Aisyah RA Bukan Simbol Pernikahan Dini

KolomAisyah RA Bukan Simbol Pernikahan Dini

Di zaman kita, pernikahan dini menjadi masalah sosial yang cukup serius. Berdasarkan publikasi laporan Pencegahan Perkawinan Anak (2020) yang dirilis Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, sebanyak 1,2 juta perkawinan terjadi pada anak dengan usia kurang dari 18 tahun. Bahkan, 61,3 ribu di antaranya belum genap 15 tahun. Mirisnya, dalam sepuluh tahun, hanya ada 3,5% penurunan kasus perkawinan anak di Indonesia.

Isu praktik perkawinan dini dipengaruhi oleh beberapa factor. Namun, faktor tradisi dan agama, meskipun usang, masih berkontribusi pada rendahnya penurunan angka perkawinan anak dalam 10 tahun terakhir ini. Isu pernikahan dini yang berhubungan dengan motif agama Islam, sayangnya, selalu merujuk pada salah satu Isteri Rasulullah, Aisyah RA. Fakta bahwa Aisyah RA menikah pada usia yang sangat belia, membuat sebagian umat Islam menganggap pernikahan dini cukup dapat diterima hingga hari ini. Belum lama ini, sebuah wedding organizer yang mempromosikan nikah dini viral dengan nama ‘Aisyah’.

Padahal, Aisyah RA sama sekali bukanlah simbol pernikahan dini. Ia jauh lebih dari sekedar figur isteri ‘terlalu muda’. Kontroversi seputar usianya saat menikah, menjadi penghalang kita untuk membahas warisan dan kontribusinya bagi Islam, kehidupan dan pernikahannya dengan Nabi SAW, pengetahuannya, dan kebijaksanaannya yang luar biasa. Lebih parah lagi, mengubahnya seakan-akan cukup malang seperti gadis dalam praktik nikah dini di dunia modern.

Penting untuk diketahui bahwa, ulama memiliki berbagai pendapat tentang usia Aisyah. Ada yang mengatakan umurnya 18 tahun saat menikah, berdasarkan perhitungan selisih umurnya dengan Asma’, kaka perempuannya. Pendapat yang lain mengatakan jika diabandingkan dengan usia Fatimah RA, puteri Rasulullah, maka usianya sekitar 12 tahun. Ada juga yang berpendapat usinyanya 13 tahun saat menikah, dengan menghitungnya dari partisipasi Aisyah dalam perang Uhud.

Hanya saja, erbagai perhitungan ini memang tidak cukup kuat jika dibandingan dengan keterangan yang diperoleh langsung dari pengakuan Aisyah RA. Dalam sebuah hadis, Aisyah sendiri menceritakan bahwa dia berumur 6 tahun ketika dia menikah, dan pindah ke rumah Nabi SAW setelah puber, yaitu 9 tahun.

Usia Aisyah RA saat menikah bukanlah hal yang aneh, setidaknya pada saat itu dan dalam budayanya sendiri. Ketika Aisyah RA menikah dengan Nabi SAW, sebenarnya dia sudah cukup dewasa untuk menikah secara umum. Usia saat Aisyah RA menikahi Nabi dianggap sesuai secara budaya. Fakta menarik yang penting untuk diketahui bahwa, Sebelum Aisyah RA menikah dengan Rasulullah SAW, ia sudah bertunangan dengan Jubair ibn Muṭ’im. Banyak literartur sejarah mencatat bahwa, Aisyah RA telah dilamar untuk putra Mu’tim, sehingga ayahnya harus bernegosiasi dengan Mutim untuk memutuskan pertunangan tersebut. Tariq Ramadhan menuliskannya dalam In the Footsteps of the Prophet.

Itu artinya, jika Nabi tidak menikah dengan Aisyah pun, ia tetap akan menikah dengan orang lain dalam jangka waktu yang sama. Menikah dan usia belia adalah hal yang normal di Arab abad ke-7 waktu itu. Hal itu sama sekali tidak dipandang tidak etis. Gagasan tentang pubertas, kedewasaan, dan hukum keluarga dipengaruhi oleh budaya yang kondisi sosial yang berbeda-beda, sehingga tidak universal. Sebelum abad ke-20, pernikahan sebelum atau di awal masa puber adalah hal yang umum bagi sebagian besar masyarakat di seluruh dunia.

Baca Juga  Daging Kurban Diawetkan Menjadi Makanan Kaleng, Bid’ah?

Maka dari itu, amat tidak pantas apabila umur Aisyah RA saat menikah diungkit seolah ia menginspirasi pernikahan dini. Padahal, jika konteksnya dipahami, Aisyah justru mempraktikkah perkawinan di usia yang lazim pada zamannya, yakni setelah baligh (pubertas). Kegagalan menangkap menangkap konteks Aisyah RA yang sebenarnya, merupakan ironi di dunia modern kini.

Memang pada dasarnya, dalam aturan Islam tidak ada batas minimal usia menikah yang ketat. Satu-satunya yang menjadi acuan batas perkawinan ialah ‘Baligh’, biasanya didefinisikan sebagai pubertas. Baligh merupakan kriteria etika utama dalam pemikiran klasik. Tetapi di dunia modern, permasalahan terkait usia menikah kian kompleks. Pernikahan dini erat dengan pelanggaran hak asasi anak. Perkawinan di usia belia lebih rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan pelecehan. Hal demikian telah menjadi kekhawatiran masyarakat dunia, termasuk Indonesia.

Di sinilah lensa relativisme budaya berlaku. Apa yang khusus untuk Nabi dan zamannya juga secara etis dapat kontekstual, tetapi bisa juga ketinggalan jaman. Pemilahan unsur-unsur tertentu dari Sunnah, menjadi budaya atau universal, penting dipahami untuk menjaga norma-norma etika dalam konteks yang berbeda.

Walhasil, dengan memahami konteks hidupnya, kita dapat memahami bahwa Aisyah RA bukanlah simbol pernikahan dini, justru sebaliknya, ia merupakan gadis yang menikah pada usia yang cukup dewasa pada masanya. Yang paling penting Aisyah ialah kontribusinya yang sangat luas bagi tranmisi agama kita yang indah, Islam. Ia adalah gadis cerdas, berani, dan terhormat. Tingkat keulamaannya, kecintaannya pada Nabi SAW, dan kecintaannya pada agama Islam adalah aspek terpenting dalam hidupnya yang perlu kita teladani.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.