Potret Sosial Spiritual di Balik Isra’ Mi’raj

KolomPotret Sosial Spiritual di Balik Isra’ Mi’raj

Momentum peristiwa Isra’ Mi’raj menjadi perjalanan fenomenal sebagai perintah dimulainya kewajiban shalat lima waktu bagi umat Muslim. Namun, dibalik peristiwa tersebut tidak melulu bersifat teologis, ada dimensi sosial yang jarang dipotret oleh kebanyakan masyarakat di balik kembalinya Nabi Muhammad SAW setelah perjumpaan dengan Tuhannya. Oleh karena itu, memotret sosial dalam momentum peristiwa Isra’ Mi’raj menjadi signifikan dalam implementasi perjalanan spiritual di tengah masyarakat metropolitan.

Peristiwa  Isra’ Mi’raj tepat berlangsung ketika Nabi Muhammad SAW merasa dalam situasi sangat sedih setelah ditinggal oleh orang-orang yang disayanginya, yakni Sayyidah Khadijah al-Kubra istri tercintanya, yang selanjutnya disusul oleh Abu Thalib, paman yang senantiasa membela dan memberi perlindungan dari keganasan kafir Quraisy. Pada tahun ini para sejarah menyebutnya sebagai Am al-Huzn, tahun kesedihan. Kemudian Allah SWT mengutus malaikat Jibril menyampaikan pesannya pada beliau untuk melakukan sebuah perjalanan agung.

Perjalanan agung tersebut, tidak lain Isra’ Mi’raj yang merupakan perjalanan rohani Nabi Muhammad SAW dari masjidil haram ke masjid terjauh (aqsha) lalu naik ke puncak semesta “sidrah al-Munthaha” yang dilakukan dalam satu malam saja. Jika dilihat melalui dimensi sosial spiritual, maka perjumpaan Rasulullah SAW dengan Tuhan suatu kenikmatan luar biasa yang tak akan pernah ditemukan di dunia dan sebaik-baiknya balasan di akhirat. Meski begitu, Rasulullah SAW tidak meminta untuk tetap tinggal di atas walaupun psikisnya tengah terpukul karena kesedihan yang mendalam, melainkan tetap menjalankan tugas kerasulannya dengan segala konsekuensi ujian berat yang diterimanya.

Seorang sufi asal India Abdul Quddus Gangohi mengatakan, Nabi Muhammad naik ke langit tertinggi dan kembali ke dunia. Demi Allah aku bersumpah, sekiranya aku seperti dia tentu aku tidak akan mau kembali (Schimmel, 2019). Pernyataan ini merupakan hal wajar sebab perjumpaan dengan Tuhan merupakan nikmat yang fantastis. Manusia tidak usah repot menghadapi cobaan yang melelahkan. Karena itu, ibrah yang diambil dari kembalinya Rasulullah SAW, meski spirit keimanan berpusat pada Tuhan tetapi keberadaannya sebagai makhluk sosial harus sadar untuk  memerhatikan juga apa yang ada di bumi.

Tak sedikit kita mendengar kisah seorang sufi yang menjauh dari keramaiannya agar kekhusukannya dalam menyembah Tuhan bertambah atau tidak terganggu. Mereka berdzikir dengan larut hingga mencapai ekstase, demi menuju kerinduannya berjumpa dengan sang kekasih, Allah yang memiliki cinta abadi. Dalam pandangan masyarakat metropolitan, sikap demikian terlalu mengenyampingkan perkara duniawi hingga membuat manusia dinilai sulit maju dan berpotensi antipati sosial.

Baca Juga  Gus Baha: Jangan Remehkan Orang Suka Shalawat tapi Tak Shalat

Realitanya, lantaran kesibukannya beribadah menghadap Tuhan, tak sedikit dari mereka yang apatis terhadap sosialnya. Mereka yang dalam situasi ini, sebenarnya karena masih belum bisa mengimbangi proporsi antara kehidupan dunia untuk akhirat. Padahal, banyak pula para sufi yang justru lebih ideal karena ia bisa mengimbangi kehidupan dunia akhirat. Tidak melulu menatap ke langit, tetapi melupakan bumi tempatnya berpijak.

Dalam buku Umar bin Khattab Sang Legenda karya Yahya bin Yazid al-Hukmi al-Faifi (2012), Umar bin Khattab seorang sahabat Nabi SAW yang dikenal zuhudnya sekaligus pekerja keras, menghimbau agar tidak malas dalam bekerja. Salah satu sahabat yang ditegur ialah Abu Hurairah yang dikenal zuhud tetapi enggan bekerja. Lalu oleh Umar bin Khattab, ia ditegur bahwa ada yang melamar kerja tetapi ia lebih muliah darimu, yakni Nabi Yusuf AS. Lantas dibacakannya ayat, dia Yusuf berkata, jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir), karena sesungguhnya aku seorang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan (QS. Yusuf: 55).

Sebenarnya ada banyak dimensi jika kita merenungi banyak hal atas peristiwa Isra’ Mi’raj. Dimensi teologis memang jelas, karena ini mandat yang mesti diemban sebagai rasul untuk menyampaikan syariat agama dalam menunaikan shalat lima waktu. Adapun nilai sosial dibalik peristiwa Isra’ Mi’raj salah satunya adalah turunnya Rasulullah SAW ke bumi untuk menyampaikan apa yang dimandatkannya.

Demikian fitrah manusia adalah sebagai makhluk sosial. Manusia menempuh keridhaan Tuhan melalui manusia. Kembalinya Rasulullah SAW dari Isra’ Mi’raj mengukuhkan agar manusia ketika mengingat Tuhannya tidak seharusnya melupakan jati dirinya sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu, relasi manusia dengan Tuhan terangkum dalam shalat yang di awali dengan takbir mengagungkan Allah SWT dan di tutup dengan salam sebagai seruan perdamain, tak terkecuali turunan dari perintah shalat juga menciptakan kesalehan sosial,, yakni dengan adanya perintah shalat berjamaah lebih utama, ketimbang sendirin.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.