Melawan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga

KhazanahHikmahMelawan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga

Selama Covid-19 mewabah, selama itu pula perempuan kian rentan menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Namun menariknya, masih banyak para istri yang lebih memilih bertahan hidup bersama suaminya, karena menganggap perilaku suaminya hanya kekhilafan sesaat, memikirkan kepentingan anak-anak, takut berpisah, bahkan tak sedikit takut menyandang gelar janda.

Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima 892 pengaduan langsung hingga Mei 2020. Angka ini setara dengan 63% dari total pengaduan sepanjang 2019. Ranah kasus kekerasan paling banyak dilaporkan adalah KDRT/ ranah personal (RP). Presentasenya mencapai 69% dari total kasus sepanjang Januari-Mei 2020, disusul kekerasan di ranah komunitas (30%) dan negara (1%). Data ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam ranah domestik merupakan masalah serius yang dapat memengaruhi keberlangsungan hidup dan masa depan perempuan di Tanah Air.

Maka dari itu, demi melawan dan meniadakan kekerasan terhadap perempuan dalam ranah domestik, diperlukan langkah yang serius dan tepat sasaran, baik oleh pihak internal, maupun pihak eksternal. Tidak hanya meluruskan asumsi masyarakat yang kerap menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi di hadapan kaum laki-laki, tetapi juga meluruskan interpretasi yang keliru terhadap Islam sebagai agama keadilan, sekaligus merekonstruksi nilai-nilai patriarki yang masih diberlakukan dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik.

Perlu diketahui, kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa kekerasan fisik yang dapat menyebabkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (pasal 6 UU KDRT) dan kekerasan psikis yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasar 7 UU KDRT).

Kemudian dalam bentuk kekerasan ekonomi, tindakan penelantaran yang dilakukan untuk mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004).

Terakhir, kekerasan seksual, yakni pemaksaan hubungan seks terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga pelaku atau pemaksaan hubungan seks terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil atau tujuan tertentu (pasal 8 UU No. 23 2004).

Berangkat dari jenis-jenis kekerasan tersebut, peniadaan praktik KDRT dapat dilakukan, salah satunya dengan cara meluruskan kekeliruan interpretasi terhadap Islam (sebagai agama keadilan) yang kerap dianggap sebagian masyarakat sebagai justifikasi dan pelanggeng praktik kekerasan.

Pertama, jika mereka menganggap kekerasan fisik dan psikis dilegalkan dalam Islam, maka hal tersebut bertentangan dengan tujuan perkawinan dan hubungan antara suami istri dalam al-Quran. Dalam al-Quran surah al-Rum (30): 21, Allah menekankan bahwa perkawinan bertujuan untuk membangun kehidupan Sakinah, mawaddah, dan rahmah. Ketiga kata itu, jika diamalkan dengan baik oleh seorang Muslim, maka akan melahirkan rumah tangga yang damai sekaligus saling mencintai dan mengasihi.

Maka dari itu, prinsip sakinah, mawaddah, dan rahmah yang diperintahkan oleh Tuhan dan diwujudkan oleh setiap pasangan dalam rumah tangga, akan meniadakan kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun. Bahkan, mematahkan anggapan mereka yang melegalkan KDRT atas nama agama.

Kemudian, dalam al-Quran surah al-Nisa (4): 19-21, Allah menyebutkan mitsaq ghalizh (perjanjian kuat) dan mu’asyarah bi al-ma’ruf (pergaulan yang baik) sebagai sifat dan hubungan perkawinan. Keduanya adalah prinsip ajaran Islam yang membawa pesan anti-kekerasan.

Perkawinan tidak hanya wajib dimulai dan diakhiri dengan baik (ma’ruf), tetapi interaksi sosial, seperti ucapan, tingkah laku, dan tanggung jawab yang ada di dalamnya harus diwarnai dengan baik pula, seperti tidak mengganggu, tidak memaksa, menjaga tutur kata, memperindah perilaku dan perbuatan, menciptakan suasana yang nyaman, dan sebagainya.

Kedua, kekerasan ekonomi dapat dihindari, dengan cara menggarisbawahi kewajiban suami sebagai pemberi nafkah sekaligus tidak melarang istri untuk bekerja. Seorang suami tidak berhak memberikan sedekah kepada orang lain sebelum nafkah keluarganya tercukupi, karena menafkahi keluarga adalah sedekah yang wajib dikeluarkan.

Baca Juga  Islam Ramah TV: Tepat Tanggapi Korban Kekerasan yang Speak Up! #StopVictimBlaming

Merupakan kewajiban atas yang dilahirkan untuknya, yakni ayah, memberi makanan dan pakaian kepada para ibu [al-Baqarah (2): 233]. Imam Ibn Katsir menjelaskan kewajiban ayah si anak memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf (baik), yaitu sesuai kebiasaan yang berlaku pada para ibu tanpa berlebihan dan tanpa bakhil (menyempitkan) serta sesuai kemampuannya.

Jika setiap suami menunaikan kewajibannya menafkahi istri dan anak-anak, tentu kekerasan ekonomi sirna dari kehidupan rumah tangga. Bahkan, hubungan dalam rumah tangga akan semakin harmonis dan damai, dengan syarat suami tidak melepas tanggung jawabnya sebagai pemberi nafkah. Namun, bukan termasuk ma’ruf (baik) jika seorang istri menuntut sesuatu di luar kemampuan suaminya dengan alasan kebutuhan anak yang diasuhnya.

Ketiga, tidak membebankan istri atas urusan domestik, seperti pada sejumlah kasus, di mana seorang istri yang ikut membantu bekerja mencari nafkah, juga dipaksa mengerjakan tugas-tugas domestik. Hal ini yang kerap disebut sebagai beban ganda (double burden). Di samping menopang ekonomi keluarga, para istri juga harus disibukkan dengan urusan domestik.

Padahal, Rasulullah SAW sebagai teladan umat, telah mengajarkan bahwa pekerjaam domestik tidak hanya tugas istri, tetapi juga suami. Aisyah, istri rasulullah menuturkan, di samping kesibukannya beribadah kepada Allah, Rasulullah SAW juga melayani keluarganya dengan baik, yakni sering melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik.

Aisyah berkata: “Beliau seperti seorang manusia pada umumnya, membersihkan pakaiannya, memerah susu kambingnya, dan melayani dirinya” [HR Bukhari]. Hadis ini menunjukkan bahwa pekerjaan domestik seperti membersihkan rumah, mencuci pakaian dan peralatan rumah tangga, dan lain-lain itu tidak hanya kewajiban perempuan, tetapi juga kewajiban suami.

Keempat, tidak ada paksaan dalam hubungan suami istri. Sebuah hadis mengatakan, seorang istri harus melayani suaminya kapan ia mau sekalipun di atas punggung unta [HR Tirmidzi]. Hadis senada juga tertulis dalam kitab Shahih Bukhari, apabila seorang perempuan menolak keinginan suaminya melakukan suatu hajat ia dilaknat sampai subuh [HR Bukhari].

Jika melihat sanad hadis tersebut, sudah tidak diragukan lagi kebenarannya sebab keduanya tercantum dalam Shahihain. Namun, matan yang tercantum dalam hadis tersebut tidak sesuai dengan misi kerasulan (menyempurnakan akhlak), karena seolah-olah Nabi SAW membolehkan perilaku tak beretika. Adapun hadis kedua, Hafsah (ketika ditanya Umar) telah memberi keterangan bahwa ada salah satu istri Rasulullah SAW yang marah sampai subuh.

Oleh sebab itu, memahami kedua hadis di atas harus dibarengi dengan pemahaman ayat al-Quran. Dalam surah al-Baqarah (2): 187, Allah berfirman: Istri-istrimu adalah pakaian bagimu. Ayat ini memperlihatkan hubungan saling membutuhkan dan saling melindungi. Penggambaran suami dan istri sebagai pakaian menghendaki si pemakai menjaga etika, ketepaan waktu dan tempat, sehingga tidak ada pihak yang merasa diperlakukan sewenang-wenang (Mulia: 2019).

Secara sederhana dapat dipahami, bahwa Islam tidak pernah melegalkan kekerasan terhadap perempuan di mana saja dan dalam bentuk apa saja. Sebaliknya, ayat-ayat al-Quran dan hadis yang dipahami secara benar jika dipraktikkan dalam kehidupan, justru mampu menghapus ketimpangan jender dan melahirkan kedamaian serta keadilan dalam rumah tangga.

Dengan demikian, meluruskan interpretasi yang keliru terhadap Islam dan memahamkan ajaran Islam yang sesungguhnya merupakan salah satu langkah melawan kekerasan perempuan dalam rumah tangga. Walaupun setiap rumah tangga tak luput dari badai, tetapi jika suami dan istri saling mempraktikkan ajaran Islam yang benar dalam keseharian, maka dalam kondisi dan situasi apapun mereka selalu diliputi kemudahan, kedamaian, kasih sayang, dan keharmonisan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.