Cegah Konflik Bernuansa Sektarianisme

KolomCegah Konflik Bernuansa Sektarianisme

Tengoklah ke arah kiblat Mekkah saat bulan haji, betapa orang-orang memanjat doa pagi, siang, sore, malam hingga kembali pagi. Semua menyatu dalam syahdu khusyuk penuh penyerahan diri dan kebulatan hati. Manusia-manusia Ciptaan-Nya dari berbagai benua, Amerika, Eropa, Afrika, China, hingga Nusantara. Melucuti kebesaran pangkat, menanggalkan pakaian mewahnya, mencopot semua jabatan. Heterogenitas pria-wanita dari berbagai ras, etnis, suku, warna kulit, dengan pakaian sama putih semua sibuk menghajatkan pengampunan dosa, ketentraman dunia akhirat, dan ketenangan sekaligus kedamaian, di masa depan kehidupan. Islam di Kota Mekkah dengan Kabah sebagai simbol penyatuan maha indah.

Penyatuan keragaman juga terlihat di kota suci lainnya. Coba pergilah ke Jerusalem, saat senja menjelang, ketika suara azan maghrib yang dilambungkan dari masjid-masjid di kota Jerusalem Lama, bertimpalan dentang lonceng gereja. Keduanya berpadu mengingatkan pemeluk agama Samawi bahwa tiba saat untuk memuliakan Yang Mahakekal. Dan di sana, di depan Tembok Barat, Tembok Ratapan, orang-orang Yahudi berdoa, memuja Yahwe Tuhan Allah-nya.

Suasana damai begitu lekat. Surga begitu dekat. Damai, aman, tentram. Tidak ada permusuhan di antara umat keturunan Ibrahim, Bapak Umat Beriman (Trias Kuncahyono, 2015: 382). Betapa elok dipandang dua kota suci sebagai simbol persatuan dan kesatuan sesama umat manusia, meski Kota Jerusalem berada pada pusaran konflik Timur-Tengah yang tak kunjung usai.

Perbedaan tidak menjadi penghalang bagi manusia berakal. Agama Islam sendiri menolerir adanya perbedaan; perbedaan pendapat, perbedaan tafsir, perbedaan kepentingan, dan perbedaan persepsi. Tidak hanya itu, Agama Islam sendiri mempersilahkan adanya persaingan, bahkan dianjurkan. Fastabiqul khairat, bersaing demi meraih kebajikan. Di wilayah akal pemikiran sendiri, berbagai perbedaan di atas telah melahirkan khazanah Islam melalui tumbuhnya bermacam-macam mazhab dalam Islam.

Dalam Islam, perbedaan ideologi keyakinan atau kita sebut akidah, sudah ada batasannya, yakni la ikraha fiddin, yang berarti tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku) cukup pupuler diajarkan setiap Muslim untuk diimplementasikan dalam bentuk saling menghormati pada setiap pergaulan sosio-kultural.

Di wilayah simbol kebudayaan Muslim yang tentu saja setiap bangsa memiliki kebudayaannya masing-masing, tidak menjadi masalah bagi agama. Misalnya, bentuk pakaian jubah atau sarung, bentuk masjid selagi masih sama mengarah ke kiblat, warna pakaian, berpeci putih, hitam, atau merah, dan seterusnya. Perbedaan tidak begitu menimbulkan potensi konflik.

Namun, jika perbedaan berada pada wilayah perebutan tahta kekuasaan, martabat, gengsi harga diri, kehormatan, asmara, dan seterusnya yang bersifat keduniawian, maka birahi ini bisa menghantarkan manusia pada moralitas yang destruktif. Perbedaan hawa nafsu ini yang telah diwanti-wanti Nabi Muhammad SAW. amat berpotensi memunculkan pelbagai konflik keagamaan yang jauh dari ajaran Islam.

Semestinya umat Islam saat ini banyak belajar dari sejarah politik sektarianisme yang berkepanjangan. Bahkan konflik politik dan sektarianisme di Arab, hingga kini masih belum usai. Mengapa umat Islam lebih senang bertikai ketimbang damai? Mengapa lebih senang berantem dibanding ketenangan dan ketentraman, atau dalam istilah Jawa adem ayem? Bukankah kita lebih nyaman beribadah di atas tanah kedamaian? Konflik yang terjadi selama ini bukanlah peran agama, akan tetapi penyalahgunaan Agama Islam yang menjadi penyebab utamanya tidak lain adalah hawa nafsu.

Aksi-aksi mengatasnamakan agama melalui legitimasi fatwa beberapa tahun silam misalnya, meski terlihat bernuansa keagamaan, akan tetapi sesungguhnya itu bukan agama. Beberapa aktor utama, memiliki syahwat politik keserakahan yang tak terbendung lagi. Mereka berusaha memainkan emosional masyarakat yang sedang berkobar-kobar dalam beragama.

Konflik mutilasi dan pembakaran rumah Jemaat Ahmadiyah di pelbagai daerah, penindasan kaum Syiah, penghancuran rumah ibadah, bentrokan, tawuran, dan seterusnya termasuk beribadah di Monumen Nasional (Monas), sama sekali bukan wilayah keagamaan. Meski mengatasnamakan Islam, akan tetapi lebih kepada ekspresi syahwat birahi, hawa nafsu politik sektoral. Luapan emosi dan ketakutan akan hilangnya eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, memainkan pula akalnya dengan memanfaatkan agama sebagai alat untuk mendorong syahwat secara telanjang bulat.

Baca Juga  Tarian Cinta Jalaluddin Rumi

Dakwah agama yang dipenuhi kebencian terhadap perbedaan, telah menjadi pelumas terjadinya berbagai konflik sektarian. Padahal al-Quran telah mengingatkan dalam petikan surat al-Maidah: 2, Dan jangan sekali-sekali kebencian (kalian) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram, mendorong kalian berbuat aniaya (kepada mereka). Gamblang dan jelas sekali pesan al-Quran bahwa kebencian mendorong kita bertindak hal-hal yang diluar batasan agama.

Persoalan yang sedemikian rumit di era sekarang ini, tidak terlepas dari peran negara dan semua elemen masyarakat yang paling efektif untuk mencegahnya, atau setidaknya pengurangan resiko konflik. Peran negara misalnya, bisa lebih gencar lagi dalam sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan kerukunan seperti UU Nomor 1/PNPS/1965 yang semula dari Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang penyalahgunaan atau penodaan agama. Dan pada tahun 1969 PP tersebut ditingkatkan statusnya menjadi UU No. 5 tahun 1969.

Penguatan lembaga-lembaga kerukunan masyarakat lintas agama, yakni Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang sangat diharapkan menjadi organisasi masyarakat populis secara damai demi kepentingan bersama. Selain itu, pemberdayaan komunitas-komunitas yang ada untuk membuat satu program pendidikan kedamaian dan kerukunan, toleransi, pluralisme, gotong royong, moderat atau apapun istilahnya dalam memberi kesadaran multikulturalisme.

Tidak cukup itu, pembangunan masyarakat yang berkeadilan sosial pun menjadi penting di semua komponen. Munculnya konflik sektarianisme yang bernuansa keagamaan yang sempit, intoleran, dan radikal, akibat dari ketidakadilan atau hegemoni kapitalistik dan perilaku koruptif di kalangan pejabat negara, menjadi social unrest (kegelisahan sosial) sehingga konflik akan sangat mudah pecah akibat ketimpangan dan kesenjangan dalam masyarakat.

Untuk itulah, bilamana saat menjelang potensi konflik atau saat konflik terjadi, semua mesti bergerak cepat untuk mendeteksi dan mencegah sedini mungkin agar konflik tidak semakin melebar. Khususnya aparat keamanan unsur dominan untuk segera meminimalisir aksi-aksi kekerasan yang berdampak pada kerusakan, kerugian, kehancuran, dan korban berjatuhan di tengah masyarakat.

Segera lakukan negoisasi perundingan untuk mencari solusi terbaik dalam mencapai kata sepakat. Dalam perundingan, pihak ketiga di antara pihak-pihak yang bertikai cukup dibutuhkan. Dalam hal ini pemuka agama, ormas keagamaan, cendekiawan, tokoh masyarakat, tokoh ekspert (ahli), akademisi, dan bila perlu tokoh nasional dan internasional sebagai mediator demi tercapainya perdamaian.

Usaha penanganan dan pencegahan konflik dan sektarian yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, dan pemerintah khususnya, lebih cenderung bersifat sementara atau jangka pendek. Hanya melalui pendekatan keamanan dan membelenggu kebebasan. Sebagai contoh, acara-acara keagamaan atau pendirian rumah ibadah yang tak mendapat izin pihak aparat, hanya bersifat pencegahan sementara dan telah bersikap diskriminatif kepada satu pihak yang bisa saja suatu hari konflik itu terjadi kembali.

Usaha lain dalam penanganan konflik sektarianisme, dipandang hanya seremonial yang tidak sama sekali melibatkan akar rumput, dan terkesan elitis dari tokoh-tokoh maupun perkumpulan agama. Belum menyentuh masyarakat sehingga masih ada kerikil-kerikil kecil yang suatu saat menumpuk dan kemudian meledak menjadi konflik yang sulit penanganannya.

Multikulturalisme yang plural di sini, perlu adanya kesadaran kolektif demi terwujudnya tujuan luhur kebaikan agar kita semua dapat mengekspresikan rasa hormat terhadap perbedaan. Tanpa ada sentimen-sentimen tertentu. Semua hanyut dalam identitas kulturalnya masing-masing. Karena sebagai manusia berakal dan memiliki dasar hati Nurani bersih, tidak akan terus-menerus melibatkan diri dalam pusaran konflik. Sebab Inilah yang membedakan manusia berakal dengan hewan.

Mari semua menghayati ritual-ritual ibadah dalam ketertiban bersama. Tanpa mengganggu dan menghambat ekspresi orang atau kelompok lainnya, sebagaimana keindahan dan kedamaian dalam satu persatuan di dua kota suci, Mekkah dan Jerusalem.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.