Nabi SAW Mendidik Anak dengan Kebaikan, Bukan Kekerasan

KhazanahNabi SAW Mendidik Anak dengan Kebaikan, Bukan Kekerasan

Seorang anak yang masih duduk di sekolah dasar di Purbalingga, Jawa Tengah, diduga menjadi korban kekerasan oleh kedua orangtuanya. Sebab anak tersebut ditemukan warga setempat dalam kondisi diikat dengan rantai di sebuah ruangan di rumahnya. Fenomena ini menyadarkan kita, bahwa masih ada masyarakat yang menganggap ajaran Islam, hanya sekadar tauhid. Padahal, dalam segi moral, Rasulullah SAW sebagai utusan-Nya senantiasa mengajarkan akhlak yang mulia, termasuk mendidik anak dengan kebaikan, bukan kekerasan.

Jika ibu adalah madrasah al-ula (sekolah pertama) bagi anak, maka keluarga adalah lingkungan yang membentuk karakter dan kepribadiannya. Sebab tidak hanya menjadi tempat berlindung, lebih dari itu, anak-anak cenderung memperhatikan dan merefleksikan sikap atau perilaku orang-orang terdekatnya, khususnya orangtua.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ajarilah, permudahlah, janganlah engkau persulit, berilah kabar gembira. Jangan engkau beri ancaman. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah diam [HR Bukhari & Ahmad].

Perkataan Rasulullah di atas tidak hanya tertuju kepada hubungan formal antara guru-murid dalam sebuah lembaga atau majelis saja, tetapi juga tertuju kepada para orangtua dalam mendidik anak-anak. Atau bahkan, dalam cakupan yang lebih umum, transfer ilmu pengetahuan antarinsan di dunia. Selama proses ini berlangsung, terdapat empat hal yang harus diperhatikan. Dan, hal-hal ini merupakan ciri mendidik anak ala Nabi SAW, yaitu mendidik dengan kebaikan, bukan kekerasan.

Pertama, ajarilah mereka, baik dari sisi intelektual, moral, spiritual, maupun emosional. Semua itu sangatlah penting bagi tumbuh kembang anak, karena setiap sisi itu mempunyai kebaikannya masing-masing. Setiap komponen haruslah seimbang. Sebagai contoh, orangtua yang meningkatkan kecerdasan intelektual anak, tanpa memberikan nilai-nilai moral akan menghasilkan anak yang “pincang”. Atau yang kerap kali disebut pintar, tetapi sombong.

Secara sederhana, para calon orangtua seharusnya diberi edukasi yang baik dan matang tentang bagaimana cara mendidik dan membesarkan anak. Inilah sebabnya pernikahan anak di bawah umur harus ditiadakan, karena mereka cenderung belum mapan, khususnya secara emosional. Orangtua yang sudah siap untuk menikah dan mendidik anak, sejatinya akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Bahkan, meningkatkan mutu generasi selanjutnya.

Baca Juga  Menghidupkan Keberagamaan yang Humanis

Adapun cara efektif dalam mengajarkan anak adalah mencontohkannya dalam keseharian. Pada masa pertumbuhan, seorang anak selalu memperhatikan sikap dan ucapan kedua orangtuanya. Apabila orangtua mencontohkan spiritualitas dan moralitas, seperti shalat lima waktu dan berakhlak baik, maka anak-anak akan meniru mereka.

Sedangkan tragedi seorang anak yang dirantai dan diborgol orangtuanya adalah bentuk kekerasan, bukan metode dalam mendidik anak dengan cara memberi hukuman. Tindakan tersebut, bukan menjadikan anak itu jera dan patuh. Justru membuat anak trauma atau bahkan, mewujudkan anak yang rentan menjelmakan perilaku kekerasan, karena mengimplementasikan perilaku orangtuanya.

Kedua, dalam mengajar atau mendidik anak, Rasulullah berpesan untuk mempermudah, bukan mempersulit. Sebab Islam itu memudahkan, bukan menyulitkan. Mengajarkan atau mendidik anak secara sederhana dan bertahap disesuaikan dengan kemampuan anak adalah kunci keberhasilan dalam mendidik mereka.

Selanjutnya, berilah kabar gembira, jangan engkau beri ancaman. Mengancam anak-anak demi memenuhi visi misi orangtua juga sangat tidak dianjurkan. Sebab tidak hanya mempengaruhi kesehatan emosional mereka, tetapi juga membatasi ruang gerak anak untuk mengekspresikan bakat, keterampilan, dan potensi dalam dirinya.

Terakhir, Rasulullah berpesan, Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah diam. Dalam mendidik anak, sangat diperlukan kecerdasan emosional, yaitu kesabaran. Mendidik anak itu tidak mudah. Marah dan kesal saat mengajarkan mereka juga sesuatu yang wajar. Namun, meluapkan kemarahan dan kekesalan itu dalam bentuk kekerasan adalah penyimpangan dan tidak dibenarkan.

Dari keempat pesan Rasulullah SAW kepada para orangtua dalam mendidik anaknya, tidak ada satu pun yang membenarkan ancaman dan kekerasan. Sebaliknya, beliau justru mencerminkan pendidikan dengan kebaikan sekaligus kasih sayang dan kelembutan, sehingga anak-anak merasa nyaman dan aman saat berada dalam naungannya.

Dengan demikian, Islam seharusnya tidak hanya tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk saja. Melainkan ajaran-ajarannya tentang kebaikan moral manusia merasuk dalam keseharian masyarakat Muslim Tanah Air, khususnya dalam perkara mendidik anak tanpa kekerasan. Sebab melangsungkan tindak kekerasan terhadap anak adalah tradisi masyarakat jahiliyyah yang hendak dihapuskan oleh Rasulullah SAW sejak awal.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.