Meneladani Siti Aminah, Ibunda Rasulullah SAW

KolomMeneladani Siti Aminah, Ibunda Rasulullah SAW

Tulisan tentang Rasulullah SAW banyak kita temui di pelbagai media, baik cetak, maupun digital. Dan, terus menerus diulas dari zaman ke zaman. Namun tidak dengan cerita kehidupan Siti Aminah, ibundanya. Kisah tentangnya tergolong sedikit dan sulit untuk ditemukan. Padahal, ibu Aminah binti Wahab merupakan sosok wanita tangguh nan kuat teladan umat. Kesabaran dan keuletannya menjalani hidup sebagai single parent adalah salah satunya.

Suaminya, Abdullah ibn Abd al-Muttalib melakukan perjalanan ke Syam. Sepulangnya dari Syam, ia singgah di tempat saudara-saudara ibunya di Madinah. Mulanya, Abdullah jatuh sakit di sana. Namun, setelah Harits (anak sulung Abd al-Muttalib) mendatanginya, dikabarkan kepadanya, bahwa Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan.

Wafatnya Abdullah di Madinah membuat seluruh keluarganya yang berada di Makkah pilu. Apalagi istrinya, Aminah yang tengah mengandung. Pada 570 M atau dikenal juga dengan tahun gajah, ia melahirkan seorang anak laki-laki, tanpa ditemani seorang suami di sisinya. Ia diberi nama Muhammad. Sejak kelahirannya, Aminah sebagai orang tua tunggal mengasuh putra semata wayangnya dengan penuh kasih sayang, cinta, dan kelembutan.

Hal ini menunjukkan bagaimana besarnya dan beratnya perjuangan seorang ibu dalam melahirkan dan mengasuh anak. Tanpa ada suami di sisinya, ia berhasil melewati itu semua dengan baik. Ibunda Aminah yang tangguh terus menjalankan kehidupannya dengan penuh semangat.

Sebagaimana Tradisi bangsawan Quraisy di Makkah. Aminah menitipkan  Muhammad kecil kepada keluarga Sa’ad (Banu Sa’d) untuk disusui dan diasuh oleh salah seorang dari mereka. Hal ini tidak hanya bertujuan untuk membesarkan anaknya di tengah udara pedalaman yang bebas, bersih, dan jernih, belum tercemar seperti udara perkotaan. Lebih dari itu, membesarkan anak di pedalaman bertujuan meningkatkan kemampuan berbahasa. Sebab orang-orang pedalaman menggunakan Bahasa Arab murni yang belum tercampur dengan Bahasa pasar.

Suatu waktu Muhammad SAW pernah berkata kepada para sahabatnya, Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah keluarga Sa’d ibn Bakr.

Ketika wanita-wanita keluarga Sa’ad yang akan menyusukan itu datang ke Makkah, tidak ada seorang pun dari mereka yang menginginkan Muhammad sebab ia adalah seorang yatim. Sejatinya, wanita-wanita itu mengharapkan jasa dari sang ayah. Akan tetapi, Halimah binti Abi-Dhu’aib pada akhirnya menerimanya.

Baca Juga  KH. Yahya Cholil Staquf: Kuatkan Prinsip Kesetaraan Antarumat Beragama

Tak diduga-duga, sejak mengasuh Muhammad, Halimah dan keluarganya merasa mendapatkan berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunya bertambah. Setelah 2 tahun hidup di Sahara, Halimah mengembalikan Muhammad kepada ibunya dan membawanya kembali ke pedalaman. Terlepas dari perbedaan riwayat, apakah itu keinginan Halimah atau ibunya. Ia dibawa kembali supaya lebih matang dan juga dikhawatirkan adanya serangan wabah di Makkah.

Kefasihan dalam berbahasa dan kemandirian Muhammad SAW adalah prestasi ibunda Aminah dalam memberikan hak pendidikan kepadanya. Alih-alih menariknya dengan cepat dari asuhan keluarga Sa’d, seperti yang banyak dialami ibu-ibu yang enggan memasukkan anaknya ke Pesantren dalam jangka waktu yang lama, ibunda Aminah justru mengiyakan permintaan Halimah agar anaknya tinggal lebih lama di pedalaman.

Lima tahun berlalu, Muhammad kembali ke pangkuan ibunda Aminah. Suatu ketika, Aminah membawa anaknya ke Madinah guna memperkenalkannya dengan saudara-saudara kakeknya dari pihak keluarga Najjar sekaligus mendatangi makam ayahnya. Umm Aiman, budak yang ditinggalkan Abdullah juga ikut dalam perjalanan tersebut.

Setelah sebulan mereka tinggal di Madinah, ia dan rombongan hendak bertolak ke Makkah dengan dua ekor unta. Namun, setelah sampai di tengah perjalanan, yaitu Abwa (desa antara Madinah dan Juhfa), ibunda Aminah menderita sakit. Kemudian meninggal dan dikuburkan juga di tempat itu. Kemudian, Muhammad dibawa pulang oleh Umm Aiman ke Makkah.

Meski kesedihan sangat dirasakan oleh Muhammad SAW. Namun, perjuangan dan kasih sayang seorang ibu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selama ini begitu terasa. Salah satu hal yang jarang diekspose ke muka publik adalah perjuangan Aminah menahan rindu selama anaknya dibesarkan di pedalaman. Namun, demi kebaikan dan pendidikan sang anak, ibunda Aminah rela hidup dalam nestapa.

Oleh karena itu, umat Islam, khususnya kaum perempuan Tanah Air seharusnya meneladani Siti Aminah, ibunda Rasulullah SAW. Meskipun hidup sebagai single parent, ia tetap memberikan hak pendidikan kepada anaknya. Hak paling penting yang harus dipenuhi setiap orang tua. Bahkan, menjaganya dengan penuh cinta, kasih sayang, dan kelembutan selama hidup bersamanya.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.