NU Jauh dari Kesan Elitis

KolomNU Jauh dari Kesan Elitis

Apa yang terjadi pada fenomena belakangan seperti viralnya video seorang komedian, Pandji Pragiwaksono saat menyinggung NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat elitis, mengingatkan saya kepada mantan presiden Republik Indonesia ke-4 sekaligus mantan ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), K.H. Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur yang banyak digandrungi berbagai elemen pelangi dari lapisan masyarakat akar rumput.

Gus Dur mengatakan, “Cuma di Indonesia kiai, ulama, dan Profesor yang sudah puluhan tahun menimba ilmu agama dibilang sesat oleh mereka yang baru mualaf, ustadz yang baru selesai dari sekolah, selebritis yang baru tobat, dan banyak yang mempercayainya.” Fenomena yang kita sedang hidup ini, berada pada era post-truth atau post-fact, di mana banyak masyarakat kita terjebak pada perlawanan masyarakat terhadap—yang dalam istilah Tom Nichols dalam buku The Death of Expertise (2017)—kepakaran atau intelektual dan juga sikap skeptisisme serta kepercayaan masyarakat yang memudar terhadap para ahli.

Pada era eskapisme—sebuah narasi dan kecenderungan seseorang untuk menghindar dari kenyataan atau situasi rekaan—dan penolakan itu, tengah menggeliat di tengah-tengah kita sekarang ini. Bangkitnya digital teknologi, media sosial, dan internet, justru semakin banyak berselancarnya berbagai kultus ketidaktahuan mereka melalui persoalan semacam pernyataan Pandji yang memancing respon banyak kalangan nahdliyin—sebutan orang-orang Nahdlatul Ulama (NU)—dan juga kader Muhammadiyah.

Dengan klarifikasi Tamrin Tomagola, seorang sosiolog yang dikutip oleh Pandji dalam narasinya yang mengesankan NU sebagai organisasi elitis, sangatlah tidak etis dalam sebuah diksi yang juga tidak sesuai dengan konteks. Pernyataan Pandji dianggap berbahaya dan memiliki tujuan membenturkan karena bersifat menyeluruh.

Saya pikir Pandji tidak memahami NU secara utuh dengan narasi seperti itu. Baik dalam konteks sejarah, kiprah organisasi di tengah masyarakat—bukan hanya di tengah masyarakat urban—dan juga kontribusi terhadap negara dan bangsa Indonesia. Para kiai NU sebagai “elit” NU merupakan bagian dari negara-bangsa (nation-state), sangat melengkapi berdasarkan pengalaman kesejarahan bersamaan dengan tumbuh kembangnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pernyataan Pandji tentu kurang tepat dan justru kurang memahami NU. Kita juga tidak bisa mereduksi NU dengan PBNU. Karena memang PBNU fungsinya lebih bergerak pada tataran elite pengusaha ataupun pejabat politik—dalam rangka yang telah disebutkan di atas—untuk membantu masyarakat kecil, khususnya umat Islam, dan dalam sekup lebih kecil lagi di kalangan nahdliyin.

Kontribusi NU dalam memikirkan pelbagai problematika kemanusiaan—baik ekonomi, politik, maupun sosial—disalurkan melalui Lajnah Baht al-Masa’il sebagai forum untuk mengkaji dialektika proses dalam konteks perkembangan zaman. Di sisi lain, peran kiai NU di perkampungan, di masjid dan mushala-mushala kecil, di pesantren-pesantren sebagai institusi keilmuan agama Islam secara komprehensif. Bahkan sejarah mencatat bahwa pesantren sebagai basis atau markas gerilyawan perlawanan untuk mengusir penjajah dari Ibu Pertiwi.

Keikhlasan kiai NU, terbukti dengan mengajar ngaji di mushala-mushala kecil tanpa dibayar, dan juga banyaknya pesantren yang bahkan banyak santri yang diberikan pendidikan formal secara gratis melalui beasiswa oleh para kiai NU. Pesantren inilah yang kemudian menjadi jantung sesungguhnya NU dalam peran besarnya terhadap masyarakat. Di negeri ini sendiri, pesantren telah menjadi pusat pendidikan dan pembelajaran dakwah Islam. Lembaga pendidikan tertua, yang telah banyak memberikan peranan yang sangat penting, dan dedikasi keilmuan yang sangat mapan sebelum kolonialis memperkenalkan pendidikan modern.

Baca Juga  Kiai Said dan Islam Kebangsaan

Meski saat ini banyak lembaga pendidikan modern dan sekuler dibangun, pesantren sebagai model pendidikan alternatif masih tetap eksis dalam mendedikasikan ilmu pengetahuan dengan bidang dan keahlian tertentu. Kitab klasik maupun kontemporer, terus dikaji dalam rangka mengarahkan para santri sesuai keahliannya—mufasir, mufaqih, muhaddits, pendakwah, mubaligh, kiai, dan seterusnya—sampai dianggap kompeten dan berguna ketika hidup di lingkungan masyarakat sepulangnya (boyong) dari pesantren.

Terlepas dari berbagai perubahan-perubahan sosial-kultural, politik, dan keagamaan seiring berjalannya waktu, pesantren sebagai institusi pendidikan moral etik dalam masyarakat, eksistensi pesantren tetap berlangsung hingga abad digital sekarang ini. Harapan masyarakat untuk mengirim anak-anaknya ke para kiai dan habaib NU—tidak hanya sangat terjangkau dalam segi ekonomi, juga memberikan norma dan nilai keagamaan yang kokoh dalam masyarakat—tidak berkurang sama sekali. Bahkan justru meningkat dengan gelombang santri yang terus menerus belajar kepada para kiai NU. Hal itu dikarenakan situasi global dan kontaminasi budaya yang semakin semrawut dewasa ini.

Kiai dan pesantren NU masih dianggap suci-murni untuk menyelamatkan generasi muda sekaligus bengkel moralitas sosial harapan bangsa ke depan. Menurut Nurcholis Madjid (1997:3), pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang memengaruhi dan menentukan proses pendidikan nasional. Dalam perspektif historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (Ali Maschan Moesa, 2007: 94).

Dengan demikian menjadi jelas, NU telah memainkan peran penting dalam rangka merespons tantangan dan tuntutan hidup sepanjang sejarah nasional maupun internasional. Pesantren juga berkontribusi dalam dakwah Islam yang berpandangan moderat atau wasathiyyah sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Apalagi Indonesia terus menghadapi rintangan dari kalangan Islamis fundamentalis dan puritanis radikal yang mengusik kemapanan tradisi keberagaman umat, yang selama ini berjalan alami dari generasi ke generasi hingga sekarang ini.

Rumah kiai NU sangat terbuka dengan siapapun dan dari golongan manapun. Terbuka lebar bagi mereka yang mau datang silaturahmi dengan suguhan makanan khas dari para kiai sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu. Tidak membeda-bedakan mana petani, tukang becak, tukang sayur, artis, karyawan, pejabat politik, ataupun pengusaha.

Para kiai NU telah memberikan pendidikan teramat penting terhadap paradigma pemahaman agama yang inklusif dan substantif serta toleran kepada masyarakat. Dengan begitu maka dedikasi para kiai NU, akan mampu menjawab tantangan perubahan sosial yang berkeadaban. Segala persoalan masyarakat misalnya dalam hal kesulitan ekonomi, keretakan hubungan dengan seseorang, jodoh, anak, arahan politik, sampai tetek-bengek permasalahan yang kompleks dan sepele, akan segera mendapat jawaban optimistis positif yang segera dipatuhi dan dilaksanakan jika datang kepada kiai NU.

Para kiai, secara eksplisit tentu sudah dapat dipastikan memberi penyelesaian dan pesan meneduhkan, menentramkan, dan bijaksana sekaligus mendoakan yang terbaik bagi masyarakat yang datang membutuhkan sesuatu. Kiai NU, sudah sangat sesuai dengan ajaran Nabi, yakni menerima tamu dengan senang hati, dengan suguhan makanan apa adanya yang penuh keberkahan. Saya sendiri masih bingung dengan pernyataan Pandji, karena saya sama sekali tidak menemukan jarak dan kesan elitis terhadap para kiai NU. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.