisme yang mengarah pada tindakan terorisme mendatang. Para pengantin bom bunuh diri itu adalah korban dari pemuka agama yang senang dalam dakwah mengkafirkan (takfiri), radikal, intoleran, penuh kebencian, permusuhan, dan kekerasan.

Harus dicari upaya kolektif untuk menutup semua corong dalam fase atau tahapan yang mengarah pada tindakan anarkisme kekerasan dan terorisme yang kian hari kian meresahkan, demi keharmonisan dan perdamaian bumi pertiwi yang kita cintai ini. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.