Khilafah Bukan Solusi Pemberantasan Korupsi

KolomKhilafah Bukan Solusi Pemberantasan Korupsi

Di tengah maraknya tagar (hashtag) korupsi di Twitter lantaran Edhy Prabowo, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) resmi menjadi tersangka korupsi, sejumlah narasi pendukung khilafah kian naik ke permukaan. Pasalnya, demokrasi ditengarai menyuburkan praktik korupsi, sementara khilafah adalah solusi tepat untuk memberantasnya.

Jika yang dianggap sistem khilafah itu adalah seperti yang terjadi pada masa khulafa al-rasyidin, masa Bani Abasiyyah, masa Bani Umayah, dan seterusnya, maka perlu dingat, di balik kejayaan Islam pada masa itu, sejumlah peristiwa kelam terjadi akibat perebutan kedudukan khalifah, termasuk korupsi. Entah para pengusung kekhilafahan ini sengaja menyembunyikan kebenaran atau tidak membaca sejarah khilafah secara keseluruhan, sehingga hanya ikut-ikutan meneriakkan khilafah tanpa mempelajari sejarah.

Salah satunya terjadi pada masa Utsman ibn ‘Affan memimpin pemerintahan. Saat itu, firman Tuhan dibukukan dan Utsman menyaksikan penaklukan Iran, Azerbaizan, dan sebagian Armenia. Utsman merupakan sosok manusia saleh dan bijak, tetapi terlalu lemah untuk menolak tuntutan kerabat dekatnya yang serakah.

Abdullah, saudara angkatnya, mantan juru tulis Nabi SAW yang pernah berusaha menyelewengkan firman Tuhan, ditunjuk sebagai gubernur Mesir. Walid Ibn Uqbah, saudara tirinya yang pernah menampar wajah Muhammad SAW dan mendapat kecamannya, diangkat sebagai gubernur Kufah. Sejumlah jabatan penting diisi oleh suku Umayyah, keluarga khalifah, sebagaimana tertulis dalam History of The Arabs karya Philip K Hitti.

Di sisi lain, Khalifah sendiri menerima hadiah dari para gubernur dan para pendukungnya, termasuk hadiah berupa pembantu cantik dari gubernur Basrah. Tuduhan nepotisme segera tersebar dan mengakibatkan terbunuhnya Khalifah di tangan seorang Muslim pada 17 Juni 656 Masehi.

Oleh karena itu, sistem khilafah atau yang juga dikenal dengan sebutan Negara Islam, bukan sebuah solusi tepat untuk memberantas korupsi. Sebaliknya, sistem itu justru mendorong dan menyuburkan tindakan-tindakan penyimpangan dari para pemimpin dan petingginya, karena tidak ada sistem demokrasi, di mana setiap orang berhak menyuarakan pendapatnya, termasuk dalam memilih pemimpin.

Di samping resiko korupsi yang lebih besar, sistem khilafah juga menimbulkan sejumlah kekejaman yang jauh dari kemaslahatan dan kemanusiaan. Pertama, pertumpahan darah. Tragedi ini terjadi ketika Bani Abbasiyah hendak merebut kedudukan Bani Umayyah sebagai khalifah. Dalam buku Islam Yes, Khilafah No! Gus Nadir menceritakan bagaimana pasukan Bani Abbas menaklukkan kota Damaskus, ibu kota Bani Umayyah, dengan cara menghunuskan pedangnya kepada semua penduduk. Akibatnya, sekitar lima puluh ribu orang jiwa terbunuh demi kekuasaan.

Maka dari itu, transisi kekuasaan dari Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyah terjadi melalui pertumpahan darah. Ironisnya, Abul Abbas yang dibaiat sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah adalah pemimpin yang keras dan dikenal sebagai sang penumpah darah (al-Saffah). Gelar tersebut bersumber dari pidatonya di depan penduduk Kufah, ia mengumumkan bahwa siapa saja yang berani melawan kekuasaan Abasiyah, akan dibunuh dengan kejam.

Baca Juga  Derita Wanita Afghanistan di Tangan Taliban

Kedua, pembantaian masal. Salah satu kekejaman Abul Abas adalah mengundang makan keluarga Bani Umayyah yang tersisa. Abul Abbas membunuh Sulaiman ibn Hisyam ibn Abdul Malik dengan tangannya sendiri. Hal ini juga dilakukannya kepada 90 orang Bani Umayyah lain, dijamu makan, kemudian dibantai habis. Bahkan, tubuh mereka yang masih menggelepar ditutup dengan permadani. Begitu Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh meceritakan kekejian ini.

Kepemimpinan Abul Abbas kemudian digantikan oleh saudaranya, Abu Ja’far dan keponakannya, Isa ibn Musa. Ini berarti, kedudukan khalifah terus-menerus berganti, tetapi metode pemilihan khalifah pada masa itu tetap sama, yakni suara rakyat tetap tidak berarti. Berbeda halnya dengan demokrasi yang memberikan hak setara kepada semua warga negara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka, sistem kekhalifahan justru kian menyuburkan bentuk korupsi yang bukan sekadar materi, tetapi juga dalam bentuk pembungkaman publik.

Maka dari itu, fakta sejarah menegaskan bahwa terjadi perbedaan tafsir di kalangan umat Islam terkait sistem politik, sehingga dapat dinyatakan bahwa kekhilafahan bukan sistem pemerintahan yang baku dan bukan sistem yang tepat (ideal) untuk diterapkan di Tanah Air. Bahkan, ayat-ayat dalam al-Quran tidak pernah menetapkan satu sistem pemerintahan sebagai acuan atau keharusan.

Lebih lanjut, baik kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas, diketahui bahwa multikulturalisme tercipta di Tanah Air. Oleh karenanya, demi melestarikan dan menjaga keberagaman, tidak seharusnya kita mengunggulkan salah satu sistem pemerintahan dari agama tertentu yang dapat memicu lahirnya diskriminasi dan intoleransi. Tak terelakkan, dua hal tersebut merupakan sifat manusia yang dikoreksi Nabi SAW pada masa awal Islam.

Dengan demikian, menyuarakan sistem khilafah sama halnya dengan mengupayakan kembali terwujudnya peristiwa kelam penyimpangan dan kekejaman. Khilafah sama sekali bukan solusi pemberantasan korupsi, tetapi ia merupakan sejarah kelam yang seharusnya kita hindari. Jika terjadi korupsi jangan salahkan demokrasi, tetapi koreksi dan perbaiki kembali sistem pendidikan dan ekonomi, sehingga setiap warga negara merasa cukup dan tak lagi berpikir untuk merebut hak orang lain.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.