Jangan Mudah Mengafirkan Orang Lain

KolomJangan Mudah Mengafirkan Orang Lain

Ruang toleransi rasanya kian sempit saja. Bagaimana tidak? Sejumlah orang di media sosial kini dengan mudahnya mengafirkan orang lain yang tak jarang memicu perpecahan antarumat beragama. Padahal, menuduh orang atau kelompok lain yang dianggap salah dengan kata ‘sesat’ dan ‘kafir’ tidak menyelesaikan persoalan, tetapi justru membuat intoleransi semakin berkembang.

Awal dari sebuah toleransi antarumat beragama dimulai dari penerimaan terhadap orang yang berbuat kesalahan, karena pada dasarnya setiap manusia bisa benar dan bisa salah. Maka dari itu, jika orang dari madzhab lain, suku lain, ras lain, dan agama lain berbuat kesalahan, sudah sewajarkan kita maafkan dan luruskan, bukan malah menghina dan menjatuhkan.

Praktik takfir ini mengingatkan kita semua pada peristiwa pengingkaran kaum Khawarij (pembelot) terhadap Imam Ali radhiyallahu’anhu. Dalam The History of The Arabs, kelompok penentang yang mematikan itu dikenal dengan slogannya, laa hukma illa lillah (arbitrase hanya milik Allah). Namun, Imam Ali menyanggah mereka dengan perkataan “kalimat haqq, tetapi digunakan untuk kebatilan.”

Tak ayal, slogan Khawarij dicanangkan untuk mengafirkan Imam Ali, bahkan bertujuan untuk mengahalalkan darahnya dan para pengikutnya, sehingga timbul perpecahan antarumat Islam. Maka dari itu sejarah menegaskan, bahwa takfir lahir berkat kebodohan dan dangkalnya ilmu pengetahuan. Lantas sudikah kita melihat sejarah kelam kembali terulang?

Menuduh kafir, sama halnya dengan menuduh zina, harus mendatangkan bukti yang valid dan kuat. Jika si penuduh kafir tidak dapat menghadirkan bukti, maka tuduhan tersebut melahirkan konsekuensi yang harus ditanggung si penuduh. Lebih berbahaya daripada penuduh zina yang dicambuk sebanyak 80 kali, penuduh kafir yang tak dapat mendatangkan bukti dapat menyebabkan rusaknya akidah.  

 Hal tersebut sejalan dengan hadis Nabi Muhammad SAW, apabila seorang laki-laki mengufurkan saudaranya yang Muslim, maka kekufuran itu kembali kepada salah seorangnya [HR Muslim]. Lebih lanjut, Dr Wahbah Zuhaili dalam Akhlak al-Karimah: ‘Alaqatuhu bi ak-Nafsi wa al-Kaun menjelaskan, betapa keras larangan melemparkan tuduhan kafir tanpa dalil, karena jika tuduhan tersebut tidak benar, maka orang yang menuduh itu adalah kafir.

Baca Juga  Berbuat Baik Tidak Melihat Agama

Secara eksplisit pendapat ini didukung dengan ayat al-Quran surah al-Nur ayat 55 yang berbunyi, barang siapa yang kafir setelah datang keterangan-keterangan yang jelas, maka mereka itu lah orang-orang yang fasik. Berdasarkan ayat ini, sang penuduh (tanpa menghadirkan bukti valid dan kuat) adalah kafir, baik dia fasik karena menutup kebenaran maupun benar-benar kafir secara mutlak.

Di sisi lain, praktik takfir tidak sesuai dengan dakwah yang disampaikan Nabi Muhammad SAW, karena beliau mencontohkan akhlak yang baik dan penuh dengan nasihat-nasihat positif, bukan menuduh orang-orang sebagai kafir. Bahkan, yang paling berhak untuk memvonis kafir, hanya Tuhan Sang Pencipta alam [al-An’am (6): 125].

Ketika seseorang tanpa pengetahuan keagamaan yang mapan bersamaan dengan hawa nafsunya memvonis orang lain sebagai kafir, bukan hanya kerukunan umat beragama yang terancam, tetapi dirinya juga akan rentan terperosok ke dalam jurang kesombongan (merasa diri paling benar) dan kemurtadan (tuduhan kafir tidak disertai dalil).

Sebagaimana Imam Ali yang mencukupkan diri mengingkari kebatilan, tanpa melawan tuduhan serupa kepada orang yang mengafirkannya, atau mengafirkan mereka seperti mereka mengafirkannya. Berprasangka baik terhadap mereka, bahkan tetap menjamin kebebasan mereka dalam wilayah personal dan publik.

Maka begitu pula seharusnya seorang Muslim bersikap. Menghargai dan menghormati perbedaan. Memaafkan dan memperbaiki kesalahan. Bahkan, tetap memperlakukan orang lain dengan baik apa pun latar belakangnya, termasuk menjadikan toleransi sebagai jalan tengah antarumat beragama.

Dengan demikian, setiap Muslim hendaknya berhati-hati dalam berucap, salah satunya dengan tidak mudah mengafirkan orang lain baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Dengan begitu, ia akan menyelamatkan diri sendiri dan orang lain dari perpecahan menuju kerukunan dan keharmonisan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.