Bangga Budaya Islam Nusantara

KolomBangga Budaya Islam Nusantara

Belum lama ini, gempar soal jilbab atau atribut agama di dunia pendidikan terkait Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri. Sebelumnya, terjadi kasus intoleransi di Padang, Sumatera Barat tentang kewajiban menggunakan jilbab di sekolah negeri. Polemik hijab atau jilbab menjadi diskursus menarik dalam kajian fiqih Islam mengenai wajib tidaknya mengenai hijab atau pemakaian jilbab bagi perempuan. Demikian juga busana lain yang dianggap atribut lain seperti gamis dan jubah, terus menjadi dominan dalam diskursus tersebut di banyak kalangan umat Islam.

Namun para ulama berpendapat—terkait persoalan khilafiyah tentang jilbab atau gamis dan celana, bukanlah hal yang fundamental—tidak pada penggunaanya, yang wajib itu menutup auratnya. Batasannya sampai mana, para ulama berbeda pendapat terkait hal itu. Pada prinsipnya, jilbab, burqa, gamis, sarung, kemeja, koko, peci, dan seterusnya hanyalah pakaian dalam upaya menutupi tubuh, menutup aurat.

Ketiga mazhab—Imam Abu Hanifah (Hanafi), Imam Malik (Maliki), dan Imam Syafi’i (Syafi’iyyah) dalam satu qaul—mengatakan wajah dan telapak tangan bukan termasuk aurat. Yang dimaksud apa yang biasa tampak itu adalah apa yang sudah biasa secara tradisi (adat) untuk kelihatan. Karena kesulitan yang timbul lebih berat daripada menutup kedua telapak tangan, khususnya mereka yang tinggal di pedesaan. Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah, Iraq, tempat perempuan biasa bekerja (Nadirsyah Hosen, 2020: 430-431). Karena itulah busana juga menyesuaikan adat dan budaya wilayah setempat.

Biasanya, hal itu dikaitkan dengan busana Muslim atau Muslimah, lantaran mengalami pergeseran tradisi dan budaya sehingga diklaim sebagai atribut agama. Padahal sejatinya, itu hanyalah sebuah sarana untuk menutupi fisik yang dibuat oleh tangan manusia—terlepas dari beragam bentuknya—yang berarti budaya. Budaya adalah hasil karya manusia, sementara agama adalah ajaran kehidupan yang berasal dari Tuhan melalui risalah Nabi dan kemudian mengalami proses pengkajian yang dalam oleh para ulama.

Dengan demikian, jilbab, gamis, sarung, peci, dan seterusnya yang disebut-sebut sebagai “busana Muslim” merupakan budaya atau buatan (karya) manusia. Semua itu hanya atribut, ornamen yang setiap daerah atau wilayah memiliki ciri khas berbeda. Baju koko misalnya, dari nama saja sudah tampak Chinese atau yang berasal dari etnis Tionghoa. Ukiran dan bentuk baju juga umum dipakai oleh orang-orang tradisional di China. Jadi baju koko ini berasal dari budaya Tionghoa.

Demikian pula jubah atau gamis yang dianggap sebagai busana Muslim. Faktanya, dalam konteks sejarah, baju gamis atau jubah itu berasal dari budaya tradisional dan klasik Tionghoa. Busana jubah atau gamis itu diperkenalkan melalui perdagangan jalur Sutera ke Timur Tengah. Perhatikan film-film klasik yang berasal dari China seperti Wong Fei Hung yang dibintangi oleh Jet Li yang memakai gamis. Karena dunia Arab sendiri telah mengalami asimilasi dari pelbagai budaya, baik itu Yunani, Persia, Romawi, dan lainnya.

Maka tidak aneh jika di Arab, tidak hanya Muslim yang memakai gamis atau serban, komunitas Yahudi, Kristen, Yazidi, dan lainnya juga memakai gamis dan serban kepala. Gamis dan serban juga menjadi tradisi orang-orang Afrika Utara dan Afrika di bagian Barat. Begitupun dengan jilbab. Perempuan Arab bercadar, berniqab, berhijab, berkerudung, dan seterusnya, terlepas apapun agama yang dianutnya. Bahkan di India, kerudung menjadi busana sehari-sehari di setiap aktivitasnya yang tidak hanya berkaitan dengan ritual agama.

Baca Juga  Pancasila, Konsep yang Kukuh, Rapuh dalam Perilaku

Bahkan Yahudi Ortodoks menganggap hijab, niqab, khimar (penutup wajah) sebagai “syariatnya” atau ajaran kitab sucinya, yakni Talmud. Tidak hanya itu, mereka juga menganggap hijab merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Tuhan dan tentu harus ditaati oleh seluruh umat Yahudi. Bagi yang belum berhijab, maka belum berhijrah. Kira-kira seperti itu anggapan para rabbi (ustadznya orang Yahudi). Para rabbi Yahudi Ortodoks juga dalam klaim hijab merupakan budaya, tradisi dan ajaran yang asal-muasalnya dari Yahudi.

Jangan-jangan Muslimah juga mengikuti jejak tradisi Yahudi? Tidak aneh karena memang budaya, tradisi, ajaran, dan hukum Islam juga banyak penyerapan dari dua agama samawi sebelumnya, yakni Yahudi dan Kristen. Peci putih yang dipakai oleh Muslim pun demikian sama, atau setidaknya hampir persis dengan yang dipakai oleh Paus dan rabbi.

Maka bagi para ulama Indonesia menganggap bukan soal yang fundamental agama mengenai busana seperti apa yang dipakai. Yang terpenting adalah dapat menutup aurat dan tentu saja suci bersih dari najis. Karena itulah Nahdlatul Ulama sering menggunakan terminologi Islam Nusantara sebagai bentuk kebanggaan tradisi, budaya, dan kebiasaan yang unik jika dibanding negara-negara lain. Dan bukanlah sebuah sekte atau aliran.

Kadang-kadang, kita banyak menemukan budaya yang dianggap busana Islam itu seperti gamis, atau peci putih, digunakan untuk hal-hal yang destruktif seperti demo, mempersekusi, dan mengintimidasi orang-orang yang tidak sepaham atau liyan, yang hampir pasti bernuansa politis. Akan lebih baik kita menggunakan busana batik, peci hitam (sebagai tanda budaya yang disebut juga songkok nasional) atau penutup kepala tradisional lainnya seperti blangkon, digunakan hal-hal yang positif dan inklusif seperti shalat, maulid Nabi, mengaji, wirid, tahlil, dan seterusnya.

Tidak hanya soal busana, melainkan budaya arsitektur, tradisi, dan dakwah menggunakan pendekatan yang berbeda. Arsitektur dan tradisi dari serapan agama-agama sebelumnya—Budha, Hindu, Kapitayan, dan penganut kepercayaan lokal lain—masih sangat terawat. Masjid-masjid yang masih bernuansa agama lokal seperti masjid Kudus, masjid Demak, dan lainnya. Bedug salah satu warisan ulama Nusantara terdahulu yang tidak akan ditemukan di negara-negara lain. Kentong dan bedug menandakan masuk waktu shalat, sedangkan adzan merupakan panggilan shalat. Di sini banyak yang tidak memahami esensi dan inkulturasi dari serapan budaya terdahulu.

Ketika Islam dan kearifan lokal mulai diakulturasikan, dilanjutkan pengambilalihan lembaga pendidikan—dalam hal ini pesantren—proses Islamisasi bisa berlangsung massal. Inkulturasi bisa dilakukan karena nilai-nilai, tradisi, serta lembaga pendidikan yang dianut masyarakat setempat—sebagai hasil ajaran agama terdahulu—mirip dengan ajaran Islam (Agus Sunyoto (2008), yang dikutip melalui bukunya Aguk Irawan M.N, 2018: 14-15). Oleh sebab itu, mempertahankan kearifan budaya lokal sangat penting dan banyak manfaat yang bisa diambil untuk kemajuan masyarakat.

Tidak Cuma itu, bahkan kita perlu bangga pada budaya lokalitas Islam berdasarkan aspek kesejarahan dan antropologisnya. Karakter Islam Nusantara sebagai manifestasi holistik dalam relasi budaya dan agama dengan keragaman kulturalnya. Karena itu, kita harus mampu mempertahankan sekaligus mempromosikan budaya Nusantara dan Islam melalui proses inkulturasi yang masih bertahan hingga kini dengan apa yang disebut sebagai Islam Nusantara. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.