Meluruskan Penyimpangan Makna Jihad

KolomMeluruskan Penyimpangan Makna Jihad

Dalam 10 tahun terakhir, terjadi aksi pengeboman di pelbagai daerah di Tanah Air, tak terkecuali di gereja dan ruang publik lainnya. Aksi tersebut kerap dianggap sebagai implementasi dari jihad, menegakkan agama Tuhan. Padahal, jihad yang hanya diidentikan dengan senjata dan aksi terorisme termasuk ke dalam bentuk penyempitan dan penyimpangan makna dari jihad yang sesungguhnya.

Jihad yang secara makna dipahami sebagai berjuang di jalan Allah, justru diartikan oleh kaum jihadis secara tekstual, bukan substansial. Sedangkan memahami jihad secara tekstual akan melahirkan pemahaman yang dangkal dan simbolik. Akibatnya, orang akan mudah percaya bahwa segala sesuatu yang menyimbolkan Islam adalah bentuk jihad. No! Simbol-simbol tersebut nyatanya hanya upaya pelegalan tindakan kekerasan, terorisme, dan ekstremisme, sebab jihad hanya dipahami secara parsial, tidak utuh.

Parahnya, pemaknaan jihad yang menyimpang, yakni melegalkan kekerasan dan peperangan menyebabkan Islam diidentifikasi sebagai agama yang mendukung perang, pro-kekerasan, dan aksi terorisme. Pasalnya, kaum jihadis ekstrem melakukan berbagai macam cara untuk menafsirkan nash agama sesuai selera, keinginan, dan tujuan ‘jihad’ mereka, bukan berdasarkan ilmu agama dan nilai-nilai kemanusiaan, memicu perkembangan stereotype tentang Islam di dunia.

Makna jihad dalam ajaran Islam beragam, tidak hanya satu persepsi saja. Ada yang memaknai jihad sebagai perang, sementara sebagian besar lain memandang jihad mencakup aspek yang lebih luas. Untuk menyikapi perbedaan ini, hanya ada satu cara, yakni bersama-sama kita membaca dan memahami ayat-ayat terkait jihadqital, dan harb. Kemampuan kita memahami ayat-ayat tersebut akan mengantarkan kita kepada pemahaman jihad secara utuh.

Jihad yang hanya diartikan perang sangat bersebrangan dengan apa yang dipahami para ahli, termasuk Khaled Abou el-Fadl, bahwa al-Quran tidak menggunakan istilah jihad semata-mata untuk maksud perang atau pertempuran. Untuk menunjukkan perang atau pertempuran, al-Quran menggunakan kata qital (perang). Al-Quran menyebut jihad sebagai sesuatu yang mutlaq dan tak terbatas. Sedangkan qital tidak demikian, ia dibatasi oleh kondisi tertentu. Perintah jihad, seperti mengacu pada kemanusiaan dan keadilan, mutlak tak bersyarat, sebab pada dasarnya, jihad adalah sesuatu yang baik, kebalikan dari qital.

Bahkan, al-Quran selalu mengaitkan perintah berperang dengan perintah agar tidak melampaui batas, mendahulukan perdamaian, dan siap memaafkan. Oleh sebab itu, kedudukan perang sesungguhnya adalah sebagai pengecualian, bukan prinsip umum dalam memecahkan perselisihan. Di dalam al-Quran diisyaratkan bagaimana perang itu merupakan hal yang tidak disukai manusia, “diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang adalah sesuatu yang kamu benci.” [al-Baqarah (2): 216]

Sejatinya Islam mengajarkan berperang sebagai langkah defensif atau pertahanan. Namun, ofensif hanya dipandang sah ketika dilangsungkan untuk melawan penyerangan, penghianatan terhadap suatu perjanjian, perusakan, dan dalam rangka membela suatu kelompok manusia dari penindasan. Dalam surah al-Anfal [8], ayat 55-57 misalnya:

“sesungguhnya, makhluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah orang-orang kafir (yang menolak kebenaran) karena mereka tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang terikat perjanjian dengan kamu, kemudia setiap kali berjanji, mereka mengkhianati janjinya, sedang mereka tidak peduli (kepada Allah). Maka, jika engkau (Muhammad) mengungguli mereka dalam peperangan, cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka agar mereka mengambil pelajaran.”

Dalam ayat-ayat fitnah: sekelumit keadaban Islam di Tengah Purbasangka, Prof. Quraish Shihab menjelaskan secara ringkas dan mencukupi bahwa setiap ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk berperang atau memerangi orang lain selalu ditempatkan dalam konteks demikian.

Baca Juga  Moderasi Beragama Bagi Generasi Milenial

Hal ini diperkuat dengan ayat-ayat al-Quran yang mengajarkan kita berbuat baik, adil, dan memaafkan, bahkan terhadap orang-orang kafir selama mereka tidak memerangi, mengganggu, atau mengkhianati perjanjian dengan kaum Muslim, salah satunya termaktub dalam surah al-Mumtahanah [60], ayat 8-9 berikut:

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampong halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu, orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu serta membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.”

Begitu pula, Allah menegaskan kewajiban umat Muslim untuk mengutamakan perdamaian di atas peperangan. Allah SWT berfirman, “akan tetapi, jika mereka cenderung pada perdamaian, hendaklah kalian juga condong kepadanya (perdamaian), dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” [al-Anfal (8): 61]

Selain ayat-ayat di atas, masih banyak ayat lain yang menunjuk kepada tidak adanya paksaan dalam beragama, ketentuan-ketentuan dalam berperang, dan sebagainya. Oleh karenanya, mengartikan jihad sebagai penegakkan agama Islam dengan cara kekerasan, terorisme, dan perang merupakan kekeliruan yang berakibat fatal, sebab menegakkan keadilan dan kemaslahatan bersama sejatinya adalah tujuan utama jihad. Karenanya, Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah kepada umat manusia untuk menyempurnakan akhlak, yakni sebagai langkah tepat meraih tujuan tersebut.

Di sisi lain, orang-orang yang melakukan aksi teror di Tanah Air menganggap bahwa yang dilakukannya adalah kewajiban, sebab itu perintah Tuhan. Disebutkan di dalam al-Quran, “dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”

Jika dilihat dari kalimatnya, Allah tak menggunakan kalimat agar (dengan persiapan itu) kamu mengalahkan atau menumpas musuh”, melainkan “menggentarkan (membuat takut) musuh”. Haidar Bagir (2019) menuturkan dalam Islam Tuhan Islam Manusia, tak sulit dipahami bahwa ayat yang memerintahkan pengerahan kekuatan tersebut, sebaliknya dari merupakan perintah menebar teror, justru merupakan upaya pencegahan perang (deterrent). Mengapa demikian? Karena seringkali ketika melihat kelemahan suatu pihak, menjadi motivasi dan semangat musuh untuk menyerang. Sebaliknya, jika musuh kuat, orang akan berpikir panjang dan mempertimbangkan untuk menyerang. Bahkan, lebih memilih perundingan dalam menyelesaikan konflik. Oleh karenanya, dalam peristiwa Fathu Makkah tidak ada pertumpahan darah.

Tak dapat dipungkiri, penyimpangan makna jihad yang tersebar belakangan ini, bersumber dari gerakan fundamentalisme, membelokkan semangat jihad umat Muslim menjadi gerakan kekerasan dan terorisme demi kepentingan kelompok-kelompok mereka. Selain jihad, mereka juga kerap mencanangkan gerakan al-takfir dan al-hijrah, merekrut pengikut dengan iming-iming jaminan kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat. Terakhir, memahami dan memahamkan makna jihad secara utuh adalah kewajiban kita bersama demi tercapai tujuan utama dari ajaran Islam, yakni pemenuhan hak-hak manusia, kemaslahatan, perdamaian dan keadilan di muka bumi. Berjihad dapat dilakukan dengan cara menghapus kekerasan, terorisme, dan peperangan, bukan sebaliknya.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.