Melawan Populisme Islam

KolomMelawan Populisme Islam

Pada tahun 2002, di negara bagian Afrika, berdiri sebuah organisasi Jamaat Ahli al-Sunnah lid-da’wah wal-jihad, atau lebih dikenal dengan Boko Haram. Organisasi militan ekstrem ini bermarkas di Nigeria, Kamerun Utara, dan Niger. Boko Haram, oleh PBB dikelompokkan sebagai organisasi teroris. Organisasi radikal ini dibentuk oleh Mohammed Yusuf yang diilhami dari pemikiran Alhaji Muhammad Maitatsine—penerapan syariat Islam—sehingga menjadi organisasi radikal ekstrem.

Padahal Nigeria adalah negara kaya minyak. Negara jajahan Inggris yang memperoleh kemerdekaannya pada Oktober 1960 ini, sebagian rakyatnya masih di bawah garis kemiskinan, akibat tingkat korupsi yang cukup tinggi. Karena sebagian masyarakatnya miskin, maka akan semakin mudah dihasut oleh kelompok-kelompok radikal ekstrem bertopeng agama seperti Boko Haram. Akhirnya, malapetaka pun tak terhindarkan.

Semula, selama tujuh tahun setelah berdiri, belum terlihat tanda-tanda akan menjadi organisasi ekstrem yang kejam. Bahkan sebagian rakyat menganggap organisasi ini adalah baik, karena bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Tapi kemudian, tanda-tanda radikalisme mulai tercium juga. Bako Haram menjadi organisasi buas yang tidak memiliki hati nurani.

Menurut UNICEF, pada bulan Mei 2013, sebanyak 2.3 juta orang harus mengungsi, berpisah dengan keluarga, dan terpecah-belah. Hanya dalam kurun waktu satu tahun, jumlah pengungsi anak-anak yang tercerai-berai naik 60% dari 800.000 menjadi 1,3 juta orang. Kebanyakan, korban penculikan diperistri atau dijual sebagai budak seks. Penculikan juga terjadi pada tahun 2014 atas murid-murid sekolah yang berusia kisaran 9-10 tahun.

Anak-anak yang berjenis kelamin laki-laki, dicuci otaknya, kemudian diperintahkan untuk menyerang keluarga mereka sendiri yang dianggap bidah, sesat, musyrik, kafir, dan tuduhan-tuduhan negatif lainnya. Selain itu, mereka juga harus menjaga loyalitasnya terhadap Boko Haram. Perempuan yang dilepaskan oleh Boko Haram, mengalami penderitaan yang lebih besar dari masyarakat di lingkungan sekitarnya, sebab sudah dianggap sebagai wanita jalang, kotor, dan lacur. Dalam diri si perempuan sudah mengalir darah kotor yang disebut sebagai istri Boko Haram. Mereka dianggap semacam penyakit epidemi.

Boko Haram tidak segan-segan membunuh siapapun, baik Muslim—yang dianggap bidah, sesat, kafir, musyrik—maupun non-Muslim. Orang-orang yang telah bergabung dengan kelompok ekstrem Boko Haram yang ganas itu, jika dilepaskan, tidak lagi diterima oleh masyarakat. Bahkan saking ketakutannya, masyarakat menganggap mereka ular yang dapat meracuni siapapun. Pengaruh jahatnya dapat menebarkan bencana.

Tentu hal itu tidak terlepas dari pengaruh Islam transnasional. Kurt Nimmo dalam Global Research, tertanggal 10 Mei 2014, menulis, “Di samping bantuan dari Saudi, Boko Haram telah pula menerima bantuan tak langsung dari NATO (North Atlantic Treaty Organization) via tentara sewaan Al-Qaeda Libia (Ahmad Syafii Maarif: 2018, 84). Boko Haram menjadi organisasi penebar bencana; penebar tragedi dan malapetaka.

Boko Haram telah merubah Islam yang penuh persaudaraan, kedamaian, dan kemanusiaan, menjadi menabur ketakutan, kebencian, penghasutan, dan pembunuhan dengan keyakinan agama yang puritan. Doktrin dogmatis yang ditanam dalam-dalam kepada pengikutnya, adalah jihad untuk memberantas siapa saja yang berbeda pemahaman, baik mazhab, keyakinan, maupun politik. Semua dianggap halal darahnya. Hatinya dipenuhi dendam dan rasa benci.

Baca Juga  Melawan Ketidakadilan seperti Gandhi

Jubah agama seringkali digunakan semata-mata untuk memudarkan agenda kejahatan demi kenikmatan sementara, demi kekuasaan duniawi yang disembunyikan. Dengan teologis simbolis ketuhanan, mereka begitu efektif melakukan kekerasan, penjarahan, pembunuhan, penculikan, dan pemerkosaan.

Mereka tidak sadar telah dimanfaatkan oleh akrobatik politik elite global akibat ketidaktahuan dan minimnya pendidikan dasar agama dan keberagaman sebagai realitas kehidupan. Dengan kata lain, kekacauan umat Islam yang terjadi di suatu negeri, maka akan semakin mudah bangsa asing—terutama Barat—mengintervensi dalam rangka melawan penguasa-penguasa politik yang tidak dapat dikendalikannya. Inilah bahaya populisme Islam yang juga kita saksikan tengah menggeliat belakangan ini di Indonesia.

Agama hanya dijadikan sebagai norma konflik untuk membenturkan, baik itu aliran, keyakinan, maupun pandangan politik. Perbedaan itu harus dilawan, dimusuhi, dan bahkan diperangi. Identitas tunggal ditonjolkan; hanya mereka sendiri yang benar; liyan itu harus dibasmi. Karena itu, demi tujuan mereka, mereka berani menjual ayat-ayat Tuhan yang suci dan mengorbankan agama mereka dengan tidak menghormati harkat kemanusiaan sama sekali.

Dengan mantel agama, beberapa pihak rela membawa-bawa Tuhan dalam hiruk pikuk panggung politik praktis, menghakimi orang lain, mengintimidasi, dan menghina dari mulut-mulut orang yang katanya beriman. Tidak ada agama manapun yang mengajarkan demikian. Maka sudah betul apa yang dibaca oleh Menteri Agama, Gus Yaqut, bahwa populisme Islam merupakan bentuk perlawanan terhadap siapapun yang dianggap berbeda dengan pemahaman atau keyakinan. Kebenaran mutlak hanya ada pada dirinya, dan menolak segala realitas kemajemukan. Untuk itu, kita harus menghadapinya bersama-sama kita lawan.

Meski demikian, pemerintah dan masyarakat perlu bekerjasama melawan populisme Islam dengan tidak menggunakan cara-cara kekerasan juga. Kita dapat melawan mereka melalui banyak cara. Pertama dan yang paling utama, pemerintah harus berusaha sekuat tenaga, dengan daya dan upaya, mengurangi dan menindak perilaku koruptif pejabat negara. Kedua, penegakkan supremasi hukum dan keadilan. Ketiga, aparat penegak hukum tidak ragu-ragu untuk menindak siapapun dan dari kelompok agama manapun yang melakukan penghasutan, kebencian, penghinaan, dan penolakan terhadap nilai-nilai kenegaraan seperti Pancasila dan UUD 1945.

Dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dalam kebhinekaan, maka tidak ada toleransi bagi mereka-mereka yang tidak mengakui Indonesia, dan tidak memiliki rasa cinta Tanah Air. Harus kita lawan dengan cara beradab dan sistematis. Karena kita negara hukum, maka semua sama, semua setara.

Beberapa poin usulan dalam melawan populisme Islam, besar harapan kita semua dapat melaksanakannya, terutama pemerintah. Kita semua harus berusaha sekuat tenaga mencegah pemikiran dan aksi radikalisme serta intoleransi sebelum perilaku kebiadaban Boko Haram di Afrika, juga terjadi di negeri kita tercinta.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.