Krisis Cinta di Ruang Publik

KolomKrisis Cinta di Ruang Publik

Dewasa ini, kita semua sedang mengalami krisis multidimensi yang salah satunya adalah kronisnya penyakit kebencian dan permusuhan. Rasa saling percaya di antara kita semakin menipis. Semua berlomba-lomba meyakinkan pihak lain tentang kebenarannya sendiri. Nilai ketulusan dan kebersihan hati, tidak menjadi hal yang penting lagi selain keserakahan diri dalam mengklaim sebuah kebenaran sejati.

Siapapun yang bersikap kaku, arogan, kasar, dan keras, sudah dipastikan orang lain akan menghindar. Sebaliknya, sikap mengajak, merangkul, membujuk, dan merayu penuh dengan rasa welas asih cinta, kelak akan rindu mendekat. Barangkali hal itu yang menjadi kunci keberhasilan Nabi dalam upaya profetiknya berdakwah di ruang publik. Fakta tersebut ketika peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Makkah). Nabi mengampuni semua orang Makkah yang pernah menyakiti Muslim. Nabi secara suka rela dan terbuka, menerima mereka semua masuk Islam secara masif.

Bentuk cinta kita terhadap Sang Pencipta dalam keseimbangan hidup, dapat kita implementasikan dalam bentuk ketaatan shalat. Menurut Philip K. Hitti dalam buku History Of The Arabs (2018), shalat berjamaah ini pasti memiliki nilai yang tinggi bagi masyarakat padang pasir yang tinggi hati dan individualis. Ibadah shalat mengembangkan dalam diri mereka rasa kesetaraan sosial dan solidaritas. Shalat membangkitkan persaudaraan di antara orang beriman yang secara teoritis menggantikan persaudaraan yang didasari garis keturunan dan kesukuan.

Ritus shalat seharusnya tertransendensi dalam kehidupan, yakni menebarkan cinta dan kasih sayang terhadap sesama makhluk Tuhan, tanpa sekat-sekat mazhab. Karena yang diwajibkan adalah mendirikan shalat. Ada pun metodenya bisa saja berbeda sesuai dengan mazhab yang dianut. Perbedaan warna apapun merupakan keniscayaan dari Tuhan yang tak dapat dihindari, apalagi mengelak. Titik tekannya adalah cinta sehingga membangkitkan kedamaian dan persatuan.

Selain itu, secara epistemologis, zakat yang merupakan salah satu rukun Islam, melambangkan kasih sayang yang identik dengan kesalehan sosial. Pungutan wajib atas harta yang dimiliki—uang, pertanian, peternakan, barang dagangan, dan seterusnya—untuk didistribusikan kepada yang lebih membutuhkan seperti fakir dan miskin sesuai dengan jumlah harta yang dimiliki dan ketentuan hukum syariatnya. Al-Quran sendiri sering menyandingkan kewajiban berzakat dengan kewajiban mendirikan shalat. Demikian ritual ibadah dalam bentuk rasa cinta kasih sayang secara vertikal yang patut ditransformasikan ke dalam perilaku sosial kehidupan umat Islam sehingga keadilan berdiri tegak.

Namun sangat disayangkan, sebagian umatnya tidak begitu mengikuti karakteristik dan ajaran cinta Nabi, atau setidaknya lupa akan ajaran Islam yang sesungguhnya. Dan bahkan sebaliknya, ajaran hawa nafsu yang tak terkendali untuk menghakimi pihak lain yang tidak satu pemahaman, tidak satu pandangan. Dengan demikian, maka cahaya cinta tidak lagi bersinar terang. Ia sendiri telah mematikan saklar dengan angkuh dan pongahnya kebenaran mutlak yang sempit. Akibatnya, kegelapan menyelimuti dunianya sendiri, tanpa melihat cahaya di luar jauh. Kondisi seperti inilah yang sedang menghinggapi sebagian dari kita.

Padahal, jalan menuju Tuhan adalah dengan cinta. Dalam 99 sifat asmaul al-husna, Allah SWT memiliki sifat yang pertama kali disebutkan, yakni ar-rahman dan ar-rahim. Ini menandakan bahwa Islam merupakan jalan cinta yang tentu saja menjadi hal fundamental menuju Tuhan. Tidak hanya itu, ketika umat Islam membaca al-Qur’an, bacaan tertulis paling atas sebelum ayat adalah bismillahirrahmanirrahim. Sifat cinta Allah ini yang paling utama diberikan oleh Allah kepada seluruh makhluk hidup termasuk manusia untuk keberlangsungan hidup.

Jalaludin Rumi tampaknya juga mengikuti jalan cinta menuju Allah, sebagaimana ia mengatakan dalam sajaknya yang eksotis, “Banyak jalan menuju Tuhan, tetapi aku memilih jalan cinta.” Berbeda dengan Hasan Al-Bashri yang memilih khauf atau rasa takut kepada Tuhan, Rumi lebih merasakan cintanya kepada Sang Pencipta Alam Semesta. Rumi meletakkan cinta sebagai hal paling utama bagi seorang Muslim dalam kehidupan sosial yang banyak menginspirasi juga bagi kalangan Non-Muslim.

Baca Juga  Sunan Giri, Wali Nasionalis

Cinta mampu menyatukan dan mempersatukan. Ketika cinta tumbuh di antara pria dan wanita, maka buahnya adalah keturunan. Dengan cinta, orang tua manapun rela berkorban apa saja demi anaknya. Ketika seorang guru mencintai muridnya dengan tulus, ia rela mencurahkan segala perhatian dan keilmuan demi kesuksesan muridnya. Sama halnya cinta Allah terhadap Firaun. Melalui cinta, Allah mengirim Musa untuk mengingatkan Firaun secara lemah lembut. Meski Firaun melawan cinta yang diberikan oleh Allah. Maka yang dialami Firaun adalah kegelapan, azab tiada henti, dan kekalahan yang terus menyelimuti hidupnya.

Untuk itulah kita harus tetap menggapai ridha Allah yang berarti meraih cinta-Nya. Melihat fenomena hari ini, manusia tidak akan cukup meraih cinta Allah hanya dengan cinta biasa. Cinta manusia harus beriringan dengan sikap penghambaan yang selalu menjaga hati dan tingkah laku (akhlak) dalam segala aktivitas kehidupan. Agama Islam yang sekaligus juga agama berbasis cinta, menuntut umatnya untuk jujur dan komitmen kepasrahan dalam bentuk ketundukan niat yang tulus terhadap Allah.

Mengingat manusia memiliki sifat kebinatangan yang kerap muncul akibat syahwat nafsu yang tidak dapat dikontrol. Kemarahan, kekakuan, dan kekerasan, tidak lain adalah naluri binatang yang seringkali keluar dalam diri manusia. Hal itu merupakan kelemahan pada diri manusia, dan kita perlu sadari atas keteledoran yang sering terjadi pada diri sendiri ini. Segeralah bertaubat dan merendahkan diri di hadapan Allah bahwa kita semua makhluk yang tidak berdaya dan tidak ada apa-apanya tanpa cinta yang diberikan Allah, dengan sebutan yang sering kita dengar, yaitu rahmat.

Rahmat Allah ini yang perlu kita semua syiarkan, terutama para ulama, kiai, habaib, ustadz, da’i, mubaligh dan pemuka agama apapun sebutannya di ruang publik. Mayoritas Islam di negeri ini bukan berarti kita berhak berbuat seenaknya menebarkan kebencian dan kekerasan. Pengikut Nabi Muhammad SAW. saat hijrah ke Yatsrib (Sebelum Madinah), merupakan kelompok minoritas yang disambut oleh kelompok-kelompok mayoritas penduduk yang terdiri dari beberapa suku dan klan atau kabilah. Setelah Nabi menjadi pemimpin, Nabi membangun kesetaraan penduduk melalui rasa cinta Tanah Air—Madinah—sehingga bersatu demi melindungi dari serangan kaum kafir.

Sementara para ustadz dan da’i yang apalagi baru memperoleh ketenaran atau kepopuleran, cenderung kaku, keras, dan juga suka menghakimi pihak lain dengan klaim-klaim menurut kebenaran dirinya saja. Apalagi mualaf yang diangkat sebagai ustadz. Mungkin para pengkhotbah agama yang demikian, hanya memahami dan menghafal teks-teks dalil, akan tetapi sesungguhnya ia selalu menyemai benih-benih permusuhan, sektarian, dan pemecahbelahan. Inilah situasi yang tengah kita hadapi saat ini dan tentu saja perlu kita waspadai bersama, bahwa jangan sampai terjebak dalam kubangan kegelapan.

Ruang publik kita yang penuh amarah dan murka adalah corak dalam krisis sosial keberagamaan kita. Wajib bagi kita meluruskannya. Sebab jelas kita semua adalah umat beragama. Orang yang tidak memiliki rasa cinta, orang lain akan menjauh terpisah. Sebaliknya, orang yang menebarkan cinta, pasti akan dicinta seperti halnya kita mencintai orang tua kita. Karena cinta merupakan sumber kehidupan yang nyata.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.