Hapuskan Hambatan Sosial Kaum Difabel

KhazanahHikmahHapuskan Hambatan Sosial Kaum Difabel

Meningkatan peran, penghormatan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam pembangunan nasional merupakan hal yang sangat urgen dan strategis. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas 2018, sebanyak 26,4 juta penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas sering mendapat stigma dan dipinggirkan dalam masyarakat, bahkan mengalami diskriminasi dan kekerasan.

Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities (CIQAL) mencatat 29 kasus kekerasan terhadap difabel di Yogyakarta sepanjang 2019, angka ini hanya bagi kasus yang mereka dampingi. Bagaikan puncak gunung es, kasus yang tidak terekspos ke permukaan jauh lebih besar, akibat dari stereotip kepada kaum difabel yang sering dijauhi, dianggap aib, memalukan, dan patut disembunyikan.

Penyandang disabilitas secara konstitusional mempunyai hak dan kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan. Kesederajatan hak dan kedudukan ini belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh mereka, jika stimatisasi terhadap penyandang disabilitas, masih menjamur di tengah masyarakat. Sebab itu, disability awareness telah menjadi perhatian dunia selama beberapa dekade terakhir, kesadaran dan kepekaan publik terhadap mereka yang memiliki disabilitas, akan membantu menghilangkan pola pikir stereotip masyarakat.

Pemahaman negatif tentang disabilitas antara lain berakar dari pola pikir masyarakat yang didominasi oleh konsep normalitas. Pelabelan negatif sebagai ‘berbeda dari kenormalan yang diterima’ adalah suatu proses stigmatisasi. Menurut Arthur Shapiro, seorang Ilmuan Amerika, sikap dan perilaku diskriminatif akan muncul bila stigmatisasi atau pelabelan negatif tersebut berlanjut. Hal itu berupa pemisahan secara paksa dan pembatasan (segregation), pengasingan dari kehidupan sosial karena dianggap bukan bagian integral masyarakat (social exclusion), atau dianggap tidak bernilai secara sosial (socially devalued).

Islam memiliki khazanah kearifan untuk memberi pemahaman dalam bersikap, berperilaku, dan bergaul dengan terhadap mereka yang memiliki keterbatasan fisik maupun mental. Al-Quran sendiri mengakomodasi keberadaan kaum difabel dan mengembangkan sikap positif terhadap mereka, terutama dalam menegaskan kesetaraan sosialnya. Allah SWT berfirman, Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang, tidak pula bagi orang sakit, dan tidak pula bagi dirimu sendiri, Makan bersama-sama (QS. An-Nur: 61), serta memberikan keringanan atas keterbatasannya, Tiada dosa atas orang-orang yang buta, orang yang pincang, dan orang yang sakit apabila tidak ikut berperang (QS. Al-Fath: 17).

Rasulullah SAW memperlakukan kaum difabel secara bermartabat dan welas asih. Dalam suatu riwayat, beliau melayani dan peka terhadap kebutuhan seseorang yang memiliki masalah kesehatan mental. Tercatat di dalam Sahih Muslim nomor 2326, bahwa ada seorang wanita yang mengalami gangguan mental datang mendekati Nabi SAW, dan berkata “Wahai Rasulullah, saya ingin sesuatu dari anda”, Nabi SAW pun segera mempriotaskan permintaannya, Beliau memanggilnya dengan gelar yang menandakan rasa hormat dan keakraban “Wahai ibu fulan, lihatlah di sisi jalan mana yang anda inginkan (untuk bertemu dan membantunya), sehingga saya dapat memenuhi apa yang anda perlukan”, Rasulullah SAW mempersilakannya mengatur pertemuan, kemudian dengan sabar berdiri bersamanya di pinggir jalan yang dia inginkan sampai semua permintaannya terpenuhi (HR. Muslim).

Hal ini memberikan hikmah tentang pentingnya menciptakan lingkungan yang aman, di mana masyarakat golongan apapun tidak distigmatisasi, tetapi disikapi dengan hormat dan martabat yang sama, sehingga mereka merasa nyaman mengakses kebutuhan mereka di depan umum.

Baca Juga  Humor Abu Nawas tentang Shalat Tanpa Rukuk dan Sujud

Beberapa orang besar yang berjasa dalam sejarah Islam juga merupakan seorang yang memiliki keterbatasan fisik. Salah satu sahabat Nabi Muhammad adalah Abdullah ibn Ummi Maktum, seorang sahabat tunanetra. Ibnu Ummi Maktum menjadi salah seorang dari dua orang yang ditugaskan oleh Nabi SAW untuk mengumandangkan azan setiap hari. Ia juga beberapa kali ditunjuk Rasulullah SAW untuk menggantikan beliau sebagai imam shalat. Ibnu Ummi Maktum bahkan pernah terlibat dalam proses tasyri’ yaitu penetapan suatu hukum dalam rangka memberi contoh, yakni menjadi sebab turunnya QS. Abasa ayat 1-4.

Menurut sebuah riwayat dalam Tafsir Ibnu Katsir, pada periode awal Islam ketika Nabi Muhammad SAW sedang berdakwah tentang ajaran Islam kepada para pemimpin Mekkah. Ibnu Ummi Maktum, seorang tunanetra, datang dan menyela Nabi SAW dengan sebuah pertanyaan. Hal itu menyebabkan Nabi SAW cemberut sejenak. Ekspresi kurang senang, yang bahkan tidak terlihat oleh Ibnu Ummi Maktum yang tunanetra tersebut, dianggap kurang pantas di hadapan Allah SWT, kemudian diturunkanlah QS. Abasa ayat 1-4 untuk mengoreksi hal tersebut.

Al-Qasyani menulis dalam tafsirnya bahwa, itu adalah teguran halus guna menyempurnakan langkah-langkah dakwah Rasulullah SAW. Selaras dengan itu, As-Suyuthi dalam beberapa riwayat yang beliau kutip di dalam kitab tafsirnya, menerangkan bahwa surat ini menunjukkan motivasi untuk menyambut orang-orang miskin atau lemah serta memenuhi kebutuhan dan hajat mereka dan tidak mengutamakan orang-orang kaya atas mereka.

Dari latar belakang historis ini, dapat diperoleh isu tentang pentingnya memastikan bahwa penyandang disabilitas disambut secara setara di semua pertemuan, diberikan akses yang setara dan adil, dan tidak didiskriminasi dengan cara apa pun. Mereka haruslah diberlakukan secara sama dan tanpa stigma negatif dalam kehidupan sosial dengan memberikan mereka hak asasi yang sama, karena mereka merupakan bagian dari komposisi kehidupan manusia.

Dalam sejarah intelektual Islam, dikenal salah satu rawi besar dari Imam qira’at al-Quran yang bernama Isa al-Zarki, yang  lebih mahsyur dikenal sebagai Qalun (w. 835 M). Dia adalah qari terkemuka di kota Madinah dari abad ke 3 H. Bacaan al-Quran riwayat Qalun adalah qiraat yang saat ini digunakan secara luas di Qatar, Libya, dan Tunisia.

Fakta yang kurang banyak diketahui tentang Imam Qalun sebenarnya adalah seorang penyandang tunarungu. Ia menguasai riwayat pelafalan al-Quran dari Imam Nafi’ dan menjadi rawi besarnya, dengan semua detail sistem bunyi bacaan yang halus. Imam Qalun sangat dihormati atas keilmuannya, serta memiliki banyak murid dari berbagai kota. Walaupun tuli, beliau mampu mengoreksi kesalahan muridnya dengan membaca bibir mereka, atau dengan mendekatkan mulut siswa dengan telinganya.

Dengan demikian, sebagai masyarakat, adalah tugas utama kita untuk mendukung penyandang disabilitas di sekitar kita, terutama di ruang publik dan fasilitas umum. Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW sangat memperhatikan kepentingan kaum difabel. Kepekaan terhada penyandang disabilitas amat penting bagi masyarakat untuk mengembangkan empati satu sama lain. Demi masa depan yang lebih baik, kita harus berusaha menghapus budaya diskriminasi dan meningkatkan kepekaan terhadap kebutuhan orang lain, sehingga fondasi empati muncul dan membantu dalam mendobrak hambatan sosial yang ada.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.