Wajah Dakwah Menakutkan di Media Sosial

KhazanahHikmahWajah Dakwah Menakutkan di Media Sosial

Modernitas telah membawa perubahan sosial bagi masyarakat. Media sosial misalnya, dalam banyak hal telah mengubah seluruh aspek kehidupan, tidak terkecuali agama. Salah satu fenomena keagamaan baru yang muncul adalah adanya pergeseran otoritas keagamaan (religious authority shifting). Bermodalkan gawai, seorang dapat mengakses informasi keagamaan dengan mudah dan cepat, akan tetapi kemudahan itu telah menawarkan informasi agama yang variatif, sehingga tak sedikit isi dakwahnya yang menjurus kepada ujaran kebencian, fitnah, propaganda, adu domba, dan dakwah menakutkan lainnya yang ada di media sosial.

Memang, dakwah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan beragama umat Muslim. Ia laksana napas yang menyuplai nadi-nadi keberagamaan agar terus berdenyut. Jika diibaratkan tanaman, ia adalah air dan pupuk. Tanaman tanpa air perlahan akan layu, kering, lalu mati. Kehidupan beragama tanpa dinamika dakwah akan kehilangan daya untuk kemudian mati. Ini lah esensi dari dakwah itu sendiri, yang merupakan ajakan, seruan, panggilan untuk taat kepada Allah SWT sesuai dengan garis ajaran-Nya.

Baca juga : Virus Radikalisme Membunuh Demokrasi

Sayangnya hari ini, kita melihat wajah dakwah yang berbeda. dakwah yang seharusnya disampaikan dengan baik, teduh, ramah dan tanpa kekerasan, kini justru sebaliknya, dakwah yang kasar, saling sesat-menyesatkan, kafir-mengkafirkan, penuh ujaran kebencian, serta saling mencaci dan memaki kelompok yang berbeda. Hal ini jelas sesuai dengan yang diungkapkan KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), yang menekankan perihal kegelisahannya akan kian redup dan memudarnya ruh al-dakwah (semangat dakwah) yang diajarkan oleh Nabi Muhamad SAW.

Dakwah dengan ujaran kebencian merupakan tindakan dakwah yang perlokusi atau yang disebut sebagai “The Act of Affecting Someone”. Tuturan yang diucapkan oleh seseorang yang sering kali memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force) bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat terjadi karena disengaja ataupun tidak disengaja dalam setiap isi ceramahnya. Misalnya saja, dakwah yang disampaikan oleh Riziq Shihab yang melecehkan umat Kristen. Dalam isi ceramahnya di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, berdasarkan tayangan video yang diunggah oleh SR melalui akun Twitter dan AF melalui akun Instagramnya. Ia mengatakan dengan mencela (melalui kata-kata) “Kalau Tuhan beranak, bidannya siapa”. Pada 26 Juni 2016 (BBC.com). hal ini tak sepatutnya dilontarkan oleh seorang yang mengaku sebagai ‘pendakwah’.

Di samping itu, wajah dakwah juga kini diwarnai dengan kemunculan para tokoh agama baru, atau para artis yang mendadak alih profesi menjadi ustadz. Bahkan ada juga yang mengaku mualaf lalu vokal berbicara dengan lantang tentang Islam. Bahkan celakanya, jika dakwah yang dilontarkan dengan penuh ujaran kebencian, saling fitnah, saling mengkafirkan serta itu terlontar dari para pendakwah, yang dalam istilahnya mafhum disebut ustadz karbitan. Pangkalnya pun beragam, bisa dari kicauan di Twitter yang dibatasi 280 karakter itu, atau melalui posting-an sosial media, repost dari posting-an di sosial medi , dan lain sebagainya.

Baca Juga  Hambatan Keadilan di Lingkungan Keagaamaan

Sialnya lagi, para ustadz karbitan ini begitu mudah mereka mengartikan ayat, hadis, lalu sekonyong-konyong menyimpulkan hukumnya begini dan begitu. Seolah cukup bermodal kan ayat al-Quran, mengutip sabda Nabi, lalu kemudian dianggap selesailah semua urusan tafsir al-Quran.

Dalam konteks ini, dakwah di media sosial kini menjadi ”medan pertempuran” baru di era digital. Hal yang lebih memprihatinkan adalah dengan adanya kenyataan bahwa media sosial di Indonesia justru banyak dikuasai bukan hanya para ustadz karbitan, tetapi juga oleh situs-situs dakwah konservatif, radikal, serta intoleran. Hal ini yang sebenarnya merusak wajah dakwah Islam sesungguhnya. Barangkali, inilah yang disebut-sebut era Revolusi Informasi, di mana Internet telah mengubah wajah dunia.

Menurut Gary R. Bunt dalam bukunya, Islam in the Digital Age E-Jihad, Online Fatwas and Cyber Islamic Environments secara jelas memaparkan tahapan perkembangan Islam dalam dunia siber dengan fitur-fitur yang signifikan tentang Islam mulai memperoleh urgensi dan kedekatan baru. Dengan maraknya situs web Islam, ruang obrolan, daftar email dan hal-hal lain yang terkait aktivitas media, termasuk ekspresi keyakinan adalah fenomena kedewasaan dari siber Islam. Pada tahap selanjutnya, Islam menjadi bagian dari perebutan pengaruh di media sosial abersamaan dengan agama lain dalam melakukan dakwahnya.

Baca juga : Perempuan, Guru Literasi Digital Anak

Kenyataan itu, membuat etika dakwah seharusnya bisa lebih didahulukan. Adapun etika dakwah yang sesuai dengan ajaran Islam sesungguhnya antara lain, pertama dakwah semestinya dilakukan dengan hikmah. Artinya, dilakukan dengan tanpa unsur kebencian, kedengkian, permusuhan, dan menghancurkan objek dakwah. Al-Quran merupakan hudan (petunjuk), nur (cahaya), dan syifa’ (obat). Ia bukan mesin pembunuh atau alat penghancur sehingga seharusnya dakwah dilakukan dengan cara merangkul, sejuk, ramah dan santun sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Kedua, tidak apologi, apriori, dan menganggap benar sendiri. dakwah memiliki etika yang dilakukan dengan tindakan-tindakan yang rasional, dialog, argumentatif, dan menyejukkan. Sehingga dakwah akan melahirkan buah yang sedap dan bukan malah sebaliknya. Ketiga, kebenaran itu berada di tangan Tuhan dan tidak perlu memaksakan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti keyakinan kita. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam al-Quran “tidak ada paksaan dalam memeluk agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara yang benar dan yang sesat” (QS. Al-Baqarah: 256). “Untukmulah agamamu, dan untukulah agamaku” (Q.S. Al-Kafirun: 6).

Dengan demikian, melimpahnya dakwah di media sosial seharusnya sesuai dengan etika dakwah yang pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dakwah yang sesungguhnya adalah dakwah yang menebarkan ujaran kebaikan, bukan malah menyebarkan ujaran kebencian. Oleh karena itu, menjadi seorang pendakwah semestinya bukan hanya alim, tetapi juga arif, sebab wajah dakwah di media sosial harus di isi dengan narasi dakwah yang menyejukkan bukan menakutkan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.