Apalagi Islam Kalau Bukan Cinta

KolomApalagi Islam Kalau Bukan Cinta

Sedih rasanya menyaksikan agama Tuhan yang berisi ajaran kasih sayang dikooptasi habis-habisan oleh oknum jahat sebagai kendaraannya melakukan tindakan biadab. Otentisitas dimensi Islam sebagai agama cinta pada semua sudutnya, seakan tenggelam di bawah hiruk-pikuk kekerasan dan peperangan. Tengok saja bagaimana kelompok yang menamakan diri sebagai ‘mujahid’ mengumbar begitu banyak akrobat kejahatan yang memenggal kemanusiaan sembari bersenandung takbir dan mengusung tinggi atas nama Tuhan.

Yang masih hangat dibicarakan tentu aksi teroris yang melakukan pengeboman Gereja Katedral di Makassar pada Minggu pagi (28/03/2021) kemarin. Padahal Nabi Muhammad pernah menjelaskan, Cinta itu asas (ajaran agama) ku. Tak ada ajaran kekerasan dalam Islam. Baik dalam akidah, akhlak, maupun ibadah, karakter Islam adalah mahabbah (cinta). Karena Allah sendiri adalah mata air cinta.

Allah SWT nampak ingin dikenal sebagai Tuhan Maha Kasih oleh hamba-Nya melalui lafaz basmalah. Dalam ayat yang menjadi pembuka tiap membaca al-Quran ini, sifat yang Allah patenkan di sana adalah Maha Pengasih (al-rahman) dan Maha Penyayang (al-rahim). Lebih dari itu, Ibnu ‘Arabi menekankan, inti dari keseluruhan akhlak Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang. Maka seorang pecinta Allah adalah sekaligus pecinta makhluk-Nya. Bukankah Rasulullah SAW menyuruh kita untuk menginternalisasi sifat-sifat Allah dalam diri kita, beliau bersabda, Tumbuhkanlah dalam dirimu sifat-sifat Allah. Singkatnya, manusia didorong untuk mempraktikkan inti dari akhlak Allah yang tak lain adalah cinta kasih.

Dari sekian banyak nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), yang dominan adalah karakter kasih-Nya. Allah sendiri menetapkan atas-Nya kasih sayang. Sebagaimana termaktub dalam al-An’am [6]: 54, …Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya sifat kasih sayang. Dia adalah Dzat yang rahmat-Nya jauh lebih luas daripada murka-Nya (HR. Bukhari-Muslim). Dengan pandangan bahwa cinta adalah prinsip ketuhanan, akan mengantarkan pada prinsip orisinil Tuhan yang Maha Baik, Maha Benar, dan Maha Indah.

Secara paradigmatik, jika pandangan ini diterapkan akan membuat kita membaca nash-nash agama sesuai patron genuin-nya. Sesungguhnya Tuhan adalah baik, itu sebabnya disebut al-asma’ al-husna. Termasuk sifat-sifat-Nya yang menggambarkan kemarahan atau kekerasan, di situ terkandung kasih sayang. Bahwa dalam kekerasan-Nya itu Allah menginginkan kebahagiaan makhluk-Nya. Operasinya di kehidupan kita dalam bentuk ketetapan-ketetapannya-Nya akan senantiasa menjadi kebaikan untuk kita, sekalipun hadir dengan ‘kemasan’ murka-Nya.

Ajaran cinta juga terlembaga dalam diri Rasulullah SAW, baik lisan maupun tindakan. Akhlak cintanya meliputi siapa saja dan menembus sekat apapun. Jangankan umatnya, pada orang yang menyakitinya pun Nabi masih memiliki porsi welas asih. Kisah populer pengemis tua Yahudi di kota Madinah serta peristiwa lawatan menyakitkan Rasulullah SAW ke Thaif amat cukup menggambarkan semburat cinta beliau pada seluruh makhluk.

Akhlak Nabi adalah wujud dari rahmatnya pada semesta, sebagaimana misi pengutusan beliau di jagat dunia ini adalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (al-Anbiya’ [21]: 107). Sedang kasih cinta Nabi adalah luapan dari rahmat Allah SWT yang tak bertepi.

Baca Juga  Peran Besar Diplomasi Sang Bung Kecil

Begitu pentingnya menjadi pribadi penyayang. Perintah itu jelas Rasulullah SAW katakan, Sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang ada di langit akan menyayangimu. Kasih sayang itu bagian dari rahmat Allah. Barangsiapa menyayangi, Allah akan menyayanginya. Siapa memutuskannya, Allah juga akan memutuskannya (HR. Tirmidzi).

Sekte pemuja kekerasan yang serampangan menafsirkan al-Quran-hadis ini telah merusak citra Islam dan menempatkan Islam juga umatnya pada posisi yang dirugikan. Mereka menelaah nash-nash keagamaan secara skripturalis, instan, dan ceroboh hingga lahir kemudian paham takfiri (mudah mengafirkan orang) serta pemaknaan jihad yang berarti qital (perang). Di mana paham ini bertolak belakang dengan ajaran cinta yang merupakan nukleus agama Islam. Jihad sesungguhnya itu ditujukan untuk melindungi nyawa, bukan menghabisinya.

Betapa pongahnya, baru seumur jagung membaca al-Quran—itupun terjemahan—sudah seenaknya merasa paling benar dan anarkis. Sayyidina Umar bin Khattab saja baru selesai memelajari surat al-Baqarah setelah 12 tahun lamanya. Para sahabat Nabi yang lain juga begitu hati-hati dalam menelaah al-Quran. Mereka tak akan beranjak dari satu ayat tertentu sebelum benar-benar memahaminya.

Manusia, sebagaimana ungkap Ibnu ‘Arabi cenderung ‘menciptakan’ Tuhan-Nya sendiri, sesuai dengan psikologinya, pemikirannya, dan budayanya masing-masing. Bukan membiarkan kebeningan hatinya menangkap Tuhan yang sesungguhnya. Hingga seperti tadi, lahir penafsiran yang mengasumsikan Tuhan sebagai Dzat yang hanya bersifat keras dan pemarah, padahal itu hanya asumsi penuh nafsu si penafsir.

Kiranya kekeliruan yang berlarut ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kegagalan membaca firman-firman Tuhan secara integratif, dan hanya memahaminya secara parsial. Kedua, kegagalan melihat bahwa tak sedikit dari al-Quran sejatinya menampilkan bahasa simbolik dan analogis. Ketiga, kegagalan untuk mendahulukan pemahaman kita akan Tuhan—yang penuh cinta—atas penafsiran kita terhadap Kitab Suci-Nya.

Sangat aneh, ketika Tuhan sedemikian asih menampilkan Diri-Nya, Nabi Muhammad, sang utusan, tampil begitu santun penuh akhlak mulia, dan ayat-ayat al-Quran sebegitu damai menyapa umat manusia. Namun sebagian umat yang mengaku Islam malah berulang kali menyulut api kebencian, merasa terbenar, hingga gelap hati membantai makhluk yang dikasihi Tuhan.

Cinta adalah wajah otentik Islam. Karena keseluruhan dimensinya berlandaskan oleh kasih. Tidak ada ajaran teror dalam Islam, tapi kita pun harus dengan jujur mengakui bahwa ada oknum yang menyalahgunakan Islam sebagai jubah kekerasan. Ini menjadi tugas bersama untuk terus melawannya agar tak terjadi normalisasi terhadap praktik radikalisme dan terorisme. Hal ini adalah otokritik sekaligus upaya untuk melepaskan Islam dari tuduhan agama kekerasan. Jati diri Islam cintalah yang harus selalu kita tampilkan sebagai pondasi untuk menggelar peradaban kehidupan yang damai dan berkelanjutan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.