Rendah Hatinya Sang Nabi Kita

KolomRendah Hatinya Sang Nabi Kita

عَطِّرِ اللّهُمَّ قَبْرَهُ الْكَرِيْمَ بِعَرْفٍ شَذِيٍّ مِنْ صَلَاة ٍوَ تَسْلِيْمٍ

اللّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَيْهِ

If the prophet Muhammad visited you, just for a day or two,
If he came unexpectedly, i wonder what you’d do

_Camile Badr

Prolog

Rembulan bersinar kembali malam ini, terlihat indah, bulan purnama Rabi’ul Awal sudah tiba. Sudah sepantasnya kita bersyukur kepada-Nya. Ya, kelahiran putra Sayyidah Aminah yang sangat mempesona daripada dunia dan pernak-perniknya. Mantra shalawat dan secangkir kopi jadi lantunan, jadi gerak meniti hari ke hari, mewarnai sejarah bumi. “Sejarah telah berakhir,” ucap penuh percaya diri Francis Fukuyama. “Profesor, sejarah belumlah berakhir,” jawab pecinta kopi nusantara dengan kalem. Sejarah dunia masih terus bergerak bro.

Sulit rasanya membahas dan menulis pribadi agung, kekasih Allah Ta’ala yang dituturkan dalam Hadis Qudsi sebagai manusia paling keren. “Sekiranya bukan karenamu, niscaya Aku tidak akan menciptakan alam semesta ini”. Karenanya, tak mungkin kita bicara dan menulis tentang Kanjeng Nabi kecuali dengan hidayah, petunjuk dan Cinta-Nya. Hanya cinta yang menggerakkan, cinta yang menjelma.

Shalawat beserta salam, dan keagungan tetap milik Sang penggerak yakni Kanjeng Nabi. Yang diperintahkan Sang Maha untuk membeberkan sayap-sayap rahmat, kepada manusia yang mengikutinya. Yang kehadirannya laksana bintang gemintang yang berkerlip indah di tengah kepekatan dan kegelapan malam. Laksana mentari yang mengusir malam keperaduaanya.

Sang Nabi yang ditawarkan kepadanya Gunung Uhud untuk dirubah menjadi emas berkilauan. Namun ditolaknya dan memilih hidup zuhud dalam panggung sejarah. Walaupun demikian Sang nabi senantiasa unggul melebihi dunia beserta seluruh gemerlap isinya. Keagungan akhlak, dan budi pekertinya telah meluluhlantakan perilaku orang-orang sombong, angkuh, kikir dan pendendam yang menindas sesama manusia, baik dalam diam dan nyatanya.

Hanya kepada Allah kita memuja dan memuji. Allah kita yang merendahkan dan menghinakan orang-orang yang congkak, jahat dan bengis. Yang telah meruntuhkan tahta imperium fir’aun dan para kaisar, raja yang sombong dan congkak. Allah kita Sang raja diraja, penguasa alam semesta raya yang meninggikan langit tanpa tiang, yang menghamparkan bumi tanpa menggantungkan. Yang memberi warna-warni kehidupan beragam dan penuh pelangi di bumi pertiwi, bumi para wali dan kiai.

Intermission

Mohon izin, srupuut dulu kopinya!

Terkenang dulu, pernah satu masa pernah membaca sebuah buku keren berjudul Langit-Langit Desa karya Muhammad Zuhri. Luar biasa keren guys, berisi cerita dan kisah salah satunya tentang seorang mahasiswa yang hoby melantunkan shalawat Sang nabi. Mungkin mahasiswa itu mewakili kita semua di penjuru Indonesia. Katakanlah sebagai nostalgia!. Apalagi buku tersebut, entah kemana raibnya. Lupa dibawa siapa, jadinya hanya yang diinget sampai detik ini dialognya. Sekali lagi, itu buku top markotop.

Alkisah, seorang mahasiswa yang mengamalkan shalawat Sang nabi seribu kali dalam sehari didatangi oleh sahabat kuliahnya saat ia sedang melakukan riyadhah-nya. Menyaksikan peristiwa itu, sahabatnya berucap: “Setiap Rasul telah dijamin masuk taman syurga. Sama saja you lantunkan shalawat atau tidak kepadanya bro!”

“ You salah paham. Saya membaca shalawat bukan untuk Rasul, melainkan untuk diri saya sendiri,” jawab mahasiswa itu.

“Kok bisa demikian?” tanya sahabatnya.

“Ketika saya membaca shalawat, saya ingat dua hal yang sangat penting artinya di dalam ‘proses menjadi’ diri saya,” jawab mahasiswa.

“ Jika begitu apa hubungannya dengan dirimu cuk!” desak sahabatnya.

“ Ya sudah jelas Mas bro, saya ingin menjadi seperti Nabi Muhammad SAW di dalam menggapai tujuannya!” jawab mahasiswa dengan kalem.

Sebuah kisah yang inspiring, buat kita semua. Mahasiswa itu, sekali lagi adalah perihal kita semua, pecinta Sang Nabi. Bagaimana kita menggapai tujuan hidup seperti yang diajarkan Sang Nabi di tengah turbulensi zaman pandemi kini.

Menggapai Matahari

Hidup adalah akidah dan cinta. Akidah berimankepadaKanjeng Nabi Muhammad SAW adalah penutup para Nabi dan pemuncak kebaikan, penghubung langit dengan bumi dan dunia dengan akherat. Sederhana dalam keagungan dan ramah dalam kewibawaan, berakhak mulia.  

Jika melihatnya, kita pasti jatuh cinta kepadanya dan apabila bergaul, kita pasti merasa nyaman bersamanya. Argumentasinya al-Qur’an, kiblatnya Ka’bah, agamanya agama yang lurus, agama cinta bagi seluruh manusia. Tetapi apakah kita pernah memandang paras wajahnya?

Beliau dibangkitkan untuk melepaskan rantai-rantai yang membelenggu pikiran dan jiwa manusia. Bergerak untuk menghancurkan patung-patung dan berhala-berhala cinta dunia. Diutus sebagai anugerah bagi alam semesta serta sebagai keluh kesah bagi mafia kesesatan. Beliau bertutur kepada telinga-telinga manusia di dunia, maka pilar-pilar kezaliman runtuh karena suara merdunya. Dan bangunan-bangunan kelaliman roboh karena jejak kebaikannya. Beruntunglah yang sezaman dan pernah bersamanya di Mekkah dan Madinah.

Beliau memilih zuhud setelah deklarasi Kenabian, berhias dengan kesabaran, tahan ujian, memperkuat jiwa atas bantingan kebengisan zaman. Dengan sejarah hidupnya, beliau jelaskan betapa kecil dan sepelenya dunia ini. Lalu, beliau hidup dalam kekayaan, maka beliau bersyukur kepada Sang pemberi nikmat dan mengasihi  semua makhluk. Hidupnya penuh empati dan senantiasa bersujud, berdoa untuk umatnya.   

Kanjeng Nabi mengajarkan manusia pasal-pasal kedermawanan hati dan legenda-legenda kemurahan jiwa. Beliau tebar jaring keramahan, sehingga beliau pun menjadi orang yang lebih lembut daripada angin semilir. Lebih halus daripada kain sutra, dan lebih segar daripada hujan gerimis. Sehingga hati manusia pun berthawaf di Ka’bah keagungannya dan jiwa-jiwa mereka bersa’i di Shafa-Marwa kemuliaannya. Kanjeng Nabi bertempur demi membasmi akar-akar kerusakan, merobohkan benteng-benteng kesesatan, menghancurkan kebatilan dan mengubur pembangkangan terhadap Sang Maha yang terlupakan, disingkirkan.

Kanjeng Nabi adalah nama yang kita cinta, pandanglah hamba. Kita cinta kepada kepadanya, bukan kepalsuan cinta. Kita semua menjalani hidup dan menjadikan sejarah hidupnya, cerita perjuangannya di hadapan mata kepala dan batin kita. Sebab Allah Ta’ala berfirman:“ Sungguh, di dalam diri Rasulullah terdapat suri tauladan  yang baik bagimu, bagi orang-orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir, serta banyak mengingat-ingat Nya.” (QS. Al-Ahzab 33:21).

Para pujangga sering berkata di antara bukti cinta terbesar ialah kenikmatan menyebut nama orang yang kita cinta. Ketika menyebut atau mendengar orang menyebut nama kekasih kita, hati kita bergetar. Ada kenikmatan dalam mengulang-ngulang namanya, dan ingin sepertinya dalam mencapai tujuan hidup.

Kita agungkan Muhammad Sang Nabi sebagai manusia yang penuh perasaan tenang, sabar, rendah hati, lembut, dan berpikir positif terhadap huru-hara dunia. Sebuah puja-puji oleh Imam Ibrahim al-Bajuri, yang merupakan pengikat bathin kita berabad-abad lamanya dengan Sang Nabi, menghubungkan sifat-sifat ini kepadanya:

Seraut paras laksana bunga lili yang lembut
dan purnama yang suminar
Watak yang laksana samudra
dalam kedermawanan dan ikhtiar
Yang akan tampak, karena keagungannya.
Bahkan manakala kau menjumpainya sendirian
Memimpin sebuah pasukan
Atau rombongan besar
Seolah-olah sebuah permata
dalam kulit kerang kata-kata dan senyumnya.

Demi menggapai matahari ini, ada satu pegangan untuk kita, bahwa apa yang pernah diperbuat Muhammad sang nabi berlaku sama bagi semua manusia. Karena beliau diutus untuk seluruh umat manusia, bukan hanya umat Islam saja. Dibangkitkan  demi segenap alam semesta, sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Tentunya sambil ngopi membahas Kanjeng Nabi adalah perbincangan terindah yang takkan tiada habisnya. Dari berbagai dimensi dan aspeknya, utusan Allah yang terakhir ini sungguh mengandung magnet spiritualitas yang tiada tanding. Sehingga sepanjang zaman senantiasa lahir karya-karya pemikir yang memuja-memuji dan menggagungkannya. Adalah Annemarie Schimmel, penulis buku berjudul Dan Muhammad Utusan Allah, pernah mengatakan:“ bentuk lahiriah Ahmad datang dari Adam, namun pada hakikatnya Adam menjadi wujud dari Ahmad”.

Wajib diketahui dalam tradisi tasawuf, ada keyakinan bahwa jauh sebelum munculnya alam eksistensi, non-material maupun material, Allah telah menjadikan al-Haqiqah al-Muhammadiyyah atau Nur Muhammad sebagai wujud kedua setelah Diri-Nya, yang darinya, Nur Muhammad memancar ke yang lain mulai dari alam materi hingga alam non-materi. Karena kedudukannya yang dahsyat seperti ini, sampai-sampai seorang pujangga Muslim bersyair: Mengapa manusia, malaikat dan jin tak memujinya? Padahal Allah sendiri telah memujinya.

Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad, maha guru para Sufi pernah bertutur:,“Allahku, tidak ada wasilah bagiku kepada-Mu, selain limpahan kasih-Mu. Tidak ada perantara kepada Mu, kecuali curahan kasih-Mu dan Syafa’at Nabi-Mu, Nabi umat ini”.

Muhammad Sang Nabi, adalah sebuah nama terbesar di bumi manusia. Namamu berdampingan dengan nama Allah yang Maha kasih Maha sayang. Namamu bersandingan dengan nama Dia di Arasy yang agung. Bukankah Allah menyebutmu dengan nama-Nya, al-rauf al-rahim, yang sangat santun, rendah hati dan sangat sayang kepada seluruh manusia!.

Baca Juga  Tafsir Surat Ad-Dhuha ayat 6-11

Rendah Hati adalah Kunci

Lanjut ya ngopinya bro and sista!

Andalan para sufi Maulana Jalaluddin Rumi seringkali bertutur, sudah seharusnya setiap manusia menekankan kebaikan dan pentingnya kesederhanaan dalam hidup di bumi Allah. Ia berucap bahwa pohon yang menjulang tinggi ke langit, dan membanggakan dirinya hanya karena ketinggiannya, mungkin tidak berbuah. Sebaliknya, pohon yang sarat buah batangnya melengkung ke bawah dan karena itu, menampakkan kemuliaannya.

Pastinya karena itu Muhammad Sang Nabi senantiasa sangat sopan dan rendah hati. Hal itu jua, yang membuat beliau mengungguli nabi-nabi lainnya. Sang Nabi bersabda untuk kita semua di masa kini dan masa depan:,” Hendaknya kamu senantiasa berhubungan dengan orang-orang dengan sopan dan rendah hati, dan hati-hatilah agar tidak ada yang dirugikan karenamu”. Karena itu, saat dalam sebuah serangan di mana musuh membuat satu gigi Sang Nabi tanggal, beliau hanya berdoa kepada Allah semoga Dia membimbing umatnya berjalan di jalan yang terang benderang, nan lurus. Sang Nabi bersabda kembali,” Mereka tidak tahu jalan yang benar”. Dan Sang Nabi tidak mengutuk mereka yang kurang ajar, sebagaimana juga kisah dalam peristiwa dakwahnya di Thaif, beliau berdarah-darah dilempari batu-batu besar dan kecil, beterbangan ke arah wajahnya. Sang Nabi malah mendoakan, manusia yang tidak tahu kebenaran agar mereka tidak dimurkai Allah.

Beliau sangat cinta mereka dan memohon agar para pelempar batu-batu tidak celaka dalam hidupnya. Sang Nabi serius membimbing kaumnya ke jalan yang benar, dan mengampuni sendiri mereka. Bedakan dengan kita yang ngaku-ngaku umatnya kini?

Apalagi di tengah pergaulan bangsa-bangsa di dunia, seperti kejadian di Perancis saat ini. Ngeri bro! 

Sang Nabi yang pemaaf, dan rendah hati. Karena itu pernah dikisahkan, sebelum beliau, tidak ada seorang pun, yang pernah memohonkan rasa kedamaian kepada segenap umat manusia dengan sangat ikhlas selain Sang Nabi. Di titik point yang keren ini, Jalaluddin Rumi bersyair:

Manusia tercipta dari tanah, dan jika tidak ada tanah;
Dengan apa manusia akan dicipta?

Ya, sebuah tanah. Metafor tanah adalah sesuatu yang selalu berada “di bawah” dan tentunya tidak di atas sebagaimana udara, cahaya, dan atmosfir. Tanah, adanya di posisi lebih rendah, di bawah kaki kita, terinjak-injak. Selalu tetap dalam posisi terendah, tak seperti bara api yang membumbung ke atas dengan rasa sombong dan congkak.

Ya, hanya tanah. Jadilah seperti tanah, seperti dawuh Syaikh Siti Jenar dalam kisah Majelis Wali Songo. Tanah setiap hari diinjak-injak oleh manusia, tapi menghidupi mereka. Dianggap hina-dina, tapi memakmurkan hidup mereka. Dibuang dan dicaki-maki, tapi tak pernah dendam. Bahkan menyuburkan rezeki manusia di sepanjang masa, jadi penghidupan anak cucunya.

Pointnya adalah manusia macem kita-kita, yang tercipta dari tanah, wajib mengenang asal-usul dan mengendalikan egonya. Bukan malah merasa diri tinggi hati, oke, dan merasa benar sendiri dengan warna-warni kesombongan. Bahkan tak jarang kita dengan ringan berkata kafir, sesat dan masuk neraka kepada sesama. Rendah hati ialah sifat utama Sang Nabi, yang harus juga kita punyai sebagai umatnya di era kekinian. Kerendahan hati adalah kunci, harus satu padu dalam pikiran dan tindakan.

Junjungan utama kita, Muhammad Sang Nabi disifatkan Allah Ta’ala sebagai Rasul di antara kamu yang berat hatinya melihat penderitaan, yang sangat ingin kita memperoleh kebaikan. Sang Nabi yang sangat sopan dan sangat sayang kepada kaum mukmin. Beliau melihat dengan sedih atmosfer pecah belah di bumi manusia, penderitaan, kemalangan, bencana wabah di penjuru dunia. Kenestapaan yang seringkali menghantam pecintanya. Dan perbagai prahara yang terjadi di tubuh kaum Muslimin wal Muslimat di lintas benua.

Sang Nabi telah mengajarkan kita untuk rendah hati dalam hidup sehari-hari, tak kurang tak lebih. Tetapi apa yang terjadi? Apa yang kita lakukan di bumi kini? Tak lain, tak bukan, kita melakukan aksi teror, fitnah, provokasi di media sosial, berkata kasar dan keji di mana-mana baik di rumah dan di jalanan. Bahkan tangan-tangan kita sering berbuat ngga baik, tiranik dan zalim kepada sesama, merasa berkuasa karena kecintaan kita pada perhiasan dunia; harta, tahta dan nama. Asyik, dan terjebak dalam permainan dunia yang menyilaukan mata dan jiwa.

Khatimah

Maulid Sang Nabi telah tiba, digelar penuh cinta di se-antero dunia. Kini kita juga ngaku-ngaku umat dan pecintanya. Tetapi sayangnya, kita tak pernah melaksanakan rendah hati ajaran mulianya. Sang Nabi ingin kita hidup bahagia menggarungi dunia dengan bahtera kapal Nabi Nuh di era abad 21, seperti maunya Slavoj Zizek, filsuf gaek dari Slovenia. Beliau juga ingin kita jadi orang baik, sholeh dan sholehah, berbuat empatik kepada makhluk Allah. Jangan sampai kita seperti jalannya cerita yang disampaikan Jalaluddin Rumi; semua dari kita sudah mengotori rumah Sang Nabi dengan sikap buruk dan sifat kotor. Dan Sang Nabi yang membersihkannya sendiri. Setegah itukah kita sebagai pengikut dan pecintanya?

Maulid Sang Nabi adalah cahaya rembulan, sebuah kesadaran, kita takkan melakukan itu semua. Karena kita manusia, yang sudah mengenalinya, kerendahan hatinya. Cintanya kepada kita semua. Good people are helped and bad people disgraced.

Ala kulli hal, berada pada tingkat iman yang tinggi, jika kita bukan saja percaya bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Sang Nabi yang penuh kasih dan sangat penyayang pada manusia. Tetapi juga kita merasakan manisnya kasih sayangnya, perhatian dan nikmat kehadirannya. Karena beliau menyaksikan apa yang kita amalkan sehari-hari. Sebagaimana firman-Nya: Beramallah kalian. Maka Allah akan melihat amal kamu, juga Rasulullah dan orang-orang beriman (QS. Al-Taubah; 105)

Cuman gini, kita tak bisa membayangkan, jika Sang Nabi berkunjung ke rumah kita secara personally, yang merasa pencintanya. “If the Prophet of Muhammad visited you, just for a day or two, if he came unexpectedly, I wonder what you’d do,” ucap Camile Badrdalam puisinya.Sang Nabi mengunjungi kita di mana pun berada di bumi manusia. Datang secara pribadi untuk menghabiskan beberapa saat bersama kita. Ya, bersama kita. Hanya saja kita tak pernah merasa, bahkan lupa.

Larak-lirik yang memukau dari Sam Bimbo hangat terasa, pecah di jiwa yang sekian lama memfosil, beku dan membeku, ambyaar, menyadarkan kita selamanya:

Rindu kami
Padamu, Ya Rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak
Darimu, Ya rasul
Serasa Engkau di sini

Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya suarga
Dapatkah aku
Membalas cintamu
bersahaja

Yuk anak-anak negeri bershalawatlah dan srupuut kopi!
Demi membasahi kelopak mata dan bathin diri,
Sesungguhnya Muhammad Sang Nabi itu ada dan berada, di sini.

Shollu alannabiy

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.