Mengukuhkan Pentingnya Akhlak di Tengah Banalitas Ruang Publik

KolomMengukuhkan Pentingnya Akhlak di Tengah Banalitas Ruang Publik

Hasil survei mengenai tingkat kesopanan pengguna internet yang dikeluarkan Microsoft dalam laporan berjudul Digital Civility Index (DCI) menjadi tamparan keras bagi kita. Riset yang dirilis baru-baru ini tersebut menempatkan masyarakat Indonesia di posisi ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Dan kita didaulat menjadi warga dunia maya paling tidak sopan di kawasan Asia Tenggara.

Mobilitas dan pola interaksi masyarakat Indonesia yang berkembang di dunia citra memang menunjukkan banalitas yang luar biasa. Betapa ramai ujaran kasar, fitnah, dan hoaks hingga melumpuhkan etika publik serta tenun persaudaraan. Hal ini adalah satu ironi di tengah khazanah keindonesiaan yang dikenal kaya tawa dan murah senyuman. Tentunya malu. Namun, penilaian tersebut harus menjadi autokritik. Di mana kita berkewajiban menyemai kembali pendidikan dasar relasi kemanusiaan, yakni akhlak, baik dalam kehidupan maya maupun nyata demi terbitnya kedamaian sosial.

Dibanding tahun 2019 yang mendapat skor 67, skor kesopanan daring warga Indonesia mengalami kenaikan sembilan poin pada 2020, menjadi 76. Di mana semakin tinggi skor, maka semakin rendah kesopanan ruang digital di negara tersebut. Maksud studi ini adalah untuk membudayakan interaksi digital yang lebih sehat, aman, dan positif. Namun yang memrihatinkan, pasca menerima rapor merah atas etika bermedia sosial, netizen Indonesia justru merundung Microsoft.

Akun media sosial raksasa IT tersebut pun menjadi bulan-bulanan, diserang, dan dihujat warga dunia maya +62. Buntutnya, melansir dari medcom.id, Microsoft pun menggembok kolom komentar akun instagramnya pada Jumat (26/02/21) karena kebanjiran komentar bernada negatif dari warga Indonesia. Betapa menyedihkan, potret kita di muka internasional adalah warga nir-etika. Kerendahan hati untuk mengoreksi diri sendiri masih asing dan belum membudaya.

Menurut riset tersebut, warga kita menghadapi tiga risiko utama di ruang digital, yakni gempuran hoaks (47 persen), ujaran kebencian (27 persen), serta perlakuan diskriminatif (13 persen). Artinya, tiga hal ini menjadi penyebab utama Indonesia terjun bebas di peringkat terakhir. Sebenarnya bukan hal yang mengherankan, karena ruang publik kita memang riuh dengan nada sumbang kebencian dan hinaan. Berita simpang siur diafirmasi dan disebar begitu saja. Polarisasi isu sosial-politik dan keagamaan membuat banyak orang menanggalkan akhlak serta lupa tata krama. Akibatnya, keakraban dan persaudaraan yang digadaikan.

Dalam beberapa kesempatan, warga negara lain bahkan menjadi korban keganasan perangai netizen Indonesia. Dengan motif beragam dan penuh asumsi, beberapa orang dari negara tetangga pernah ‘dihajar’ beramai-ramai di akun media sosialnya. Perundungan semacam itu tentu merugikan dan akan mengguncang mental sang korban. Akibat gagal mengontrol emosi membuat kita dipandang konyol dan kekanak-kanakan oleh warga luar. Pola seperti ini tak hanya sekali terjadi, malah seakan menjadi sindrom rutinan.

Kita mengalami kegagapan dalam bersosial media. Sebagai masyarakat yang bertumbuh dengan budaya lisan, bukan kultur membaca, maka terjadi gegar budaya karena kaget menghadapi perubahan signifikan tersebab teknologi informasi yang merangsek datang. Tipologi media sosial yang bebas, anonim, dan tak terlihat, membuat penggunanya bisa menjadi liar tak terkendali.

Baca Juga  Ibnu Hazm, Ulama Prolifik yang Telat Belajar

Di tengah kekasaran ruang publik seperti ini, penting bagi kita untuk kembali menggali nilai-nilai akhlak karimah. Dipadu dengan pembudayaan membaca dan penggalakan literasi digital. Potter dalam Yusuf (2010) menuturkan bahwa literasi media ialah struktur pengetahuan dan perspektif yang dipakai saat berhadapan dengan media.

Postur sosial adalah keniscayaan bagi manusia. Kehidupan kita akan selalu bersinggungan dengan jaringan manusia lain. Maka dari itu, seni memperlakukan orang lain adalah keterampilan asasi yang harus dikuasai. Supaya tercipta kehidupan yang damai dan relasi hangat antarmanusia. Sungguh sesak jika dunia ini dihimpit kebencian dan rasa saling curiga.

Kesopanan yang minus di tengah masyarakat Indonesia yang beragama, juga menjadi paradoks tersendiri. Padahal, agama adalah mata air moral dan kompas budi pekerti. Umat yang mengaku bertuhan tapi tidak memperlakukan orang lain dengan baik, tak ubahnya ia sedang mengkhianati ajaran agamanya sendiri.

Dalam konteks Islam, begitu jelas Nabi Muhammad SAW menyiarkan misi keberadaannya adalah untuk menyempurnakan moralitas yang luhur. Akhlak adalah ruh dari manusia yang beragama. Dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW menyinggung tentang pentingnya menjadi pribadi yang bermoral. Seperti ketika beliau bersabda, Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya ia akan menutupinya. Dan bermualahlah kepada manusia dengan akhlak yang mulia (HR. At-Tirmidzi).

Agama adalah perjalanan untuk membentuk akhlak yang baik. Sabda-sabda Nabi adalah petunjuk terang bahwa episentrum keberagamaan adalah akhlak, yang tak lain terkait relasi horizontal antarmanusia. Hal ini diperteguh oleh sebuah hadis dalam al-Targhib wa al-Tarhib [3: 405]. Diceritakan, bahwa Ada seorang lelaki yang menemui Rasulullah SAW dan bertanya, “Ya, Rasulullah, apakah agama itu?”. Rasulullah SAW menjawab, “Akhlak yang baik”. Pertanyaan itu berulang kali ditanyakan oleh si pemuda. Dan jawaban Nabi tetap sama, beliau mengukuhkan bahwa beragama adalah berakhlak yang baik.

Kencangnya gerak teknologi dan arus informasi menuntut resiliensi kita selaku pelaku realitas. Kemampuan beradaptasi, bertahan, dan menyikapi situasi yang selalu bergulir dapat disokong dengan aktivitas literasi. Dengan itu, manusia akan memiliki nafas panjang kehidupan.

Rilis dari Microsoft tersebut harus dicermati dengan pikiran dan hati terbuka. Suka atau tidak suka, laporan DCI tadi merupakan wajah pengguna internet di negeri ini. Kita sedang terasing di ruang yang membuat kita kehilangan identitas. Untuk itu, akar budaya Indonesia yang menjunjung tinggi kesantunan dan ramah tamah harus terus dihayati. Restorasi akhlak dengan menyadari konsep kehidupan sosial dan nilai-nilai agama adalah jalan untuk mengobati ruang publik kita yang sakit karena dipenuhi kejahatan verbal juga fitnah. Menjadi insan berbudi, adalah cermin manusia dengan kekayaan spiritualitasnya. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.