Penyalahgunaan Terminologi Islami

KolomPenyalahgunaan Terminologi Islami

Menjamurnya penggunaan istilah Islami oleh kelompok Islamis, semakin meningkat intensitasnya. Dominasi kelompok Islamis secara serempak menggema di ruang-ruang maya dan media sosial. Terminologi Islami—seperti hijab Islami, syariat Islam, khilafah Islam, ulama, takbir, sunah, hijrah, tauhid, bela Islam, jihad, Islam kaffah, halal-haram, Muslim-kafir, sepatu syar’i, kulkas syar’i, dan seterusnya—menjadi komoditas tersendiri yang bersifat keduniawian dan politis.

Terminologi yang tampak Islami, dengan mudah menginfiltrasi banyak Muslim awam—terutama Muslim urban yang menjadi target kaum Islamis—pada pemahaman-pemahaman yang senantiasa menyederhanakan segala sesuatu. Saya menyebut kaum Islamis sebagai dalang daripada penyalahgunaan beberapa terminologi Islam demi meraih keuntungan, baik dalam bentuk keuntungan materi maupun bentuk propaganda politik.

Akibatnya, banyak sebagian dari kita terjebak pada pemahaman tekstual tanpa memerhatikan kontekstual. Jadi, harus bisa membedakan antara politik Islam dan Islam politik yang saya sebut sebagai kelompok Islamis. Jika politik Islam bersifat inklusif, Islam politik hanya sebagai alat legitimasi destruktif

Kasuistik terkini sebagai contoh, istilah hijab atau jilbab Islami yang sedang menghangat akhir-akhir ini, atau malah menjadi diskursus selama ini yang terus menimbulkan perdebatan yang tidak sehat karena bersifat perbedaan soal khilafiyah. Misalnya ada sebuah pertanyaan, apakah hijab atau jilbab itu merupakan hal yang diwajibkan dalam Islam? Dari pertanyaannya saja sudah keliru. Mengapa? Karena yang merupakan kewajiban dalam Islam itu bukan soal pemakaian jilbab. Yang diwajibkan dalam Islam adalah menutup aurat, mau ditutup pakai kain jilbab, helm full face, atau dengan kertas koran dan kertas biasa (Nadirsyah Hosen, 2020: 5).

Mengenai batasan aurat itu sampai mana, rambut, leher atau lainnya, para ulama berbeda pendapat. Begitupun dengan aurat fisik laki-laki. Kadang-kadang klaim kebenaran (truth-claim) tunggal satu pendapat dan menolak kebenaran lainnya, menjadikan seseorang itu kaku, keras, radikal, dan ekstrem. Padahal, semua manusia—dengan segala kekurangan dan keterbatasan akalnya—tidak akan pernah bisa menembus kebenaran sempurna mengenai agama.

Jadi jangan pernah bermimpi bahwa semua manusia akan menerima satu pemahaman yang sama tentang kebenaran agama. Hal itu tentu sangat bertentangan dengan sunnatullah. Apalagi kita berada di tengah kehidupan pluralistik yang beragam perbedaan, baik suku, budaya, adat, tradisi, dan keyakinan. Tidak mengherankan jika kearifan-kearifan lokalitas yang luhur, berakar dari norma dan nilai-etik ajaran agama.

Syariat Islam dan khilafah Islam yang selalu digaungkan dalam bentuk propaganda politik, tidak luput pula dari perhatian kita. Ornamen Islami tersebut tampak cantik jika saja dapat diterapkan di negara kita. Senyatanya, syariat Islam tidak perlu di simbolisasi dalam bentuk teks Undang-undang atau aturan dalam hukum positif. Yang terpenting adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, apapun istilah hukumnya. Contoh hukum kita yang mengatur perkawinan, haji, dan seterusnya, secara tidak langsung sudah mengandung syariat Islam, tanpa embel-embel istilah “syariat Islam” di dalamnya.

Demikian juga khilafah Islam yang berarti pemerintahan Islam. Pemerintahan yang menggalang persatuan, membangun kedamaian, dan menegakkan keadilan dan menjunjung tinggi kemanusiaan, tidak langsung adalah khilafah Islam yang berarti membangun pemerintahan Islam. Apapun sistem yang digunakan sebagai instrumen pembangunan nasionalnya. Baik itu demokrasi, sosialisme-komunisme, teokrasi, ataupun berupa republik seperti negara kita Indonesia.

Romantisme kejayaan masa lalu, membuat sebagian kelompok Islamis mempropagandakan agenda politik dengan kemasan sangat menarik Muslim awam terhadap agama untuk menghancurkan sistem yang sudah disepakati, sesuai, dan sudah mapan tentunya. Dengan menggunakan terminologi “khilafah Islam” dan “Islam kaffah” sebagai jargon utama, kaum Islamis sebenarnya hendak merebut kekuasaan yang tidak jelas juga ke depannya bagaimana menghadapi tantangan global saat ini dengan apa yang disebut negara-kebangsaan (nation-state).

Padahal, Nabi Muhammad SAW. sebagai teladan seluruh umat Islam seantero dunia, tidak hendak mendirikan negara Islam pada saat itu. Nabi membangun negara Madinah, negara yang berdasarkan kesepakatan dengan Piagam Madinah sebagai perjanjian untuk membangun konstitusi Madinah. Sebagaimana Indonesia menggunakan terminologi dasar ideologi Pancasila, UUD Tahun 1945, NKRI, dan semboyan menggema, Bhineka Tunggal Ika. Terminologi khilafah menjadi menarik karena seperti akan mengulang kejayaan. Untuk membangun kejayaan tentu harus memahami konteks, baik aspek kesejarahan, maupun aspek kekinian.

Istilah ulama juga menjadi kabur, gelap, dan tidak jelas spesifikasinya seperti apa kriteria seseorang itu disebut sebagai ulama. Terkadang seorang politikus ulung yang senantiasa memprovokasi, propaganda politik, dan kampanye kebencian yang pemahaman agamanya, hanya digunakan sebagai kedok kepentingan demagog juga disebut sebagai ulama demi meraih keuntungan dan tahta. Jika pelaku siaran kebencian atau penghasutan itu ditangkap, maka keluarlah istilah “kriminalisasi ulama”, sehingga menjadi kabur penyematan istilah antara ulama dengan penjahat.

Baca Juga  Belajar Memahami Kebhinekaan Ala Gus Dur

Semangat bela Islam dari para pemuka agama dengan menghasut dan ujaran kebencian, menimbulkan kegelisahan dan keresahan masyarakat. Intimidasi dan persekusi oleh kelompok-kelompok radikalis agama ini telah banyak memakan korban oleh aksi-aksi destruktif intoleran yang justru jauh dari tujuan misi profetik Nabi, yakni akhlak. Biasanya kelompok minoritas negeri ini, selalu menjadi korban intoleransi. Dan tidak hanya non-Muslim, bahkan perbedaan mazhab dalam Islam dari penganut mayoritas dapat menjadi alasan utama kekerasan itu dilakukan.

Dengan menggunakan terminologi jihad, mereka menindas yang tidak sepaham dengan dirinya. Yang benar hanya dirinya, dan lainnya semua sesat, kafir, dan musyrik yang harus dibasmi dan dimusnahkan. Ironis memang, ketika istilah itu digunakan untuk menyerang yang dianggapnya lawan. Jihad memang suatu perjuangan umat Islam, tapi jihad yang sebenarnya adalah melawan hawa nafsu yang ada dalam diri sendiri. Jihad melawan korupsi dan ketidakadilan penguasa yang juga harus menggunakan cara-cara yang baik.

Amar ma’ruf nahi munkar sedemikian diselewengkan oleh kelompok-kelompok Islamis dengan cara yang tidak ma’ruf (tidak baik). Teriak takbir—Allahu Akbar—tapi sembari merendahkan dan mengecilkan Allah SWT. dengan memukul, mempersekusi, menindas, bahkan sampai membunuh manusia sebagai makhluk sempurna ciptaan-Nya.

Menegakkan tauhid—ada juga dalam bentuk bendera hitam—menjadi terminologi dan alasan kaum Islamis ekstremis yang justru melucuti citra Islam itu sendiri sebagai agama universal (rahmatan lil alamin) dengan terus melakukan kekerasan. Kadang-kadang istilah rahmatan lil alamin juga tidak luput digunakan untuk melegitimasi kampanye khilafah utopis sebagai solusi yang tampak menarik oleh kaum Islamis, namun dibalik itu semua terdapat agenda politis.

Tidak hanya itu, ada juga beberapa kelompok Islamis yang menggunakan terminologi Islami demi menarik keuntungan-keuntungan ekonomi. Istilah hijrah dalam konteks harfiah sejarah sebagai perpindahan Nabi SAW. beserta kelompok Muslimin dalam teritorial menuju negeri yang membangun peradaban. Sementara jika dikontekstualisasikan secara pemaknaan, berarti dari yang berperilaku dan berakhlak buruk berubah secara radikal menjadi baik.

Tapi kemudian terminologi itu bergeser dari yang sebelumnya perilaku atau akhlak yang baik, menjadi simbol yang sifatnya ornamen, pakaian, dan fashionable. Maka tidak jarang terminologi “syar’i Islami” digunakan oleh kaum Islamis yang mencari keuntungan ekonomi—seperti sepatu syar’i, kulkas halal, jilbab syar’i, dan seterusnya—menjadi daya tarik tersendiri oleh Muslim awam yang kurang dalam pemahaman Islam secara inklusif dan substantif.

Simbolisasi Islam yang hanya di tataran pakaian, akhirnya menjamur di zaman now, tanpa mau memahami Islam melalui akhlak keimanan dan penyucian hati. Terminologi bahasa juga sedemikian berkecambah yang tampaknya tidak bangga dengan penggunaan bahasa lokal. Sebagai contoh, kata Ikhwan, akhwat, akhi, ukhti, dan barakallah fi umrik, syafakillah, dan lainnya, menjadi sedemikian populer mengejar narsisme bahasa “ngarab”, dan juga biar tampak saleh menunjukkan identitas sebagai Muslimin-Muslimah sejati yang taat karena sudah berhijrah.

Namun demikian, tidak begitu menjadi problematika serius dalam hal itu. Yang fatal adalah orang yang menganggap dirinya telah berhijrah dengan pelbagai terminologinya, seringkali menghakimi kelompok lain karena infiltrasi kaum Islamis atau kaum puritanis yang hanya memahami Islam hanya pada kulitnya saja, tidak isinya. Biasanya orang-orang ini adalah selebritis yang baru bertobat, mualaf yang langsung terjun berdakwah dengan menjelek-jelekan keyakinan yang dianut sebelumnya, dan da’i atau mubaligh yang baru naik daun.

Celakanya, mereka kerap menyalahkan para intelektual, ulama, cendekiawan, profesor dan pakar yang puluhan tahun mendalami ilmu agama. Bahkan menyesatkan orang-orang yang sepanjang hidupnya bergelut dengan ilmu pengetahuan agama. Biasanya mengejar proyek strategis dengan infiltrasi ideologis politik sektarian.

Menjadi tugas kita sebagai umat Islam untuk memberikan pencerahan terkait terminologi Islam di atas agar agama dipahami dengan semestinya, digunakan sebagai alat memperbaiki diri, bukan memperbaiki orang lain. Sebagai inspirasi, bukan aspirasi lagi.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.