Membedakan Hadis Agama dan Budaya

KolomMembedakan Hadis Agama dan Budaya

Untuk dapat memahami dan mempraktikkan ajaran Islam, khususnya hadis Nabi SAW secara benar dan tepat, kita perlu membedakan antara hadis agama dan budaya. Tak pelak, ketidakmampuan dalam memahami hadis yang sebetulnya berorientasi pada budaya sebagai agama, atau sebaliknya, dapat mengantarkan umat ke dalam kekeliruan dan penyalahgunaan hadis.

Dalam ilmu hadis, apa yang berasal dari Nabi SAW berupa ucapan, perbuatan, penetapan, dan sifat-sifatnya, baik sifat fisik, maupun non-fisik disebut hadis. Ulama hadis tidak membedakan antara hadis dan sunnah. Sementara Ushuliyyun (ulama ahli hukum Islam) berpendapat, hadis mencakup empat aspek tersebut, sedangkan sunnah hanya meliputi tiga, ucapan, perbuatan, dan penetapan Nabi SAW.

Menurut Ushuliyyun, sifat-sifat Rasulullah bukan sunnah, melainkan hadis. Namun, Imam Syafi’i (w. 204 H) memandang, bahwa hadis yang shahih (bagus kualitas sanadnya) disebut sunnah. Bagi Imam Syafi’i, semua sunnah adalah hadis, tetapi tidak semua hadis itu sunnah.

Perbedaan pendapat ini berakar dari pemaknaan hadis dan sunnah yang berbeda pula. Ushuliyyun mengatakan, sunnah sebagai sumber syariat berupa ucapan, perbuatan, dan penetapan Nabi SAW. Sedangkan ahli hadis mengatakan, hadis adalah sumber ajaran Islam yang berasal dari Nabi SAW.

Sifat-sifat Nabi yang menurut Ushuliyyun tidak dijadikan sumber syariat Islam mencakup sifat-sifat fisik Nabi. Misalnya warna kulit beliau yang putih kemerahan, rambut yang tidak terlalu keriting dan tidak terlalu lurus, serta perawakan beliau. Begitu pula halnya sifat non-fisik Nabi, seperti labu air, kikil kambing, dan lain-lain yang disukainya. Ushuliyyun memandang, sifat-sifat seperti itu bukan sumber syariat Islam.

Maka dari itu, mempraktikkan sifat-sifat Nabi tidak diwajibkan. Mereka yang meneladani sifat Nabi SAW, tidak mendapat pahala, juga tidak berdosa. Sementara menurut ahli hadis, semua yang datang dari Nabi adalah sumber ajaran Islam. Untuk itu, mereka beranggapan, menyantap labu air memiliki rahasia atau hikmah tersendiri di baliknya, karena disukai oleh Rasulullah SAW.

Mulai saat ini, mari kita memilah apa yang berasal dari Nabi ke dalam hadis agama dan budaya. Hadis agama merupakan hadis yang berkaitan dengan agama (aqidah, ibadah, dan akhlak) dan menjadi sumber syariat Islam, di mana seorang Muslim wajib untuk mengikutinya. Sedangkan hadis budaya merupakan hadis yang sangat erat kaitannya dengan sosial budaya bangsa Arab.

Hadis-hadis seputar shalat, zakat, puasa, akhlak, dan haji termasuk ke dalam hadis agama. Sedangkan contoh daripada hadis budaya adalah perilaku Nabi dan keluarga beliau ketika buang air besar. Pada masa itu di Madinah, belum ada kamar mandi atau toilet seperti zaman sekarang. Diceritakan dalam sebuah riwayat, beliau pergi tengah malam ke padang pasir yang jauh dari pemukiman untuk buang air besar. Bahkan, buang air besar di dalam rumah pada masa itu, dianggap sebagai sesuatu yang menjijikan.

Secara tekstual, sebagaimana budaya Nabi SAW dan keluarganya buang air besar jauh dari rumah, maka begitu pula seharusnya kita berperilaku. Namun, tampaknya tidak ada satu ulama pun yang mewajibkannya. Adapun jika kita memahami secara kontekstual, motivasi buang air besar di malam hari di tengah padang pasir yang jauh dari pemukiman adalah agar tidak dilihat orang lain. Sama halnya dengan orang-orang yang kini buang air besar di toilet. Motivasinya serupa, agar tidak dilihat orang lain. Dan, secara tidak sadar mereka mempraktikkan perilaku Nabi SAW.

Baca Juga  Rukhsah Mengganti Puasa dengan Fidyah

Contoh lain dari hadis yang berorientasi pada budaya adalah ketika Rasulullah SAW dan para sahabat berada di Makkah, sejumlah riwayat mengisahkan, mereka memakai alas kaki saat shalat berjamaah di Masjid. Hal tersebut dikarenakan masjid-masjid pada masa itu masih berlantai pasir atau kerikil. Bukan berlantai ubin atau marmer seperti sekarang.

Abu Sa’id al-Khudri berkata, “ketika Rasulullah SAW hendak melaksanakan shalat bersama para sahabatnya, beliau melepas sandal dan meletakkan di sebelah kiri. Melihat perilaku Nabi SAW ini, para sahabat kemudian melepas sandal mereka. setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya, mengapa kalian melepas sandal-sandal kalian? Para sahabat menjawab, “kami melihat Engkau melepas sandal, oleh sebab itu kami melepas sandal-sandal kami”. Kemudian Rasulullah SAW berkata, sebelum shalat tadi, saya diberitahu Malaikat Jibril bahwa di atas sandal saya ada najis, maka saya lepas sandal saya” [HR Abu Daud].

Hadis ini menunjukkan, bahwa memakai alas kaki di dalam masjid pada waktu itu adalah hal yang biasa dan lumrah. Pertanyaannya, wajibkah kita mengikuti Nabi SAW di masa kini? Memakai alas kaki di masjid yang sudah berlantai keramik dan bahkan, dilengkapi dengan sajadah yang begitu nyaman. Tampaknya tidak ada ulama yang membenarkannya. Karenanya, memahami hadis secara tekstual terkadang mengantarkan kita kepada kekeliruan.

Begitu pula halnya hadis-hadis tentang budaya dalam pakaian, seperti jubah atau surban. Hadis shahih mengatakan, Rasulullah SAW mengenakan surban. Namun, surban adalah budaya berpakaian, sehingga orang-orang Arab non-Muslim lainnya, seperti Abu Jahal dan Abu Lahab juga memakai surban. Begitu pula jubah dan penutup kepala. Orang Arab menggunakannya untuk menghindarkan diri dari panas terik matahari dan debu-debu padang pasir.

Pertanyaannya, apakah pakaian yang dikenakan Rasulullah wajib kita ikuti? Tentu saja, hadis tentang jenis pakaian yang dikenakan beliau termasuk ke dalam hadis budaya. Untuk itu, dalam berpakaian, Islam menyebutkan kriteria-kriteria, bukan jenis sebab jenis pakaian berbeda di tiap wilayah. Kriteria berpakaian tersebut, menurut KH Ali Mustafa antara lain, tutup aurat, tidak transparan, tidak ketat, dan tidak menyerupai pakaian lawan jenis.

Sayangnya, ketidakmampuan masyarakat dalam memahami hadis yang sebetulnya berorientasi pada budaya sebagai agama, dimanfaatkan sejumlah pihak untuk menguntungkan bisnisnya. Hadis Nabi yang sebetulnya budaya, dijadikan narasi pelaris dagangannya. Padahal, kekeliruan dalam pemahaman seharusnya diluruskan, bukan malah dimanfaatkan dan disalahgunakan.

Dengan demikian, membedakan hadis-hadis mana saja yang berorientasi pada agama dan budaya itu penting. Bukan hanya menjauhkan diri dari korban penyelewengan hadis, tetapi juga meningkatkan kualitas keilmuan dan nalar kritis masyarakat Muslim Tanah Air.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.