Khairu Ummah, antara Klaim dan Realitas

KhazanahHikmahKhairu Ummah, antara Klaim dan Realitas

Ada satu ayat al-Quran yang sedang mengalami ambivalensi ketika diperhadapkan dengan situasi saat ini. Hal tersebut karena keberadaannya ditarik ulur antara idealita pesan wahyu dan realitas. Dalam surat Ali Imron [3] ayat 110, Allah menaruh standar unggul dengan menyebut umat Islam sebagai khairu ummah (umat terbaik). Sedangkan, kenyataannya umat Islam tengah mengalami keterpurukan identitas sejak berabad silam. Kita seolah kehabisan energi untuk mengejar kemajuan modernitas dan untuk berkontribusi dalam trajektori peradaban dunia.

Jangankan menahkodai peradaban, untuk layak berpredikat umat unggul saja belum relevan. Sebab harus diakui, kita masih berkubang pada lingkaran setan kepandiran, kemiskinan, serta keterbelakangan. Mulai dari perihal kecil sampai urusan yang besar, apa yang dicandrakan oleh komunitas Muslim global adalah ironi. Seolah amanat firman Tuhan untuk menjadi pengasuh peradaban manusia, di-mansukh (dihapus) oleh realitas masyarakat Islam sendiri.

Sebagai patokan, gagasan khairu ummah dapat kita telusuri dan saksikan wujudnya melalui milieu kehidupan ideal yang dibangun Rasulullah SAW. Persisnya tertuang dalam yurisdiksi resmi Piagam Madinah yang memuat prinsip egalitarian, keadilan, dan keterbukaan. Di masa itu, Nabi berhasil menerjemahkan firman Tuhan menjadi sikap hidup yang adiluhung.

Dengan patron tersebut, beliau hendak meneguhkan, bahwa kaum Muslimin merupakan himpunan manusia yang bersumber dari satu ibu, yaitu Islam. Diproyeksikan menjadi teladan bagi komunitas lain dengan mengacu pada buhul Islam yang dicontohkan Nabi. Ali Syariati mendefinisikan ummah sebagai sekumpulan manusia yang secara kolektif bergerak dinamis menuju satu arah di bawah nilai-nilai luhur Islam.

Namun demikian, ungkapan ilahiyah; khairu ummah, berpotensi besar menyebabkan keterlenaan umat Islam yang akan menghasilkan orientasi kontraproduktif. Dan di sinilah masalahnya. Nash tersebut kerap kali dianggap sebagai penjamin atau rumusan baku. Ibarat mantra yang bisa mewujudkan kualitas umat utama tanpa upaya aktif dan evaluasi diri berkelanjutan sebagai aktor dalam kancah sejarah yang dinamis. Resistansi umat Islam sebagai kaum berpangkat terbelakang, ialah bukti dari kelengahan dan ketidaksadaran akan penyakit apa yang tengah mendiami tubuh masyarakat Muslim hingga tak kunjung kompatibel dengan makna khairu ummah.

Dalam pandangan Kuru (2020) pada Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan, terbelakangnya umat Islam harus diukur dengan seksama melalui analisis sejarah. Dunia Islam pernah mendominasi peradaban dengan kemajuan intelektual, sosioekonomi, serta militer di saat Barat masih diliputi gulita. Wajah Islam amat dinamis, kontributif, terbuka, dan percaya diri kala itu.

Namun, sekitar abad ke-11 dan ke-12, muncul persekutuan antara negara dengan ulama ortodoks Islam yang melahirkan otoritarianisme berbasis agama. Ketika itu, terjadi proses pembalikan bertahap antara dunia Islam dan Eropa Barat dalam hal perbandingan tingkat keilmuan serta sosioekonomi. Kreativitas ilmu dan ekonomi perlahan dihalangi dengan meminggirkan kelas intelektual juga borjuis, karena diperhitungkan akan menghalangi misi politik penguasa. Dan hal inilah yang selanjutnya menyebabkan stagnasi peradaban umat Islam.

Terdapat segolongan pihak yang gegabah dalam mencari solusi atas keterpurukan umat Islam. Mereka mencoba membangun kekuasaan tandingan melalui Islam politik (formalisasi syariat/khilafah) untuk menyaingi hegemoni modernisme. Besarnya rasa frustasi masyarakat Islam karena terus-menerus tertinggal tentu bisa dipahami.

Namun, para Islamis ini sepenuhnya telah gagal dalam mendeteksi jantung penyebab keterpurukan umat Islam. Mereka hanya mengangkat tinggi-tinggi romantisme kejayaan masa silam. Solusi yang mereka gadang-gadang justru akan mengembalikan Islam pada siklus kritis otoritarianisme yang merupakan cikal bakal kemandegan peradaban. Bukannya jalan keluar, kita hanya akan digiring masuk pada lubang keterpurukan yang sama.

Lebih dari itu, khairu ummah adalah masyarakat madani, berperadaban sekaligus berkeadaban. Kerangka idealnya dituturkan oleh al-Quran, bahwasanya Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Jika kredo khairu ummah dihayati dengan arif dan seksama, ia bisa mengantarkan pada prestasi gemilang warga Muslim.

Baca Juga  Lailatul Qadar Malam Pencerahan

Ayat ini memenggalkan setidaknya tiga kriteria khairu ummah. Pertama, teguh beriman kepada Allah. Kedua, melibatkan diri dalam upaya pelestarian kebaikan. Dan ketiga, memiliki sikap antisipatif terhadap perkara yang melebihi batas norma (kemungkaran). Amar makruf nahi mungkar hakikatnya merupakan satu kesatuan teori yang saling mengisi. Karena dengan menganjurkan berlaku baik, di saat yang sama telah menegasi langgam yang buruk.

Perlu diperhatikan, amar makruf nahi mungkar bukan konsep yang berdiri sendiri. Argumen induk yang harus terpancar dari rumusan konsep ini ialah spirit kasih sayang serta maslahat, bukan sikap mendikte dan semena-mena. Tugas kita adalah menjaga agar mandat luhur amar makruf nahi mungkar tidak luruh menjadi makna yang peyoratif, seperti yang ditampilkan kalangan Islamis.

Potongan ayat ini juga mengisyaratkan, bahwa Ahlul Kitab baik Yahudi maupun Nasrani pun berkesempatan mencapai karakteristik utama tersebut selama mereka beriman kepada Allah. Hal ini ditandaskan dalam Mafatih al-Ghaib karya imam al-Razi. Untuk itu, khairu ummah adalah predikat terbuka yang dibutuhkan usaha aktif untuk meraihnya. Bilamana istilah umat terus dipahami dalam makna yang luas, konsep itu semestinya dapat memberikan kesempatan untuk partisipasi serta perubahan.

Umat Islam tidak dibiarkan bermain sendiri agar tak bermalas-malasan dan merasa jumawa karena merasa telah disanjung ayat Tuhan. Allah menghendaki dinamika sehingga tercipta iklim kompetisi yang sehat. Sayangnya, umat Islam sekarang pada galibnya memahami, bahwa bagaimanapun kondisi serta perilaku masyarakat Muslim, tetaplah satu-satunya penyandang gelar umat terbaik dan tak tergantikan. Pada titik tertentu, citra khairu ummah dijadikan sebagai supremasi yang justru mengorbitkan klaim kebenaran sepihak.

Istilah ummah berakar dari kata “amma-yaummu” yang berarti menuju, meneladani. Dari kata yang sama lahir kata “um” yang bermakna ibu, di mana ia adalah mata air kasih sayang, juga “imam” yakni pemimpin. Artinya, mandat filosofis dari predikat khairu ummah ialah citra cinta kasih dan keunggulan.

Oleh sebab itu, interpretasi umat terbaik dititikberatkan pada strategi-strategi pembangunan sumber daya manusia berkualitas serta menghayati spiritualitas iman kepada Allah. Dalam pandangan Kuntowijoyo, ayat tadi menyajikan prinsip sebagai prasayarat terwujudnya khairu ummah. Yaitu humanisasi (bijak dalam memperlakukan manusia), liberasi atau pembebasan manusia dari segala penyimpangan sosial-politik-ekonomi, serta transendensi yakni merefleksikan makna ketuhanan.

Salah sambung jika kita menjawab realitas kemunduran umat Islam dengan nalar instan-skripturalis para Islamis melalui pendirian negara Islam. Umat Islam tidak boleh terjebak dalam euforia masa lalu tanpa paham betul variabel penunjang kemajuan peradaban Islam. Romantisme demikian adalah patogen bagi nalar sehat.

Ada setidaknya tiga langkah utama yang harus diaktualkan untuk membuat khairu ummah bukan sekadar klaim kosong yang dibangga-banggakan. Melainkan predikat yang pantas kita sandang, selaku umat yang benar-benar andal, disegani, dan memiliki sumbangsih nyata bagi peradaban manusia.

Pertama, umat Islam perlu menginternalisasi karakteristik umat madani yang Nabi tuangkan dalam konstitusi Madinah. Kedua, prasyarat yang dinarasikan al-Quran untuk menghayati keimanan kepada Allah harus benar-benar ditunaikan dalam bingkai amar makruf nahi mungkar yang bijak. Dan ketiga, kejayaan Islam di rentang abad ke-8 sampai abad ke-12 adalah preseden yang menyuratkan, bahwa aktivisme intelektual dan kreativitas sosioekonomi harus menjadi prioritas utama. Dan kongsi antara negara dengan ortodoksi ulama sebagai penghasil otoritarianisme dan kejumudan, harus dibuang jauh-jauh.

Peradaban adalah sesuatu yang bergulir. Bukan hal mustahil gelar umat unggul akan lagi dipegang komunitas Muslim. Maka putus asa atau bersikap impulsif atas kondisi Islam saat ini bukanlah pilihan. Gelar khairu ummah merupakan proyek abadi dan mensyaratkan banyak dimensi. Jika mengingininya, umat Islam harus bermental luar pagar serta mau berkompetisi di tengah pergaulan modern global. Spiritualitas dan nilai-nilai cinta dan maslahat Islam harus menjadi ruh. Dengan demikian, realitas kekinian dan idealita ayat Tuhan akan menemukan kesesuaian. Wallau a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.